Libur massal Lebaran 2009.
Awalnya saya tidak memiliki rencana
spesifik dan hanya akan dirumah saja. Tapi ketika awal Ramadhan tiba, entah
kenapa saya gatal pengin ke Jepang, karena belum pernah kesana sama sekali.
Jadilah browsing harga tiket, yang semua airlines harganya gila-gilaan. You name the airlines, mau Garuda, SQ, Malaysia Airlines, Thai, Cathay
Pacific, JAL…pokoknya airlines yang take-off dari Jakarta selama peak
season Lebaran itu harganya nggak wajar semua. Rata-rata semuanya diatas 11
juta rupiah untuk kelas Ekonomi. Sempat jadi pasrah dan berniat mengurungkan
rencana.
Tapi besoknya saya iseng mencoba browsing lagi. Saya berpikir, musim Lebaran memang menjadi peak season di Indonesia
dan Malaysia, tapi tidak di Singapore. Akhirnya saya mulai bongkar-bongkar
beberapa website mencari tiket yang harganya masuk akal dengan rute Singapore –
Narita. Ketika sedang browsing via website www.expedia.com, saya kaget setengah tidak percaya ketika menemukan tiket promo All Nippon Airlines (ANA) rute Singapore
– Narita pp dengan harga, kalau dirupiahkan hanya sekitar Rp. 3 juta saja !
Tanpa berlama-lama, takutnya tiket tersebut
keburu sold out, langsung saja saya beli secara online. Pemburuan tiket saya lanjutkan dengan membeli tiket
one-way Jakarta-Singapore menggunakan Garuda dengan harga sekitar Rp.
1.2juta. Pulangnya saya me-redeem point Krisflyer Singapore Airlines untuk
rute Singapore – Jakarta. Jadilah berangkat ke Jepang dengan modal tiket tidak
sampai 5 juta Rupiah. Kalaupun rute Singapore - Jakarta saya beli tiket, harga totalnya tidak akan sampai 11 juta Rupiah….bandingkan dengan harga tiket kalau berangkat dari
Jakarta yang sudah saya sebutkan diatas !
Urusan visa berjalan lancar, selesai dalam
3 hari saja.
Hari itu, siang di lebaran hari kedua, saya
berangkat ke Singapore dengan menumpang pesawat Airbus 330-200 Garuda yang saat
itu masih gres sekali. Pesawat penuh !
Tengah malam harinya saya connecting dengan pesawat
Boeing 767-300 ANA menuju ke Narita.
Tiba di Narita keesokan paginya, saya disambut
cuaca yang sangat sejuk ! Senyum puas mengembang karena saya bisa ke Jepang
dengan tiket murah meriah, bukan tiket pesawat Low Cost Carrier.
Dari Narita
saya naik kereta menuju ke stasiun Tokyo untuk berganti kereta menuju ke
stasiun Shinjuku karena saya nginap di Hotel Sunroute Plaza di Shinjuku.
Lagi-lagi hotel ini dipilih karena cuma selempar batu dari stasiun Shinjuku.
Belajar dari pengalaman salah-salah hotel ketika di Eropa setahun sebelumnya,
maka sebelum memutuskan untuk booking hotel tersebut, saya benar-benar membaca
referensi dari travellers tentang hotel yang ingin dituju.
Shinjuku dipilih karena lokasi ini sangat
vibrant siang dan malam, dengan stasiun kereta besar Shinjuku yang bisa
menghubungkan kemana-mana dengan mudahnya. Ketika malam tiba, Shinjuku seolah
menjelma menjadi jantung kehidupan Tokyo saking meriahnya. Disini memang
lengkap, mulai dari stasiun kereta utama Shinjuku, pertokoan yang tersebar baik
di mall maupun di tepi jalan, restoran, café, bar, club bahkan sampai kehidupan
esex-esex dewasa ada semua disini.
Kalau sore dan malam tiba, setiap setengah
jam sekali akan lewat mini truck dengan lampu warna warni meriah dan foto
gadis-gadis unyu-unyu Jepang yang mempromosikan striptease performance di
club-club dewasa di sekitar.
Sebelum berangkat ke Tokyo, saya menyempatkan diri
untuk mencari referensi tempat makan yang enak, affordable di kantong dan
pastinya halal. Ada banyak masukan dari beberapa teman.
Titin, seorang teman
sejak SMP yang sempat sekolah dan tinggal lama di Jepang memperingatkan saya
beberapa tips makanan di Jepang, misalkan kalau makanan ada bumbu lemak hewan maka
99% itu adalah lemak babi, lalu hindari ramen karena hampir semua ramen
mengandung babi, dan lain-lain. Well noted !
Jadilah selama saya di Tokyo agak
berhati-hati sekali memilih makanan. Kalau travelling di Eropa atau Amerika,
saya masih bisa cari opsi antara lain : makan salad, cari restoran Timur
Tengah, menu Kosher atau menu vegetarian. Tapi di Jepang agak kesulitan,
mungkin karena faktor bahasa juga. Sushi dan Sashimi menjadi pelarian untuk makan
utama selama disana, meskipun kehalalan sushi terkait sake yang dipakai untuk
memasak nasinya masih jadi perdebatan. Saking eneknya makan sushi dan sashimi
selama 4 hari di Jepang itu, maka saya stop makan makanan Jepang selama hampir 3
minggu ketika kembali ke Jakarta.
Saya mendatangi berbagai lokasi menarik di
Tokyo, kecuali Dysney Japan, karena saya memang tidak tertarik dengan theme
park.
