Sabtu, 02 November 2013

MAROC [2010] #3 : Menuju Marrakech


Pagi itu saya terbangun jam 4 pagi waktu Casablanca (masih jetlag karena waktu Jakarta 7 jam didepan, yang berarti sudah jam 11 siang). Karena tidak tahu apa yang harus dilakukan pagi buta itu, saya akhirnya sibuk chatting dan berbbm-an dengan teman-teman di Jakarta sambil menunggu waktu Subuh dan matahari naik.

Tepat pukul 7 pagi, saya sudah berada di cafe hotel untuk sarapan dan segera langsung check-out setelahnya. Udara pagi itu sekitar 11 derajat Celcius, sangat sejuk dan segar.

Tujuan selanjutnya adalah menuju ke Marrakech, pusat wisata Maroko yang kaya akan sejarah, budaya dan atraksi menarik lainnya. 

Ada banyak pilihan moda transportasi untuk rute Casablanca - Marrakech, mulai dari yang murah meriah sampai mahal : 

  • Naik Bus Antar Kota : ada dua jenis bus, nonstop AC dengan jarak tempuh 4 jam atau bus ekonomi yang mungkin berjarak tempuh 5 jam lebih. 
  • Kereta Api : kereta dari Casa Voyageurs menuju Marrakech berangkat hampir setiap 2 jam sekali, dengan waktu tempuh selama 4 jam. Tarif tiket untuk Kelas 1 sekitar MAD 140 (sekitar 150 ribu Rupiah). 
  • Pesawat Udara : pastinya merupakan pilihan paling praktis dan paling cepat. Sayangnya lalu lintas udara domestik Maroko dimonopoli oleh Royal Air Maroc, national flag carrier mereka, tanpa ada pesaing dari airlines lainnya, sehingga tarif tiket tidak kompetitif karena tidak adanya persaingan. 
Karena alasan efisiensi dan keterbatasan waktu, saya pakai moda transportasi pesawat saja. Meskipun untuk itu, saya harus merogoh dompet dan membayar hampir 8 kali lipat dari harga tiket kereta api.

Supir grande taxi yang membawa saya ke airport pagi itu hanya bisa berbahasa Arab dan sedikit bahasa Perancis. Akibatnya terjadi kendala komunikasi diantara kami. Beberapa kali dia mencoba membuka percakapan, tapi saya sama sekali tidak mengerti apa yang dia maksudkan, sehingga komunikasi menjadi kacau. Akhirnya dia seperti frustasi sendiri dan diam membisu sampai taxi tiba di airport.

Seperti sudah saya jelaskan di tulisan sebelumnya, airport Mohamed V adalah airport tua yang mengingatkan saya akan Halim Perdanakusumah atau Kemayoran. Akan tetapi di beberapa bagian airport sudah direnovasi sehingga terasa lebih modern, misalnya area check-in. Papan pengumuman keberangkatan/kedatangan mengingatkan saya akan airport Charles de Gaulle di Paris. Mohamed V adalah nama raja mereka sebelum raja yang sekarang.

Hubungan Maroko, sebagai bekas jajahan, dengan negara Perancis sepertinya sangat harmonis. Ada banyak penerbangan Air France ke berbagai kota di Paris, semisal Paris, Lyon dan Marseille.

Setelah kewajiban ngopi pagi hari sudah terselesaikan, saya lalu menuju ke ruang keberangkatan. Sebelum pemeriksaan x-ray, saya dicegat oleh seorang security dan meminta paspor saya. Ketika dia lihat saya adalah orang Indonesia, reaksinya adalah “aaahhh…Indonesian, salam !”. Dia lalu menyalami saya, memegang bahu saya dan mengantarkan saya ke pintu pemeriksaan x-ray. Saya tersanjung mendapat perlakuan seperti itu di negeri orang.

