Bicara
tentang Mesir, alam bawah sadar kita pasti akan mengaitkan langsung dengan kisah
Nabi Musa, Firaun, Kleopatra, Piramid, Mummy dan Sphinx. Semua itu adalah
sejarah yang besar. Ya negara ini memang memiliki sejarah yang sangat panjang
dan besar sekali, bahkan satu dari sedikit negeri yang sering sekali disebut di
kitab-kitab suci agama besar di dunia.

Bahkan
pasar Khan El Khalili yang wajib dikunjungi adalah sebuah peninggalan sejarah
dari masa lalu kebesaran bangsa Arab disini. Layaknya eksotisme pasar-pasar
tradisional besar di Timur Tengah, pasar ini memang sangat menarik untuk
dikunjungi, tidak hanya untuk berbelanja, tapi bagi pecinta sejarah akan sangat
menarik. Disini bersiap-siap untuk tawar menawar karena tidak ada harga fix.
Kalau anda sangat tidak tahan dengan asap rokok, mungkin harus mengantisipasi
karena disini adalah area bebas rokok dimana-mana. Para pedagang maupun pembeli
yang umumnya berciri fisik Timur Tengah merokok disana sini. Di pasar ini juga
terdapat banyak rumah makan dengan makanan khas Timur Tengah berkualitas baik
dan enak.
Kalau
menginginkan pengalaman unik disini, jangan lupa mampir di Café El-Fishawy di
dalam pasar ini. Café ini merupakan café tua, mungkin salah satu café tertua
yang masih eksis di Cairo. Crowd disini kadang-kadang ramai. Minum kopi, the
atau menghisap shisa akan menjadi pilihan menarik.
Sore
itu saat sedang berjalan pulang dari pasar Khan El Khalili, saya mendengar
suara azan Ashar dari sebuah masjid tua di dekat posisi saya. Maka saya
putuskan untuk melakukan solat Ashar terlebih dahulu sebelum melanjutkan
perjalanan. Baru saja saya melangkah masuk ke dalam kompleks masjid, saya
diusir oleh petugas penjaga yang berdiri disana. Ah, tampilan saya yang saat
itu hanya mengenakan topi, t-shirt, jeans dan tas kamera besar ternyata dipikir
sebagai turis yang akan memotret masjid itu. Disana masjid memang tertutup untuk
umum pada saat waktu-waktu solat, hanya orang muslim yang akan melakukan solat
saja yang diperbolehkan masuk. Saya memberi kode bahwa saya akan solat Ashar,
barulah saya dipersilahkan untuk masuk ke dalam masjid.
Sore
hari di hari pertama di Cairo, saya berjalan kaki menyusuri jembatan yang
melintasi sungai Nil, dengan tujuan adalah Tahrir Square dan Egyptian Musem.
Baru saja saya menyeberang jalan setelah melintasi jembatan, seorang lelaki
melambai-lambaikan tangannya kepada saya. Sepertinya dia akan menawarkan diri
menjadi tour guide untuk saya atau menawarkan sesuatu. Saya membalas
lambaiannya dengan gelengan dan bahasa tubuh “no, thanks”. Tapi rupanya dia
tidak menyerah dan berusaha mendekati saya. Siang itu saya sedang malas
berdebat atau menolak sesuatu yang pasti akan saya tolak, maka yang saya
lakukan hanyalah mempercepat langkah meninggalkan dia jauh di belakang.
Tahrir
Square yang sekarang sangat populer di seluruh dunia karena menjadi arena
demonstrasi besar-besar menentang dan mempertahankan kekuasaan pemerintahan,
saat itu hanyalah sebuah area luas dengan kepadatan lalu lintas yang sangat
sibuk. Disini terdapat patung Omar Makram yang sukses memimpin tentara Mesir
melawan serangan Napoleon I. Juga
terdapat stasiun metro yang menghubungkan wilayah ini dengan wilayah lainnnya.
Mendekati
Egyptian Museum lagi-lagi saya didekati oleh para tour guide atau
penjual-penjual souvenir yang menawarkan dagangannya. Tapi semua saya tolak
karena saya tidak memerlukan hal itu.
Antrian
masuk ke dalam museum lumayan panjang dan harus membayar sekitar 60 Pound
Mesir. Tidak boleh ada kamera yang dibawa masuk ke dalam museum, maka kamera
dan handphone saya tinggalkan di loker di pintu masuk.
Begitu
masuk ke dalam museum, saya benar-benar terperangah oleh peninggalan sejarah
yang luar biasa dari masa kuno Mesir. Beberapa patung raksasa yang tingginya
melebihi pohon kelapa betul-betul menarik perhatian pertama dari setiap
pengunjung yang baru masuk. Disini terdapat belasan ribu peninggalan masa lalu
berupa tulisan, perkakas, perhiasan, pakaian, patung, topeng, makam kuno dan
pastinya yang paling terkenal adalah mummy. Beberapa benda tersebut terbuat
dari emas murni, bahkan perhiasan milik Ratu Nefertiti tampak sangat
sophisticated untuk masa itu.