Saya berhasil membuat kaki pegal ketika
berjalan kaki mengelilingi Imperial Palace yang areanya sangat luas. Pengamanan disini sangat ketat, karena keluarga kerajaan memang tinggal di area ini.
Ketika sedang berjalan-jalan di Zozoji
Temple, saya sengaja mampir di patung-patung zijo yang merefleksikan bayi-bayi
yang tidak pernah terlahir ke dunia, entah karena keguguran atau meninggal
dunia. Disini peziarah biasanya berdoa dan memberi hiasan kepada patung entah
berupa topi, pakaian, bunga atau mainan. Ketika tiba di tempat patung-patung jizo
tersebut, saya menyaksikan sepasang Jepang sedang berdoa khusyuk, lalu si
wanita memasangkan sebuah bunga kecil ditopi salah satu patung. Merekapun
berlalu, tinggal saya dan seorang turis lainnya. Awalnya saya melihat
patung-patung bayi tersebut layaknya mainan boneka-boneka lucu yang dihiasi
bermacam ragam dan asyik memotret patung-patung tersebut. Tapi entah kenapa
sesaat kemudian bulu kudu saya merinding, aura di area situ menjadi tidak enak.
Patung-patung boneka tersebut dimata saya sudah bukan barang lucu lagi, tapi seolah-olah
“something”. Ya sudahlah, mending saya pergi saja.
Malamnya ketika sedang browsing internet,
saya iseng mencari tahu zozoji temple dengan fokus kepada patung jizo tersebut.
Ternyata area patung-patung jizo itu adalah area pekuburan. Walah, pantesan !
Ketika berada di kuil Asakusa, saya mendapati tukang rigshaw, yang menawarkan jasanya kepada para turis asing yang datang. Dan beberapa dari
mereka adalah wanita ! Wowww…tenaganya pasti kuat sekali
mbak-mbak itu !
Di beberapa stasiun kereta besar, saya
sempat mengalami kebingungan karena banyaknya cabang-cabang jalur kereta yang
melewatinya. Kudu lihat betul-betul stasiun tujuan kita dan kereta yang dituju
ada di line mana. Beruntung papan penunjuk di kota Tokyo hampir semuanya sudah
bi-lingual Jepang-Inggris. Itupun sempat dua kali kesasar salah naik kereta.
Bayangkan kalau penunjuknya huruf kanji semua !
Di stasiun kereta utama seperti Tokyo, Shinjuku
dan Shinagawa terdapat seorang petugas Customer Service. Berdiri di sekitar
loket karcis, wanita-wanita cantik dengan dandanan seperti pramugari lengkap
dengan topi dan sarung tangan, bertugas untuk memberikan bantuan kalau ada
calon penumpang kereta yang kebingungan. Layaknya penyedia jasa di Jepang,
mereka sangat ramah dan helpful, tapi jangan harap anda akan mengerti bahasa
Inggrisnya dengan baik. Ketika naik pesawat ANA dalam rute
Singapore – Narita, sempat terjadi miskomunikasi karena saya meminta
“pepper”kepada mbak pramugarinya. Beberapa menit kemudian dia datang dengan
membawa kertas untuk saya (paper). Alamak !
Jam 5.30 sore di hari ketiga di Tokyo, saya
sedang berada di stasiun Shinjuku, berdiri diposisi agak tinggi dengan kamera
Nikon D300 dan lensa wide ditangan. Tujuan saya adalah ingin mengabadikan
moment ratusan manusia lalu lalang seliweran di stasiun tersebut berpindah
peron dan keluar masuk stasiun. Saya membayangkan hasil foto hitam putih dengan
shutter speed rendah yang akan dahsyat hasilnya. Niat saya ini diilhami oleh
sebuah tulisan di tripadvisor tentang memotret lalu lalang ratusan manusia di
stasiun kereta di Tokyo yang akan menghasilkan foto yang bagus.
Suasana lalu lalang manusia memang mulai
meningkat sore itu. Mereka tidak peduli satu sama lain, berjalan cepat dan
fokus dengan tujuan mereka layaknya robot berjalan. Baru saja saya lakukan satu
dua jepretan ujicoba sambil memeriksa apakah hasilnya bagus, seorang lelaki
Jepang berbadan tegap menghampiri saya. Dia tersenyum, lalu membuka bagian kiri
depan jasnya, dan…..menyembullah logo polisi di kantong kemejanya. Gile
beneeerrr…..Pak Polisi itu berkata singkat “passport”…oh saya ngerti, dia
meminta paspor saya. Saya lalu berikan paspor saya. Ketika dia membuka paspor
saya dan melihat itu adalah paspor Republik Indonesia, dia langsung berucap
“ooo….Indonesia-ne” dan membungkuk hormat kepada saya. Lhaaa baru kali itu
seumur-umur saya dihormati Polisi ! Dia lalu mengembalikan paspor saya dan
berbicara dalam bahasa Jepang sambil menunjuk kamera saya. OK got the point !
Intinya saya dilarang memotret disana.
Ya sejak kejadian WTC 11 September,
memotret obyek-obyek vital seperti kantor, stasiun, airport, dan lain-lain
menjadi kegiatan yang haram untuk dilakukan, karena dikhawatirkan akan
digunakan untuk mempelajari seluk beluk area tersebut (sebelum diserang).
Niat memotret sesaknya manusia sore itu
saya batalkan. Lebih baik batal dari pada ditangkap dan berurusan panjang
dengan kepolisian Jepang. Untung cuma dikasih bungkukan hormat sore itu, kalau
dikasih ikatan borgol di tangan, kan bisa runyam urusannya !
Numpang tanya gan, redeem berapa miles sewaktu singapore-jakarta?
BalasHapus