Minggu, 03 November 2013

MAROC [2010] #6 : Desa Cantik Itu Bernama Imlil


Hari keempat saya di Marrakech, yang merupakan hari terakhir disana, saya melakukan perjalanan balik hari ke Imlil dengan menyewa mobil berikut supir. Saya surprise karena mobil yang akan digunakan ke Imlil adalah sebuah Nissan Pajero yang masih bagus kondisinya. Awalnya ekspektasi saya adalah mobil tua butut.

Si supir yang aslinya berasal dari Imlil untungnya bisa berbahasa Inggris sedikit-sedikit, meski dengan vocabulary yang sangat terbatas. “are you from Japan ?” adalah kalimat pertama yang keluar dari mulutnya ketika kami baru sama-sama duduk di mobil. Sejak kapan ada orang Jepang bermata besar dan berkulit hitam ???

Imlil adalah sebuah desa di kaki pegunungan Atlas, yang menjadi salah satu tujuan turis yang menyukai outdoor. Desa ini merupakan titik akhir jalan yang bisa dilalui kendaraan dan merupakan titik awal para pendaki gunung yang akan naik ke Jebel Toubkal, yang merupakan gunung tertinggi di Afrika Utara.

Sebetulnya ada paket tour yang menawarkan balon terbang di pagi hari dengan pemandangan seputar Marrakech dan pegunungan Atlas yang bersalju, tapi saya tidak tertarik dengan tour itu dan memilih langsung mendatangi pegunungan Atlas tersebut dari dekat.

Perjalanan dari Marrakech menuju Imlil seharusnya dapat ditempuh dalam 1 jam lebih, tapi karena kami berjalan santai, maka perjalanan memakan waktu sekitar 2 jam.

Pagi itu suhu udara di Marrakech sekitar 12 derajat, sangat sejuk dan segar. Pemandangan yang terbentang sepanjang perjalanan sangat beragam. Sedikit keluar dari kota Marrakech, pemandangan yang tampak adalah jalan lurus dengan beberapa real estate yang sepi di kanan kiri. Semakin jauh meninggalkan Marrakech pemandangan berubah menjadi pedesaan dengan satu-dua rumah-rumah tua sederhana khas kota tua Marokko. Sesekali tampak penduduk lokal yang akan menyeberang jalan atau sedang bersiap menggembalakan domba-domba mereka.


Saya terlibat obrolan santai dengan supir ini tentang berbagai hal, termasuk cerita bahwa anak istrinya tinggal di desa di Imlil. Ahmad, nama si supir itu, meskipun berasal dari desa tapi berwajah tampan dan berpenampilan keren. Coba kalau dia ke Jakarta, bisa-bisa sudah ditawari jadi bintang sinetron atau model iklan tuh. 

Sayangnya dia tidak tahu dimana Indonesia dan Jakarta itu berada. Negara di timur yang ia tahu hanya Jepang dan Cina. Jadilah sambil ngobrol saya mengajari dia pelajaran geografi sederhana untuk menunjukkan betapa besarnya Asia itu, termasuk Indonesia. Ahmad tertakjub-takjub ketika saya jelaskan tentang berapa luasnya Indonesia dan jumlah manusia yang hidup didalamnya.


Pelan tapi pasti kami sudah berada di daratan yang lebih tinggi dari Marrakech. Dan pemandangan mulai berubah dari yang tadinya hijau dengan pepohonan di kanan kiri, menjadi tanah gersang, coklat dimana-mana.

Mobil mulai mendaki di daerah pegunungan. Di beberapa area tampak rumah-rumah desa sederhana milik penduduk setempat. Rumah-rumah berbentuk kubus berwarna coklat tersebut menyatu dengan gersangnya alam di sekitar mereka.

Karena saya butuh ke kamar kecil, mobil berhenti di sebuah workshop koperasi wanita pedesaan. Disana mereka menjual produk-produk olahan lokal, yang terutama berasal dari minyak zaitun. Di Maroko minyak zaitun memang sangat populer, mulai dari bahan masakan sampai perawatan tubuh.

Layaknya di negara-negara miskin lainnya, eksistensi wanita di Maroko terbelah menjadi dua dengan gap yang sangat besar. Di kota-kota besar seperti Casablanca dan Marrakech, sebagian wanitanya adalah wanita modern, berpendidikan tinggi, berbicara bahasa Perancis, berpenampilan modern dan memiliki profesi yang sangat beragam. Pilot pesawat Royal Air Maroc yang menerbangkan saya dari Casablanca ke Marrakech beberapa hari yang lalu adalah seorang wanita. Saya juga sangat terpesona oleh kecantikan pramugari Royal Air Maroc serta para frontline di Hotel Sofitel Marrakech. Sebagian wanita lainnya, khususnya wanita di pedesaan, adalah wanita sederhana dan tertutup yang terkungkung oleh aturan dan norma-norma budaya lokal dan agama.