Barang-barang
di museum ini terbagi ke dalam beberapa bagian, sesuai dengan jaman kerajaan
saat itu. Tapi yang paling menarik salah satunya artefak yang ditemukan di
makam Raja Tutankhamun.
Di
dalam museum ini saya beberapa kali berpapasan dengan pengunjung dari
Indonesia, mungkin mereka baru pulang Umroh.
Museum
ini sangat besar dengan koleksi yang sangat banyak. Sayangnya banyak sekali
koleksi yang tergeletak tak beraturan disana-disini, membuat museum ini mirip
sebagai sebuah gudang penyimpanan. Sepertinya koleksi yang ada terlalu banyak
dan space yang ada tidak mencukupi untuk memajang barang-barang berharga
tersebut sebagaimana mestinya. Semoga pemerintah Mesir memperluas museum ini
atau membangun museum baru dan menata benda-benda berharga ini dengan lebih
baik.
Di
beberapa bagian, bau apek yang cukup kuat menyeruak dalam jangkauan beberapa
meter. Wajar saja karena benda yang dipajang disana adalah benda-benda yang
berusia ratusan bahkan ribuan tahun, tapi seharusnya kalau benda-benda tersebut
dirawat sedemikian rupa, bau begini mungkin bisa diminimalisir.
Disana
sini banyak sekali rombongan turis dengan tour guide mereka menjelaskan sejarah
dan segala sesuatunya dari setiap benda-benda utama di dalam museum. Ada tour
guide yang berbahasa Inggris, berbahasa Perancis, sementara ada kelompok tour
dari Cina dengan tour guide berbahasa Cina pula.
Keputusan
saya untuk tidak mengambil tour guide diluar tadi ternyata salah karena saya
agak lost di dalam museum besar itu. Keterangan yang ada didalam museum tidak
memadai dan keterangan-keterangan singkat di setiap benda bisa dibilang tidak
self explanatory. Dalam sedikit keputusasaan tersebut saya melakukan kecurangan
dengan menguping kepada tour guide yang berbahasa Inggris. Entah mereka
menjelaskan benda yang belum saya lihat ataupun sudah saya lihat. Bahkan
beberapa kali kami amprokan melihat-lihat benda yang sama. Kalau sudah begitu
saya pura-pura fokus ke benda tersebut dan seolah-olah cuek dengan mereka,
padahal pasang telinga dengan konsentrasi tinggi supaya mengerti sejarah dan
seluk beluk benda yang dimaksud. Cheating but efficient !
Untuk
masuk ke bagian yang menyimpan mummy raja-raja harus membayar sebesar 100 Pound
Mesir lagi.
Tanpa
terasa, saya telah menghabiskan waktu lebih dari 2 jam di dalam museum. Waktu
yang tidak terasa lama karena sedemikian banyaknya obyek yang sangat menarik
untuk dilihat.
Karena
hampir semua obyek wisata Mesir adalah obyek sejarah, maka saya memutuskan
untuk ikut tour lokal supaya ada tour guide yang bisa menjelaskan seluk beluk
dibalik tujuan wisata tersebut. Selain itu, obyek turis di Cairo
terpencar-pencar di berbagai wilayah bahkan sampai di luar kota, Giza, maka
sangat sulit untuk pergi dengan kendaraan umum. Ternyata tour yang saya ikuti
itu hanya berisi 3 orang turis, berasa pergi dengan private tour jadinya karena
mobil caravelle hanya diisi oleh 3 orang turis, 1 tour guide dan 1 supir.
Rute pertama pada pagi itu adalah Piramid
di Giza. Diantara beberapa Piramid yang ada, Giza adalah pyramid dengan lokasi
yang terdekat dari Cairo dan terpopuler. Perjalanan ditempuh dalam waktu
sekitar 40 menit.
Ketika sampai di pintu masuknya, luapan
turis ternyata luar biasa banyak. Ada belasan bus besar yang berjejer disana.
Ada banyak barisan anak-anak sekolah yang berbaris rapi diatur oleh guru mereka
untuk masuk ke dalam kompleks Piramid. Penjual souvenir dan minuman bertebaran
disana sini, mengingatkan saya akan Borobudur.
Tour guide kami sangat canggih, dia bisa
mendapatkan jalur agar kami bertiga bisa masuk ke dalam kompleks tanpa harus
terjebak antrian panjang tersebut, entah apa yang dia lakukan.
Begitu kami mendekati piramid yang berada
paling depan, saya tercengang luar biasa. Sama tercengangnya ketika dimasa
kecil pertama kali melihat Borobudur serta ketika pertama kali masuk ke Haghia
Sophia. Kagum luar biasa akan hasil karya manusia, di jaman yang masih sangat
kuno mereka berhasil membangun bangunan spektakuler seperti itu. Saya memegang
pyramid tersebut yang ternyata terbuat dari batu-batu berbentuk kotak-kotak
yang disusun-susun sedemikian rupa sampai setinggi gedung puluhan meter itu.
Saya masih tidak habis berpikir bagaimana caranya orang jaman dahulu kala bisa
membawa batu-batu tersebut dari lokasi jauh dan membangun menjadi bangunan
besar seperti ini.
Hampir di setiap sudut piramid selalu ada
tulisan “dilarang memanjat” tapi tetap saja ada yang nekad memanjat dan
berfoto-foto diatas piramid tersebut, khusus remaja-remaja lokal dengan kaca
mata hitamnya bergaya ala model di undakan piramid. Petugas keamanan
berkeliling, entah berjalan kaki atau mengendarai onta, seringkali harus
menghalau remaja-remaja tersebut turun dari undakan piramid.
Beberapa lelaki muda menawarkan turis untuk
naik unta yang berhias bunga-bunga untuk berjalan dari satu piramid ke piramid
lainnya.
Satu hal yang saya tidak suka kalau ikutan
grup tour adalah adanya acara mampir ke toko-toko souvenir. Siang itu kami
mampir ke dua toko besar secara berturut-turut. Pertama kami dibawa mampir ke
toko yang menjual lukisan khas Mesir yang terbuat dari daun papyrus yang
dikeringkan. Disini saya masih tertarik karena banyak sekali lukisan yang
bagus-bagus. Berbagai macam tema lukisan ada disini, mulai dari motif lukisan
kuno Mesir, pemandangan alam, modern sampai kaligrafi dan gambar-gambar
Nasrani.
Toko kedua yang kami singgahi adalah toko
yang menjual berbagai macam barang-barang mewah khas Mesir, seperti alat minum,
karpet, dan lain-lain. Disini juga terdapat counter parfum yang menjual segala
macam aroma, semuanya homemade dan tanpa alkohol. Saya dipaksa untuk mencoba
bau suatu parfum yang kata mereka mirip dengan bau parfum CK. Setelah saya
cium, benar juga baunya enak, ada aroma citrusnya seperti parfum yang dijual-jual
di mal-mal. Karena tidak berminat membeli, saya hanya duduk-duduk saja.
Bayangkan tersiksanya bengong di toko ini selama hampir 1 jam.
Setelah makan siang di sebuah restoran yang
penuh dengan rombongan turis dan rasa makanannya ngalor ngidul tanpa definisi
yang jelas, enak nggak, pedes nggak, manis nggak, asin nggak, kami lalu menuju
ke Citadel.
Dari luar, Citadel tampak seperti area
terlarang yang diberi pagar tembok tinggi di sekeliling, lebih layak menyerupai
istana yang dikelilingi benteng besar. Citadel ini merupakan bekas tempat pusat pemerintahan dan
agama Islam di Cairo saat Mesir menjadi jajahan kerajaan Ottoman Turkey. Pantas
saja bangunan-bangunan di dalamnya agak keTurkey-Turkey-an dan masjid Muhammad
Ali Pasha itu mirip sekali interiornya dengan Blue Mosque di Istanbul.
Perjalanan selanjutnya adalah menuju Old
Cairo, yang dahulunya adalah pusat Kristen di Cairo, sebelumnya akhirnya
sebagian besar penduduk Mesir memeluk agama Islam. Disini menjadi simbol
toleransi beragama yang sangat baik karena ternyata didalamnya terdapat masjid
tua Amr Ibn al-As yang berdiri sejak abad tahun 642 bersamaan dengan
penaklukkan Mesir oleh tentara Islam.
Di dalam kompleks ini juga terdapat Ben
Ezra Synagogue, tempat ibadah umat Yahudi. Itu adalah pengalaman pertama seumur
hidup saya memasuki sebuah synagogue.
Karena Old Cairo merupakan pusat Kristen
kuno di Cairo, maka sudah pasti banyak bertebaran gereja-gereja disana sini.
Salah satunya yang menarik adalah gereja kuno Hanging Church. Ketika mendekati
gereja, saya mendengar sayup-sayup suara orang seperti mengaji, melafalkan
bahasa Arab dengan irama yang sangat tertata. Tapi semakin dekat saya ke
lokasi, saya mendapati itu bukanlah orang membaca Al-Quran karena intonasi yang
digunakan lebih seperti orang menyanyi, dengan cengkok meliuk-liuk. Ah,
ternyata suara yang saya dengar itu adalah doa yang sedang dipanjatkan (atau dinyanyikan)
oleh kaum Kristen Koptik, agama Kristen yang merupakan mayoritas di Mesir, dari
gereja mereka. Awalnya saya rancu dengan mengaji karena bahasa yang digunakan
adalah bahasa Arab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar