Hari keempat saya di Marrakech,
yang merupakan hari terakhir disana, saya melakukan perjalanan balik hari ke
Imlil dengan menyewa mobil berikut supir. Saya surprise karena mobil yang akan digunakan
ke Imlil adalah sebuah Nissan Pajero yang masih bagus kondisinya. Awalnya
ekspektasi saya adalah mobil tua butut.
Si supir yang aslinya berasal dari
Imlil untungnya bisa berbahasa Inggris sedikit-sedikit, meski dengan vocabulary
yang sangat terbatas. “are you from Japan ?” adalah kalimat pertama yang keluar
dari mulutnya ketika kami baru sama-sama duduk di mobil. Sejak kapan ada orang
Jepang bermata besar dan berkulit hitam ???
Imlil adalah sebuah desa di kaki
pegunungan Atlas, yang menjadi salah satu tujuan turis yang menyukai outdoor.
Desa ini merupakan titik akhir jalan yang bisa dilalui kendaraan dan merupakan
titik awal para pendaki gunung yang akan naik ke Jebel Toubkal, yang merupakan gunung
tertinggi di Afrika Utara.
Sebetulnya ada paket tour yang
menawarkan balon terbang di pagi hari dengan pemandangan seputar Marrakech dan
pegunungan Atlas yang bersalju, tapi saya tidak tertarik dengan tour itu dan
memilih langsung mendatangi pegunungan Atlas tersebut dari dekat.
Perjalanan dari Marrakech menuju
Imlil seharusnya dapat ditempuh dalam 1 jam lebih, tapi karena kami berjalan
santai, maka perjalanan memakan waktu sekitar 2 jam.
Pagi itu suhu udara di Marrakech
sekitar 12 derajat, sangat sejuk dan segar. Pemandangan yang terbentang
sepanjang perjalanan sangat beragam. Sedikit keluar dari kota Marrakech,
pemandangan yang tampak adalah jalan lurus dengan beberapa real estate yang
sepi di kanan kiri. Semakin jauh meninggalkan Marrakech pemandangan berubah
menjadi pedesaan dengan satu-dua rumah-rumah tua sederhana khas kota tua
Marokko. Sesekali tampak penduduk lokal yang akan menyeberang jalan atau sedang
bersiap menggembalakan domba-domba mereka.
Saya terlibat obrolan santai dengan supir ini tentang berbagai hal, termasuk cerita bahwa anak istrinya
tinggal di desa di Imlil. Ahmad, nama si supir itu, meskipun berasal dari desa
tapi berwajah tampan dan berpenampilan keren. Coba kalau dia ke Jakarta,
bisa-bisa sudah ditawari jadi bintang sinetron atau model iklan tuh.
Sayangnya
dia tidak tahu dimana Indonesia dan Jakarta itu berada. Negara di timur yang ia
tahu hanya Jepang dan Cina. Jadilah sambil ngobrol saya mengajari dia pelajaran
geografi sederhana untuk menunjukkan betapa besarnya Asia itu, termasuk
Indonesia. Ahmad tertakjub-takjub ketika saya jelaskan tentang berapa luasnya Indonesia
dan jumlah manusia yang hidup didalamnya.
Pelan tapi pasti kami sudah berada di daratan yang lebih tinggi dari Marrakech. Dan pemandangan mulai berubah dari yang tadinya hijau dengan pepohonan di kanan kiri, menjadi tanah gersang, coklat dimana-mana.

Karena saya butuh ke kamar kecil,
mobil berhenti di sebuah workshop koperasi wanita pedesaan. Disana mereka
menjual produk-produk olahan lokal, yang terutama berasal dari minyak zaitun.
Di Maroko minyak zaitun memang sangat populer, mulai dari bahan masakan sampai
perawatan tubuh.
Layaknya di negara-negara miskin
lainnya, eksistensi wanita di Maroko terbelah menjadi dua dengan gap yang
sangat besar. Di kota-kota besar seperti Casablanca dan Marrakech, sebagian
wanitanya adalah wanita modern, berpendidikan tinggi, berbicara bahasa
Perancis, berpenampilan modern dan memiliki profesi yang sangat beragam. Pilot
pesawat Royal Air Maroc yang menerbangkan saya dari Casablanca ke Marrakech beberapa
hari yang lalu adalah seorang wanita. Saya juga sangat terpesona oleh
kecantikan pramugari Royal Air Maroc serta para frontline di Hotel Sofitel Marrakech.
Sebagian wanita lainnya, khususnya wanita di pedesaan, adalah wanita sederhana dan
tertutup yang terkungkung oleh aturan dan norma-norma budaya lokal dan agama.
Jalanan selanjutnya agak memacu
adrenalin karena naik turun melewati jurang-jurang terjal dan seringkali harus
melambat karena berpapasan dengan
truk maupun bus.
Ketika mobil sudah berada di
ketinggian pegunungan, saya meminta Ahmad untuk mematikan AC mobil dan membuka
kaca jendela mobil. Ide saya ternyata tepat sekali, karena udara diluar sangat
sejuk (dingin tepatnya) dan bersih. Paru-paru yang biasanya dijejeli polusi
Jakarta pagi itu rasanya mendapatkan supply udara bersih dan segar.

Kami akhirnya sampai di desa
Imlil, sebuah desa yang tenang, hanya diramaikan oleh para turis yang berlalu
lalang untuk pergi trekking atau hiking ke pegunungan Atlas.
Rumah-rumah disini
sangat khas Maroko, berbentuk kubus, tanpa cat warna-warni. Di beberapa area
terdapat toko-toko dan rumah makan yang rata-rata dikunjungi turis.
Ahmad lalu
menunjukkan sebuah jalan kecil masuk ke pedalaman sebagai rumah dimana istri
& anak-anaknya tinggal. Saya tawari apakah dia akan mampir, tapi dia jawab
tidak usah karena jalan kaki ke dalam jauh, hanya akan membuang waktu saja.
Di sebuah persimpangan yang ada
pasarnya terjadi kemacetan. Setelah mobil mendekati titik asal kemacetan, saya
baru menyadari bahwa kemacetan disebabkan oleh segerombolan keledai yang
berjejer di pinggir jalan. Ramai orang sibuk meletakkan barang-barang di
kantong-kantong yang ada di badan keledai-keledai tersebut. Kebanyakan adalah
makanan. Rupanya keledai-keledai itu sedang dipersiapkan untuk mengangkut
barang-barang, khususnya makanan untuk naik ke desa-desa terpencil yang
terletak di punggung pegunungan Atlas yang tidak terjangkau kendaraan. I wish I
could go there with the donkeys…
Sebuah fakta yang sangat
menyedihkan adalah bahwa sejak keluar dari Marrakech sampai ke desa Imlil ini, situasi
yang tampak hampir semuanya memaparkan kondisi kemiskinan masyarakat rural
Maroko. Rumah-rumah sederhana dari tanah berbentuk kubus bertebaran disana
sini. Ketika musim dingin tiba mereka akan survive dengan cara dan kebiasaan
mereka. Sebagian memiliki sejenis tungku penghangat sederhana di dalam rumah, sebagian
lagi mengandalkan baju dan selimut tebal saja. Satu-satunya bangunan mewah yang
sempat dilewati adalah sebuah hotel mewah dengan bungalow berwarna putih yang
memanjang di sebelah kiri jalan.
Kami akhirnya sampai di titik
akhir jalanan umum yang juga adalah titik awal dimulainya rute trekking dan
hiking. Awalnya saya ditawarkan apakah akan pakai pemandu lokal, tapi saya menolak
ketika mengetahui bahwa jalur trekking yang akan dilalui memiliki tanda-tanda.
Ketika masih bersiap-siap untuk
trekking, saya mendapati sebagian orang-orang bercakap-cakap dengan bahasa yang
asing buat telinga saya. Tanya punya tanya, ternyata itu adalah bahasa Berber.
Mari kita mendaki (tidak ke puncak
gunung) !
Menaiki kaki gunung dengan udara
dingin merupakan pengalaman baru buat saya. Meskipun energi yang dikeluarkan banyak, tapi keringat
yang keluar tidak begitu terasa karena suhu yang dingin tersebut.
Jadilah saya menghabiskan waktu
sekitar 2 jam di jalur trekking tersebut. Seharusnya tidak sedemikian lama
kalau saya tidak berhenti dulu menikmati indahnya pemandangan, duduk-duduk di
sungai merendam kaki di air yang sedingin air kulkas dan ngobrol dengan
beberapa turis yang saat itu berpapasan.
Jalur awal trekking melewati
beberapa rumah-rumah, bahkan sempat melewati sisi samping sebuah rumah dimana
saya dapat melihat dengan jelas dapur rumah tersebut.
Di satu lokasi saya melihat sebuah
pohon yang bentuknya unik dan berjarak sekitar 10 meter dari saya. Sayapun
mengarahkan kamera ke obyek tersebut, tapi belum sempat saya memotret, saya
mendengar suara teriakan-teriakan dari arah depan. Ternyata teriakan itu keluar
dari dua orang wanita desa paruh bayar yang duduk dibawah pohon itu dan luput
dari penglihatan saya. Teriakan itu adalah teriakan penolakan mereka untuk
difoto. Salah satu dari mereka bahkan sudah berdiri menggenggam batu besar dan
bersiap melemparkan batu besar tersebut ke saya. Saya buru-buru memasang bahasa tubuh minta maaf dan
langsung pergi. Untung saja nggak kejadian saya ditimpuk batu segede buah
mangga itu !
Kejadian ini merupakan lanjutan dari
kejadian di Djemaa El Fna kemarin dimana pedagang-pedagang wanita menolak dan
marah-marah ketika akan difoto. Dari seorang tour guide lokal belakangan saya
dapat info bahwa wanita Maroko, khususnya wanita pedesaan sangat anti difoto
oleh orang asing. Ok, saya belajar hal baru hari itu terkait kehidupan sosial
di setiap negara yang berbeda-beda.

Ketika sedang duduk-duduk di
sungai sambil mendinginkan kaki, saya sempat mengobrol dengan keluarga Maroko
dari Marrakech, yang anak laki-laki remajanya berbahasa Inggris dengan baik. Arus
air sungai lumayan deras. Sepertinya arus deras sungai inilah yang membuat
banjir secara regular di desa-desa kecil dibawah sana, termasuk Imlil.
Dengan bermodalkan sebatang
ranting kokoh sebagai tongkat pegangan, saya terus mendaki keatas sampai di
satu titik pemandangan indah terhampar dengan luasnya. Lembah-lembah dibawah
dengan desa-desa di depan sana,
sementara jajaran pegunungan Atlas dengan puncaknya yang berwarna putih ada
dibelakang saya.
Ketika melewati beberapa rumah
untuk kembali turun ke starting point, saya sempat bertemu dengan dua orang
gadis cilik berusia sekitar 5-6 tahun yang sedang bermain-main tidak jauh dari
rumahnya. Wajahnya unik, bukan wajah keturunan Arab pada umumnya. Matanya agak
sipit, raut muka memanjang dan pipi merah bundar pertanda orang-orang yang
hidup di udara dingin ketinggian. Mungkin inilah salah satu bentuk wajah khas
suku Berber, penduduk asli Maroko. Mereka tampak malu-malu ketika saya tegur,
mungkin mereka juga melihat saya dengan heran, ini makhluk dari planet mana kok
bentuknya tidak seperti yang biasa mereka lihat. Pakaian mereka sederhana, yang
satu memakai sweater merah bercorak, dan beralas kaki sandal yang sudah butut.
Ketika saya godain dengan memberi mereka permen, salah satu dari mereka
melebarkan senyum memunculkan gigi
ompongnya. Dia lalu menyeka ingus yang keluar dari hidungnya. Tidak bersih,
karena sebagian ingus tersebut mbleber ke pipinya. Ah, so cute ! Andai saya
tidak takut ditimpuk batu lagi, mungkin sudah saya foto mereka puluhan
jepretan. Benar saja, selesai acara bagi-bagi permen, seorang wanita keluar
dari belakang rumah memanggil mereka. Entah hubungannya apa dengan kedua bocah mungil
itu. Tapi yang pasti wajah si perempuan menunjukkan ketidak sukaan kepada saya.

Setelah selesai makan siang di
rumah makan di area starting point trekking, kami kembali menuju ke Marrakech.
Saya tidur nyenyak di 70% perjalanan pulang, bisa jadi karena kelelahan.
Keesokan harinya saya meninggalkan
Maroko menuju Mesir. Tidak puas rasanya karena saya tidak mengunjungi Fez dan
Tangier di Utara serta mencoba Safari Gurun Sahara. I hope I will come back to
Morocco to explore more about this exotic country !
Tidak ada komentar:
Posting Komentar