Jalanan selanjutnya agak memacu adrenalin karena naik turun melewati jurang-jurang terjal dan seringkali harus melambat karena berpapasan dengan  truk maupun bus.

Ketika mobil sudah berada di ketinggian pegunungan, saya meminta Ahmad untuk mematikan AC mobil dan membuka kaca jendela mobil. Ide saya ternyata tepat sekali, karena udara diluar sangat sejuk (dingin tepatnya) dan bersih. Paru-paru yang biasanya dijejeli polusi Jakarta pagi itu rasanya mendapatkan supply udara bersih dan segar.

Dari balik bukit, samar-samar tampak puncak-puncak gunung di pegunungan Atlas yang berwarna putih tertutup salju. Semakin lama puncak tersebut semakin terlihat jelas. Pemandangan selanjutnya semakin indah, dengan sungai-sungai yang mengalir di sisi kiri jalan, bunga-bunga berwarna warni yang tumbuh liar dan lain-lain.




Kami akhirnya sampai di desa Imlil, sebuah desa yang tenang, hanya diramaikan oleh para turis yang berlalu lalang untuk pergi trekking atau hiking ke pegunungan Atlas. 

Rumah-rumah disini sangat khas Maroko, berbentuk kubus, tanpa cat warna-warni. Di beberapa area terdapat toko-toko dan rumah makan yang rata-rata dikunjungi turis. 

Ahmad lalu menunjukkan sebuah jalan kecil masuk ke pedalaman sebagai rumah dimana istri & anak-anaknya tinggal. Saya tawari apakah dia akan mampir, tapi dia jawab tidak usah karena jalan kaki ke dalam jauh, hanya akan membuang waktu saja.

Di sebuah persimpangan yang ada pasarnya terjadi kemacetan. Setelah mobil mendekati titik asal kemacetan, saya baru menyadari bahwa kemacetan disebabkan oleh segerombolan keledai yang berjejer di pinggir jalan. Ramai orang sibuk meletakkan barang-barang di kantong-kantong yang ada di badan keledai-keledai tersebut. Kebanyakan adalah makanan. Rupanya keledai-keledai itu sedang dipersiapkan untuk mengangkut barang-barang, khususnya makanan untuk naik ke desa-desa terpencil yang terletak di punggung pegunungan Atlas yang tidak terjangkau kendaraan. I wish I could go there with the donkeys…

Sebuah fakta yang sangat menyedihkan adalah bahwa sejak keluar dari Marrakech sampai ke desa Imlil ini, situasi yang tampak hampir semuanya memaparkan kondisi kemiskinan masyarakat rural Maroko. Rumah-rumah sederhana dari tanah berbentuk kubus bertebaran disana sini. Ketika musim dingin tiba mereka akan survive dengan cara dan kebiasaan mereka. Sebagian memiliki sejenis tungku penghangat sederhana di dalam rumah, sebagian lagi mengandalkan baju dan selimut tebal saja. Satu-satunya bangunan mewah yang sempat dilewati adalah sebuah hotel mewah dengan bungalow berwarna putih yang memanjang di sebelah kiri jalan.

Kami akhirnya sampai di titik akhir jalanan umum yang juga adalah titik awal dimulainya rute trekking dan hiking. Awalnya saya ditawarkan apakah akan pakai pemandu lokal, tapi saya menolak ketika mengetahui bahwa jalur trekking yang akan dilalui memiliki tanda-tanda.

Ketika masih bersiap-siap untuk trekking, saya mendapati sebagian orang-orang bercakap-cakap dengan bahasa yang asing buat telinga saya. Tanya punya tanya, ternyata itu adalah bahasa Berber.

Mari kita mendaki (tidak ke puncak gunung) !

Menaiki kaki gunung dengan udara dingin merupakan pengalaman baru buat saya. Meskipun energi  yang dikeluarkan banyak, tapi keringat yang keluar tidak begitu terasa karena suhu yang dingin tersebut.

Jadilah saya menghabiskan waktu sekitar 2 jam di jalur trekking tersebut. Seharusnya tidak sedemikian lama kalau saya tidak berhenti dulu menikmati indahnya pemandangan, duduk-duduk di sungai merendam kaki di air yang sedingin air kulkas dan ngobrol dengan beberapa turis yang saat itu berpapasan.

Jalur awal trekking melewati beberapa rumah-rumah, bahkan sempat melewati sisi samping sebuah rumah dimana saya dapat melihat dengan jelas dapur rumah tersebut.
Di satu lokasi saya melihat sebuah pohon yang bentuknya unik dan berjarak sekitar 10 meter dari saya. Sayapun mengarahkan kamera ke obyek tersebut, tapi belum sempat saya memotret, saya mendengar suara teriakan-teriakan dari arah depan. Ternyata teriakan itu keluar dari dua orang wanita desa paruh bayar yang duduk dibawah pohon itu dan luput dari penglihatan saya. Teriakan itu adalah teriakan penolakan mereka untuk difoto. Salah satu dari mereka bahkan sudah berdiri menggenggam batu besar dan bersiap melemparkan batu besar tersebut ke saya. Saya buru-buru  memasang bahasa tubuh minta maaf dan langsung pergi. Untung saja nggak kejadian saya ditimpuk batu segede buah mangga itu !

Kejadian ini merupakan lanjutan dari kejadian di Djemaa El Fna kemarin dimana pedagang-pedagang wanita menolak dan marah-marah ketika akan difoto. Dari seorang tour guide lokal belakangan saya dapat info bahwa wanita Maroko, khususnya wanita pedesaan sangat anti difoto oleh orang asing. Ok, saya belajar hal baru hari itu terkait kehidupan sosial di setiap negara yang berbeda-beda.

Jalur trekking ini memang menyuguhkan banyak sekali  keindahan alam yang dipayungi pegunungan Atlas. Meskipun bukit dan gunung di sekitar sebagian besar bernuansa gersang, tapi hal itu tidak mengurangi keindahan pesonanya. Sesekali saya berjumpa dengan para turis yang lalu lalang disana. Sempat bersapaan dengan seorang turis Jerman yang akan turun setelah 3 hari berada di puncak gunung Jebel Toubkal.
Ketika sedang duduk-duduk di sungai sambil mendinginkan kaki, saya sempat mengobrol dengan keluarga Maroko dari Marrakech, yang anak laki-laki remajanya berbahasa Inggris dengan baik. Arus air sungai lumayan deras. Sepertinya arus deras sungai inilah yang membuat banjir secara regular di desa-desa kecil dibawah sana, termasuk Imlil.

Dengan bermodalkan sebatang ranting kokoh sebagai tongkat pegangan, saya terus mendaki keatas sampai di satu titik pemandangan indah terhampar dengan luasnya. Lembah-lembah dibawah dengan desa-desa  di depan sana, sementara jajaran pegunungan Atlas dengan puncaknya yang berwarna putih ada dibelakang saya.







Ketika melewati beberapa rumah untuk kembali turun ke starting point, saya sempat bertemu dengan dua orang gadis cilik berusia sekitar 5-6 tahun yang sedang bermain-main tidak jauh dari rumahnya. Wajahnya unik, bukan wajah keturunan Arab pada umumnya. Matanya agak sipit, raut muka memanjang dan pipi merah bundar pertanda orang-orang yang hidup di udara dingin ketinggian. Mungkin inilah salah satu bentuk wajah khas suku Berber, penduduk asli Maroko. Mereka tampak malu-malu ketika saya tegur, mungkin mereka juga melihat saya dengan heran, ini makhluk dari planet mana kok bentuknya tidak seperti yang biasa mereka lihat. Pakaian mereka sederhana, yang satu memakai sweater merah bercorak, dan beralas kaki sandal yang sudah butut. Ketika saya godain dengan memberi mereka permen, salah satu dari mereka melebarkan senyum  memunculkan gigi ompongnya. Dia lalu menyeka ingus yang keluar dari hidungnya. Tidak bersih, karena sebagian ingus tersebut mbleber ke pipinya. Ah, so cute ! Andai saya tidak takut ditimpuk batu lagi, mungkin sudah saya foto mereka puluhan jepretan. Benar saja, selesai acara bagi-bagi permen, seorang wanita keluar dari belakang rumah memanggil mereka. Entah hubungannya apa dengan kedua bocah mungil itu. Tapi yang pasti wajah si perempuan menunjukkan ketidak sukaan kepada saya.

Saya kembali ke titik awal trekking dengan selamat. Ngos-ngosan pastinya, tapi hati gembira. Itu yang penting, karena rasa gembira dapat mengalahkan rasa lelah !
Setelah selesai makan siang di rumah makan di area starting point trekking, kami kembali menuju ke Marrakech. Saya tidur nyenyak di 70% perjalanan pulang, bisa jadi karena kelelahan.

Keesokan harinya saya meninggalkan Maroko menuju Mesir. Tidak puas rasanya karena saya tidak mengunjungi Fez dan Tangier di Utara serta mencoba Safari Gurun Sahara. I hope I will come back to Morocco to explore more about this exotic country !

Tidak ada komentar:

Posting Komentar