Nama Indonesia memang harum di Maroko, hal ini terkait sejarah masa lalu ketika Indonesia berinisiatif menggelar Konperensi Asia Afrika tahun 1955 dan Presiden Sukarno menjadi pendorong merdekanya beberapa negara di Afrika di saat itu. Rue Soekarno di kota Rabat adalah nama jalan untuk menghormati jasa beliau terhadap perjuangan bangsa Afrika.

Tepat waktunya, penumpang dibawa dengan bus menuju pesawat Boeing 737-800 yang sudah stand-by. Begitu masuk ke dalam pesawat, yang tedengar adalah musik Arab berjenis Lounge Music yang sangat easy listening. Pesawat sangat sepi, mungkin hanya sekitar 20% dari load factor. Hampir semua adalah turis, mayoritas ras Caucasian.

Pengumuman di dalam pesawat dilakukan dalam 3 bahasa berturut-turut : Perancis, Arab & Inggris.

Pilot yang menerbangkan pesawat pagi itu adalah seorang wanita bernama Mrs. Bennaida (saya tidak yakin penulisan nama ini benar karena saya menulis hanya berdasarkan pendengaran saja). Dia mengumumkan bahwa pesawat akan mengalami keterlambatan karena menunggu kedatangan penumpang transit yang akan segera boarding.

Sambil menunggu, salah seorang pramugari asyik mengobrol dengan para penumpang. Saya sangat terpesona dengan kecantikan para pramugari yang bertugas di penerbangan pagi itu.








Setelah menunggu selama setengah jam, penumpang yang ditunggu-tunggupun masuk ke pesawat. Ternyata mereka adalah rombongan jemaah Umroh asal Marrakech yang baru landing dari Jeddah pagi itu.

Mendadak pesawat menjadi ramai dan suasana menjadi riuh rendah. Layaknya
penumpang rombongan di Indonesia yang jarang naik pesawat, kejadian serupa terjadi pagi itu. Mulai dari kebingungan mencari tempat duduk, luggage bin yang penuh sementara mereka masih punya bawaan yang akan dimasukkan, tidak mau menaruh tas kalau bukan di luggage bin diatas kepala mereka dan ada yang tidak mau duduk terpisah dari anggota keluarganya. Sebagian besar jemaah Umroh ini berusia mungkin diatas 50an.

Kalau kita orang Indonesia sudah terbiasa dengan situasi seperti itu, tapi beberapa penumpang bule sampai terbengong-bengong dengan atraksi penuh kegaduhan tersebut.

Para awak kabin akhirnya turun tangan membantu menempatkan tas-tas mereka. Mereka juga menginstruksikan semua penumpang jemaah Umroh untuk duduk bebas dimanapun asal kursi itu kosong karena pesawat sudah akan berangkat.

Penerbangan ini sangat singkat, hanya sekitar 25 menit menyisir pantai laut Atlantik. Sesaat sebelum mendarat di Marrakech, sejauh mata memandang dari atas, yang tampak adalah tanah tandus berwarna coklat.

Pilot Bennaida mengemudikan si Boeing 737-800 dengan sangat baik dan landing yang sangat mulus.

Saya benar-benar terbengong-bengong ketika memasuki bagian dalam Menara Airport di Marrakech ini, karena desainnya yang sangat bagus dan unik ! Saking takjubnya, saya terus menerus menjepret-jepretkan kamera saya mengabadikan desain bagus airport ini. 

Sambil menunggu taxi penjemputpun, saya masih asyik memotret. Sampai ketika seorang lelaki turis bule menghampiri saya dan berbisik “you better be careful, because I was just asked by security officer not to take picture inside the airport”, saya baru memasukkan kamera saya ke dalam tas. Sambil menunggu penjemput tiba, saya berkeliling di airport yang kecil tapi chic ini. Di salah satu pojokan Departure Hall terdapat counter art & culture Maroko, dimana disana dipertunjukkan hasil karya seni rakyat Maroko dan juga ada pertunjukan musik tradisional Maroko.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar