Selasa, 05 November 2013

CAIRO [2010] #2 : Sejarah di Setiap Jengkal Cairo


Bicara tentang Mesir, alam bawah sadar kita pasti akan mengaitkan langsung dengan kisah Nabi Musa, Firaun, Kleopatra, Piramid, Mummy dan Sphinx. Semua itu adalah sejarah yang besar. Ya negara ini memang memiliki sejarah yang sangat panjang dan besar sekali, bahkan satu dari sedikit negeri yang sering sekali disebut di kitab-kitab suci agama besar di dunia.

Travelling ke Cairo pastinya adalah untuk melihat-lihat kebesaran sejarah masa lalunya. Meskipun tidak semua peninggalan sejarahnya ada di Cairo, tapi setidaknya Cairo sudah mewakili kebesaran sejarah tidak saja Mesir kuno, tapi juga Mesir modern.

Bahkan pasar Khan El Khalili yang wajib dikunjungi adalah sebuah peninggalan sejarah dari masa lalu kebesaran bangsa Arab disini. Layaknya eksotisme pasar-pasar tradisional besar di Timur Tengah, pasar ini memang sangat menarik untuk dikunjungi, tidak hanya untuk berbelanja, tapi bagi pecinta sejarah akan sangat menarik. Disini bersiap-siap untuk tawar menawar karena tidak ada harga fix. Kalau anda sangat tidak tahan dengan asap rokok, mungkin harus mengantisipasi karena disini adalah area bebas rokok dimana-mana. Para pedagang maupun pembeli yang umumnya berciri fisik Timur Tengah merokok disana sini. Di pasar ini juga terdapat banyak rumah makan dengan makanan khas Timur Tengah berkualitas baik dan enak.

Kalau menginginkan pengalaman unik disini, jangan lupa mampir di Café El-Fishawy di dalam pasar ini. Café ini merupakan café tua, mungkin salah satu café tertua yang masih eksis di Cairo. Crowd disini kadang-kadang ramai. Minum kopi, the atau menghisap shisa akan menjadi pilihan menarik.

Sore itu saat sedang berjalan pulang dari pasar Khan El Khalili, saya mendengar suara azan Ashar dari sebuah masjid tua di dekat posisi saya. Maka saya putuskan untuk melakukan solat Ashar terlebih dahulu sebelum melanjutkan perjalanan. Baru saja saya melangkah masuk ke dalam kompleks masjid, saya diusir oleh petugas penjaga yang berdiri disana. Ah, tampilan saya yang saat itu hanya mengenakan topi, t-shirt, jeans dan tas kamera besar ternyata dipikir sebagai turis yang akan memotret masjid itu. Disana masjid memang tertutup untuk umum pada saat waktu-waktu solat, hanya orang muslim yang akan melakukan solat saja yang diperbolehkan masuk. Saya memberi kode bahwa saya akan solat Ashar, barulah saya dipersilahkan untuk masuk ke dalam masjid.

Sore hari di hari pertama di Cairo, saya berjalan kaki menyusuri jembatan yang melintasi sungai Nil, dengan tujuan adalah Tahrir Square dan Egyptian Musem. Baru saja saya menyeberang jalan setelah melintasi jembatan, seorang lelaki melambai-lambaikan tangannya kepada saya. Sepertinya dia akan menawarkan diri menjadi tour guide untuk saya atau menawarkan sesuatu. Saya membalas lambaiannya dengan gelengan dan bahasa tubuh “no, thanks”. Tapi rupanya dia tidak menyerah dan berusaha mendekati saya. Siang itu saya sedang malas berdebat atau menolak sesuatu yang pasti akan saya tolak, maka yang saya lakukan hanyalah mempercepat langkah meninggalkan dia jauh di belakang.

Tahrir Square yang sekarang sangat populer di seluruh dunia karena menjadi arena demonstrasi besar-besar menentang dan mempertahankan kekuasaan pemerintahan, saat itu hanyalah sebuah area luas dengan kepadatan lalu lintas yang sangat sibuk. Disini terdapat patung Omar Makram yang sukses memimpin tentara Mesir melawan serangan Napoleon I.  Juga terdapat stasiun metro yang menghubungkan wilayah ini dengan wilayah lainnnya.

Mendekati Egyptian Museum lagi-lagi saya didekati oleh para tour guide atau penjual-penjual souvenir yang menawarkan dagangannya. Tapi semua saya tolak karena saya tidak memerlukan hal itu.

Antrian masuk ke dalam museum lumayan panjang dan harus membayar sekitar 60 Pound Mesir. Tidak boleh ada kamera yang dibawa masuk ke dalam museum, maka kamera dan handphone saya tinggalkan di loker di pintu masuk.

Begitu masuk ke dalam museum, saya benar-benar terperangah oleh peninggalan sejarah yang luar biasa dari masa kuno Mesir. Beberapa patung raksasa yang tingginya melebihi pohon kelapa betul-betul menarik perhatian pertama dari setiap pengunjung yang baru masuk. Disini terdapat belasan ribu peninggalan masa lalu berupa tulisan, perkakas, perhiasan, pakaian, patung, topeng, makam kuno dan pastinya yang paling terkenal adalah mummy. Beberapa benda tersebut terbuat dari emas murni, bahkan perhiasan milik Ratu Nefertiti tampak sangat sophisticated untuk masa itu.

Barang-barang di museum ini terbagi ke dalam beberapa bagian, sesuai dengan jaman kerajaan saat itu. Tapi yang paling menarik salah satunya artefak yang ditemukan di makam Raja Tutankhamun.

Di dalam museum ini saya beberapa kali berpapasan dengan pengunjung dari Indonesia, mungkin mereka baru pulang Umroh.

Museum ini sangat besar dengan koleksi yang sangat banyak. Sayangnya banyak sekali koleksi yang tergeletak tak beraturan disana-disini, membuat museum ini mirip sebagai sebuah gudang penyimpanan. Sepertinya koleksi yang ada terlalu banyak dan space yang ada tidak mencukupi untuk memajang barang-barang berharga tersebut sebagaimana mestinya. Semoga pemerintah Mesir memperluas museum ini atau membangun museum baru dan menata benda-benda berharga ini dengan lebih baik.

Di beberapa bagian, bau apek yang cukup kuat menyeruak dalam jangkauan beberapa meter. Wajar saja karena benda yang dipajang disana adalah benda-benda yang berusia ratusan bahkan ribuan tahun, tapi seharusnya kalau benda-benda tersebut dirawat sedemikian rupa, bau begini mungkin bisa diminimalisir.

Disana sini banyak sekali rombongan turis dengan tour guide mereka menjelaskan sejarah dan segala sesuatunya dari setiap benda-benda utama di dalam museum. Ada tour guide yang berbahasa Inggris, berbahasa Perancis, sementara ada kelompok tour dari Cina dengan tour guide berbahasa Cina pula.

Keputusan saya untuk tidak mengambil tour guide diluar tadi ternyata salah karena saya agak lost di dalam museum besar itu. Keterangan yang ada didalam museum tidak memadai dan keterangan-keterangan singkat di setiap benda bisa dibilang tidak self explanatory. Dalam sedikit keputusasaan tersebut saya melakukan kecurangan dengan menguping kepada tour guide yang berbahasa Inggris. Entah mereka menjelaskan benda yang belum saya lihat ataupun sudah saya lihat. Bahkan beberapa kali kami amprokan melihat-lihat benda yang sama. Kalau sudah begitu saya pura-pura fokus ke benda tersebut dan seolah-olah cuek dengan mereka, padahal pasang telinga dengan konsentrasi tinggi supaya mengerti sejarah dan seluk beluk benda yang dimaksud. Cheating but efficient !

Untuk masuk ke bagian yang menyimpan mummy raja-raja harus membayar sebesar 100 Pound Mesir lagi.

Tanpa terasa, saya telah menghabiskan waktu lebih dari 2 jam di dalam museum. Waktu yang tidak terasa lama karena sedemikian banyaknya obyek yang sangat menarik untuk dilihat.

Karena hampir semua obyek wisata Mesir adalah obyek sejarah, maka saya memutuskan untuk ikut tour lokal supaya ada tour guide yang bisa menjelaskan seluk beluk dibalik tujuan wisata tersebut. Selain itu, obyek turis di Cairo terpencar-pencar di berbagai wilayah bahkan sampai di luar kota, Giza, maka sangat sulit untuk pergi dengan kendaraan umum. Ternyata tour yang saya ikuti itu hanya berisi 3 orang turis, berasa pergi dengan private tour jadinya karena mobil caravelle hanya diisi oleh 3 orang turis, 1 tour guide dan 1 supir.

Rute pertama pada pagi itu adalah Piramid di Giza. Diantara beberapa Piramid yang ada, Giza adalah pyramid dengan lokasi yang terdekat dari Cairo dan terpopuler. Perjalanan ditempuh dalam waktu sekitar 40 menit.

Ketika sampai di pintu masuknya, luapan turis ternyata luar biasa banyak. Ada belasan bus besar yang berjejer disana. Ada banyak barisan anak-anak sekolah yang berbaris rapi diatur oleh guru mereka untuk masuk ke dalam kompleks Piramid. Penjual souvenir dan minuman bertebaran disana sini, mengingatkan saya akan Borobudur.

Tour guide kami sangat canggih, dia bisa mendapatkan jalur agar kami bertiga bisa masuk ke dalam kompleks tanpa harus terjebak antrian panjang tersebut, entah apa yang dia lakukan.

Begitu kami mendekati piramid yang berada paling depan, saya tercengang luar biasa. Sama tercengangnya ketika dimasa kecil pertama kali melihat Borobudur serta ketika pertama kali masuk ke Haghia Sophia. Kagum luar biasa akan hasil karya manusia, di jaman yang masih sangat kuno mereka berhasil membangun bangunan spektakuler seperti itu. Saya memegang pyramid tersebut yang ternyata terbuat dari batu-batu berbentuk kotak-kotak yang disusun-susun sedemikian rupa sampai setinggi gedung puluhan meter itu. Saya masih tidak habis berpikir bagaimana caranya orang jaman dahulu kala bisa membawa batu-batu tersebut dari lokasi jauh dan membangun menjadi bangunan besar seperti ini.

Hampir di setiap sudut piramid selalu ada tulisan “dilarang memanjat” tapi tetap saja ada yang nekad memanjat dan berfoto-foto diatas piramid tersebut, khusus remaja-remaja lokal dengan kaca mata hitamnya bergaya ala model di undakan piramid. Petugas keamanan berkeliling, entah berjalan kaki atau mengendarai onta, seringkali harus menghalau remaja-remaja tersebut turun dari undakan piramid.

Beberapa lelaki muda menawarkan turis untuk naik unta yang berhias bunga-bunga untuk berjalan dari satu piramid ke piramid lainnya.

Satu hal yang saya tidak suka kalau ikutan grup tour adalah adanya acara mampir ke toko-toko souvenir. Siang itu kami mampir ke dua toko besar secara berturut-turut. Pertama kami dibawa mampir ke toko yang menjual lukisan khas Mesir yang terbuat dari daun papyrus yang dikeringkan. Disini saya masih tertarik karena banyak sekali lukisan yang bagus-bagus. Berbagai macam tema lukisan ada disini, mulai dari motif lukisan kuno Mesir, pemandangan alam, modern sampai kaligrafi dan gambar-gambar Nasrani.

Toko kedua yang kami singgahi adalah toko yang menjual berbagai macam barang-barang mewah khas Mesir, seperti alat minum, karpet, dan lain-lain. Disini juga terdapat counter parfum yang menjual segala macam aroma, semuanya homemade dan tanpa alkohol. Saya dipaksa untuk mencoba bau suatu parfum yang kata mereka mirip dengan bau parfum CK. Setelah saya cium, benar juga baunya enak, ada aroma citrusnya seperti parfum yang dijual-jual di mal-mal. Karena tidak berminat membeli, saya hanya duduk-duduk saja. Bayangkan tersiksanya bengong di toko ini selama hampir 1 jam.

Setelah makan siang di sebuah restoran yang penuh dengan rombongan turis dan rasa makanannya ngalor ngidul tanpa definisi yang jelas, enak nggak, pedes nggak, manis nggak, asin nggak, kami lalu menuju ke Citadel.

Dari luar, Citadel tampak seperti area terlarang yang diberi pagar tembok tinggi di sekeliling, lebih layak menyerupai istana yang dikelilingi benteng besar.  Citadel ini merupakan bekas tempat pusat pemerintahan dan agama Islam di Cairo saat Mesir menjadi jajahan kerajaan Ottoman Turkey. Pantas saja bangunan-bangunan di dalamnya agak keTurkey-Turkey-an dan masjid Muhammad Ali Pasha itu mirip sekali interiornya dengan Blue Mosque di Istanbul.

Perjalanan selanjutnya adalah menuju Old Cairo, yang dahulunya adalah pusat Kristen di Cairo, sebelumnya akhirnya sebagian besar penduduk Mesir memeluk agama Islam. Disini menjadi simbol toleransi beragama yang sangat baik karena ternyata didalamnya terdapat masjid tua Amr Ibn al-As yang berdiri sejak abad tahun 642 bersamaan dengan penaklukkan Mesir oleh tentara Islam.

Di dalam kompleks ini juga terdapat Ben Ezra Synagogue, tempat ibadah umat Yahudi. Itu adalah pengalaman pertama seumur hidup saya memasuki sebuah synagogue.


Karena Old Cairo merupakan pusat Kristen kuno di Cairo, maka sudah pasti banyak bertebaran gereja-gereja disana sini. Salah satunya yang menarik adalah gereja kuno Hanging Church. Ketika mendekati gereja, saya mendengar sayup-sayup suara orang seperti mengaji, melafalkan bahasa Arab dengan irama yang sangat tertata. Tapi semakin dekat saya ke lokasi, saya mendapati itu bukanlah orang membaca Al-Quran karena intonasi yang digunakan lebih seperti orang menyanyi, dengan cengkok meliuk-liuk. Ah, ternyata suara yang saya dengar itu adalah doa yang sedang dipanjatkan (atau dinyanyikan) oleh kaum Kristen Koptik, agama Kristen yang merupakan mayoritas di Mesir, dari gereja mereka. Awalnya saya rancu dengan mengaji karena bahasa yang digunakan adalah bahasa Arab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar