Selasa, 19 November 2013

Nepal [2010] #3 : Melarikan Diri ke Pokhara


Sejak malam sebelumnya kami telah memesan mobil dari hotel untuk mengantar kami ke airport jam 8 pagi, tetapi kami diberitahu pihak hotel bahwa bus akan tersedia jam 7.30. Mau tidak mau kami menyesuaikan diri dengan jadual bus dari hotel, sarapan lebih awal jam 6.30 pagi.

Mobil yang akan membawa kami adalah minibus yang sederhana (baca : jelek), mungkin lebih jelek daripada minibus yang mengangkut penumpang di pedalaman Sumatera sana. Minibus ini ternyata milik Nepal Tourism Board, bukan milik hotel. Di dindingnya terdapat spanduk hijau besar bertuliskan “TOURIST ONLY” dalam warna putih.

Isi minibus tersebut sudah padat sekali, tapi kami tetap diminta masuk kedalamnya. Dan ternyata kami harus duduk di bangku-bangku cadangan, yang terbuat dari bangku kayu, yang diselipkan ditengah/di gang antara kursi yang ada. This is the real journey.
Bayangkan perjalanan sekitar 25 menit ke airport dengan duduk di bangku kayu, tanpa tempat sandaran punggung dan bercampur aduk sangat padat dengan turis-turis lainnya. Untung saja tidak ada penumpang yang menyebarkan aroma yang “menyegarkan” di pagi itu.

Perjalanan menuju ke airport awalnya lancar, tapi ketika minibus mulai mendekati pusat kota, perjalanan mulai tersendat karena ternyata massa telah berkumpul di beberapa titik di pusat kota. Luar biasa ramai, padahal waktu baru menunjukkan jam 7.45 pagi. Minibus berjalan agak tersendat-sendat karena banyak sekali demonstran yang duduk-duduk di tepi jalan atau memblokade jalanan. Di beberapa titik, pemimpin-pemimpin mereka mulai melakukan orasi dengan modal pengeras suara seadanya. Di beberapa area terlihat beberapa demonstran lelaki membawa kayu, tongkat, batu bahkan parang. Nah, ini mau demo atau mau membuat kerusuhan ?

Di dalam minibus ada turis yang berasal dari India, Inggris, Perancis dan tentunya kami, Indonesia. Suasana di dalam minibus hening dan tegang. Sebagian besar penumpang diam. Ada beberapa orang yang berbisik-bisik dalam bahasa mereka dengan suara yang sangat pelan. Seorang Ibu setengah baya asal Inggris bernyanyi-nyanyi kecil, yang sebetulnya lirik lagunya adalah ungkapan stress dan kekhawatirannya melihat kerumunan massa tersebut. “oh, my.....he’s down on the street..” salah satu lirik yang dia nyanyikan, nyaris tanpa notasi, ketika melihat banyak sekali orang2 duduk seenaknya di jalanan.

Saya tidak berani memotret kerumunan massa tersebut, khawatir kalau ada yang marah dan melempar kaca mobil. Kamera sepenuhnya tersimpan rapi di dalam tas.
Mobil tumpangan kami tidak disentuh sama sekali oleh para demonstran karena terdapat tulisan “TOURIST ONLY”, dan di dalam mobil memang tampak beberapa penumpang ras Caucasian.

Kerumunan massa paling banyak berada di sekitar lokasi yang dahulunya adalah Istana Raja Nepal.  Para demonstran, dengan segala atribut kekerasannya, lengkap dengan bendera merah Palu-Arit symbol kelompok komunis Maois, berhadap-hadapan langsung dengan blokade Polisi, yang sebagian adalah Polisi Wanita. Memecahkan ketegangan, saya becanda kepada teman saya, “beli bendera palu arit itu dimana ya ? kayaknya bagus juga tuh untuk kenang-kenangan”

Disepanjang jalan di dekat airport, kami melihat banyak sekali calon penumpang (terutama penduduk lokal) yang berjalan kaki menyeret koper mereka menuju ke airport. Banyak pula becak-becak orang maupun becak barang mengangkut calon penumpang menuju ke airport.

Dengan keadaan yang super lengang, hanya ada manusia, saya tidak bisa membayangkan bagaimana keadaannya disaat normal, pasti penuh dengan mobil, becak, gerobak, dan lain-lain.

Kami semua di drop di gedung terminal internasional. Ternyata gedung terminal domestik terpisah dari terminal internasional dan kami harus berjalan kaki sekitar setengah kilo untuk menuju ke terminal domestik.

Ketika tiba di terminal domestik, kami kaget luar biasa karena mendapati bangunan yang tua, gelap, lusuh dan kotor. Dinding bangunan terminalnya sudah kusam dan cat di beberapa bagian sudah mengelupas. Sebagai pembanding, terminal bus pulo gadung di era 80an saja masih lebih bersih dari pada terminal ini.

Suasana didalamnya penuh hiruk pikuk oleh turis asing maupun lokal. Banyak sekali turis Caucasian dan Jepang. Dari bahasa tubuh mereka, kami menangkap sinyal bahwa kondisi mereka sama saja dengan kami, melarikan diri dari kota Kathmandu, sebelum terjebak ke dalam kekacauan massal.

Toilet di terminal ini luar biasa nasty ! Salah satu toilet paling nasty yang pernah saya masuki. Kotor dan bau pesing luar biasa. Setelah saya perhatikan perilaku orang-orang yang keluar masuk toilet,  saya jadi tahu kenapa toiletnya sampai sebegini jorok. Orang-orang disana jarang sekali memflush/menyiram toilet setelah buang air. Mereka main ngeloyor pergi setelah buang air kecil. Luar Biasa !!!

Untung saya tidak kebelet buang air besar pagi itu, bisa cilaka dua belas tuh !
Ketika saya melakukan check-in di counter check-in Guna Airways, saya ditolak karena harus membayar airport tax terlebih dahulu. Rupanya di pojokan terdapat counter sebuah Bank disana, dimana seluruh penumpang harus membayar airport tax sebesar 170 Rupee (kira-kira Rp. 22.000,-) baru kemudian boleh melakukan check-in.

Sebelum memasuki ruang tunggu, kami harus melewati pemeriksaan fisik. Kalau di negara lain pemeriksaan dilakukan dengan mesin x-ray, disini dilakukan secara manual memeriksa tas bawaan dan meraba-raba sekujur tubuh. Maka dari itu pintu pemeriksaan terbagi dua, sesuai dengan jenis kelamin penumpang. Penumpang wanita diperiksa oleh petugas wanita, demikian pula sebaliknya.

Ruang tunggunya masih sama keadaannya dengan departure hall di depan tadi, meskipun sedikit agak bersih. Ditengah ruang tunggu terdapat sebuah wastafel yang sudah agak jebol, dengan air minum galon yang tersedia  secara gratis. Seorang wanita kemudian mendekati wastafel itu dan mencuci piring bekas makannya di wastafel tersebut.

Kami agak lost karena pengumuman penumpang disini ini sangat tidak konsisten. Terkadang ada suara pengumuman bahwa penumpang penerbangan A dipersilahkan boarding, dalam bahasa Nepal dan Inggris yang tidak jelas pengucapannya. 

Pengumumanpun lebih tepat seperti di terminal bus, karena petugasnya berteriak-teriak menyebutkan nama dan nomor penerbangan di speaker yang sudah tidak berfungsi dengan baik. Tapi pengumuman tersebut tidak selalu ada. Tau-tau kami melihat serombongan orang sudah berdiri dan antri keluar terminal menuju bus yang akan membawa mereka ke pesawat. Sumpah kami terbengong-bengong.

Melihat keadaan begitu, maka kami mencari akal dengan bertanya kepada orang yang boarding passnya berlogo dan bertujuan sama dengan kami dan duduk didekat mereka, supaya tidak ketinggalan pesawat.

Kami semua kemudian naik ke dalam minibus yang akan membawa kami ke pesawat. Namun baru berjalan beberapa belas meter, minibus berhenti. Lama juga berhentinya, lebih dari 10 menit. Minibus tersebut tanpa AC, tapi untungnya udara sejuk, sehingga kami tidak kegerahan.

Kami baru tahu kemudian bahwa bus tidak boleh jalan karena akan ada pesawat yang akan lewat. Ternyata beberapa menit kemudian sebuah benda raksasa berjalan pelan melintas sangat dekat dengan minibus ini, sebuah pesawat Airbus A330-200 Qatar Airways yang akan terbang menuju ke Doha. Saking dekatnya posisi minibus dan pesawat, dengan sedikit menzoom-in lensa kamera saya, saya bisa melihat jelas Pilot di dalam cockpit pesawat tersebut. Apakah ini tidak berpotensi menyebabkan kecelakaan ???

Pesawat yang membawa kami menuju Pokhara adalah pesawat baling-baling berjenis, Beechcraft. Dan ternyata penerbangan ini memiliki satu orang pramugari yang bertugas di kabin siang itu.

Setelah pintu pesawat ditutup, pramugari membagikan permen dan penutup telinga (berupa kapas) kepada para penumpang. Bayangkan betapa berisiknya mesin pesawat itu, sampai-sampai disediakan kapas untuk menutup telinga.

Lagi-lagi saya terbengong-bengong karena sama sekali tidak ada safety instruction di dalam pesawat. Tau-tau pesawat jalan saja ke runway dan terbang begitu saja tanpa ada pengumuman apa-apa, baik dari Pilot maupun Pramugari. What a flight !

Penerbangan seru, beberapa kali pesawat bumpy di udara, sementara dibawah sana, sejauh mata memandang adalah gunung-gunung dengan hutan yang sangat lebat.

Setelah terbang 30 menit, pesawat mendarat di airport di Pokhara. Airportnya sangat kecil, tapi lebih rapi dan lebih bersih dari pada airport Kathmandu. Diluar pagar airport, para penjual dan penjemput penumpang ramai menjemput sanak saudara mereka. Melihat banyaknya wanita yang masih berbaju tradisional, saya merasakan suasana yang sangat berbeda. Mungkin seperti suasana di Kabupaten di Indonesia di awal tahun 80an.

Keluar dari airport, kami kembali mendapati kota mati. Tidak ada kendaraan sama sekali. Yang ada hanya orang berjalan kaki kesana kemari, tentara yang berjaga-jaga di pojokan jalan dan becak-becak. Beberapa penumpang yang membawa barang yang banyak menyewa gerobak barang untuk membawa barang mereka, sementara mereka berjalan kaki bersama dengan becak tersebut.

Berbekal peta yang kami bawa, kami berjalan kaki dari airport menuju ke hotel tempat kami menginap. Meskipun kaki mulai pegal karena berjalan kaki terus, tapi hati masih senang karena suasana dan pemandangan yang dilihat sangat berbeda.

Kami menginap di Fish Tail Lodge Hotel, sebuah hotel tua yang sangat tenang dan asri. Hotel ini terletak diantara danau Fewa didepan dan bukit dengan hutan yang lebat di belakangnya. Untuk menuju ke hotel, kami harus menyeberangi danau terlebih dahulu. Tamu hotel sebagian besar adalah tamu berbangsa Caucasian dan Jepang.
Ketika check-in di hotel ini, kami baru tahu bahwa hotel ini pernah dikunjungi oleh tamu-tamu VIP dari berbagai negara, seperti Pangeran Charles, Pangeran Akihito, dan lain-lain.

Suasana di hotel ini betul-betul merelaks-kan pikiran. Sejauh mata memandang, yang tampak hanyalah gunung-gunung hijau, dengan beberapa puncak Anapurna yang bersalju di latar belakang, danau yang tenang dan hutan-hutan yang asri di belakang hotel. Di salah satu ruangan di hotel ini tampak sedang berlangsung kelas Yoga untuk tamu hotel.

Suasana kota Pokhara memang sedikit lebih laidback, dengan nuansa pedesaan tradisional yang lebih kental. Penduduknya pun lebih ramah dan hangat dibandingkan penduduk Kathmandu.

Meskipun suasana hotel yang sangat menentramkan hati, tapi kami tetap saja suntuk berlama-lama di hotel. Akan tetapi pilihannya adalah berjalan kaki, karena semua kendaraan tidak ada yang jalan. Beruntung kami mendapatkan seorang tour guide, pria lokal dari Pokhara, yang berwajah Mongoloid, yang bersedia mengantar kami keliling-keliling beberapa obyek wisata di Pokhara dengan berjalan kaki.

Tujuan utama kami adalah Bindhyabasini Temple, yang ternyata jaraknya jauh sekali dari hotel.

Dua kilometer pertama berhasil ditempuh dengan jalan kaki tegap, kilometer selanjutnya mulai dijalani dengan terseok-seok, mungkin karena akumulasi dari kepenatan jalan kaki sehari sebelumnya di Kathmandu. Beberapa kali kami meminta time-out dengan duduk-duduk, minum, ngobrol dan mengamati penduduk di sekitar. Sementara si tour guide tampak tetap segar bugar tanpa kelelahan. Pastinya rute ini tidak ada apa-apanya buat dia, karena biasanya dia menjadi tour guide rute trekking di kaki gunung Anapurna.

Rasa penat sedikit terobati karena situasi yang kami lihat merupakan hal yang baru pertama kali dilihat seumur hidup. Pria dan wanita dewasa memakai pakaian tradisional di banyak tempat, jalanan kosong yang dipakai untuk main cricket oleh anak-anak, para ibu-ibu berjalan bersama-sama dengan pakaian warna warni menyala, orang bersembahyang di kuil kecil di pojokan jalan, dan lain-lain.

Rasa penat itu sirna seketika ketika kami memasuki wilayah yang merupakan kota kuno Pokhara. Disini bangunan-bangunan tua berwarna merah bata masih berdiri kokoh. Sebagian tampak seperti balai desa, beberapa lagi tampak seperti rumah besar keluarga. Beberapa bangunan memiliki kayu ukiran yang kalau dilihat dari kondisinya pasti sudah sangat tua. Dibeberapa bagian kota kuno tampak kuil-kuil kecil tempat sembahyang individu. Entah kenapa, saya merasa ada kemiripan dengan Bali !

Suasana di kota kuno ini sangat menarik. Para wanita penjual sayuran sliweran disana sini menjajakan jualannya. Mereka berpakaian tradisional dengan dominasi warna merah serta keranjang besar tempat jualan yang diikatkan di kepala.






Di satu pojokan tampak penjual semangka dengan gerobaknya berdiri menunggu pembeli dan di seberangnya ada laki-laki kurang waras yang berjalan-jalan ngoceh tidak jelas.

Nepal memiliki ratusan etnis yang hidup damai berdampingan. Keberagaman etnis itu tampak dari wajah mereka, ada yang tampak seperti bangsa India, ada yang tampak seperti ras mongoloid, ada yang seperti Melayu. Keberagaman itu juga tampak dari aneka macam pakaian tradisional yang mereka pakai. Mayoritas penduduk Nepal beragama Hindu.

Kami tiba di daerah bernama Bagar, yang merupakan pusat pasar dan pertokoan di Pokhara. Sepi kosong melompong, semua tutup. Padahal kata si tour guide, biasanya disini sangat ramai dan kadangkala macet. Disini kami sempat berpapasan dengan barisan para demonstran yang berjalan beriringan menuju ke pusat kota. Mereka bernyanyi-nyanyi sambil meneriakkan yel-yel tertentu. Beberapa orang membawa serta kayu, pentungan, bahkan golok. Kami menepi dan hanya menonton barisan tersebut dari teras sebuah warung. Dandanan kami serta kamera yang saya bawa menunjukkan identitas kami sebagai turis, dan itu menyelamatkan kami dari gangguan mereka. Demi alasan keselamatan, maka saya tidak berani sama sekali memotret mereka.

Kami akhirnya sampai di kuil Bindhyabasini, yang ternyata terletak diatas sebuah bukit, dan pastinya harus mendaki menaiki puluhan anak tangga. Suasana di kuil sangat sepi, hanya beberapa orang saja yang datang berdoa disana. Si tour guide kemudian menjelaskan segala hal terkait kuil tersebut.

Dari kuil ini pemandangan terbuka luas…kota Pokhara ada dibawah sana, dan pegunungan Anapurna berdiri kokoh melindungi kota kecil ini.

Dalam perjalanan kembali menuju ke hotel, kami kembali excited dengan suasana lain yang kami temui di sepanjang jalan.

Kami bertemu dengan satu kompi tentara Nepal yang sedang berjaga-jaga kalau-kalau ada kerusuhan akibat dari demonstrasi. Tapi melihat ada turis melintas (kami), mereka melambaikan tangan sambil tersenyum. Saya sempat mengobrol dengan beberapa orang diantara mereka, bertanya sejak kapan mereka bertugas, apakah mereka bagian dari pasukan Gurkha yang terkenal itu, dan lainnya. Luar biasa, mereka bisa berbahasa Inggris dengan baik.

Ketika sedang berhenti untuk membeli minuman di tempat lainnya, kami mendapati lelaki tua yang sedang membuat anyaman. Dengan bahasa tubuh (karena dia tidak bisa berbahasa Inggris) kami ajak berfoto dan dia tidak menolaknya.

Di tempat lainnya, segerombol anak kecil berteriak-teriak melihat kami “foto…foto..”teriak mereka dengan lantangnya. Jadilah mereka dengan sukarela menjadi model foto di sore hari itu.









Selebihnya, kami menghabiskan waktu menyaksikan pemandangan yang spektakuler. Puncak gunung es di pegunungan Anapurna berwarna kuning keemasan diterpa matahari sore yang akan hilang. Sementara pemandangan sunset di danau Fewa, di dekat hotel juga tak kalah indahnya.




Untuk mengisi kekosongan waktu disana, saya memesan “mountain flight” untuk pagi hari keesokan harinya, dengan jadual take off pukul 08.00. Ini adalah wisata udara, dimana turis bisa menyewa pesawat kecil dan terbang hanya berdua dengan pilot saja, menyusuri gunung-gunung cantik di pegunungan Anapurna, melewati celah-celah terjal diantara gunung-gunung es tersebut. Perjalanan memakan waktu sekitar 45 menit sampai 1 jam. Konon, penerbangan ini sangat memacu adrenalin karena lumayan beresiko tinggi.

Aturan main yang berlaku, apabila penerbangan dibatalkan oleh calon penumpang maka calon penumpang harus membayar penuh biaya penerbangan. Akan tetapi apabila penerbangan dibatalkan oleh pihak penerbangan atau karena cuaca buruk, maka biaya akan dikembalikan sepenuhnya tanpa potongan apapun.

Pemesanan sudah beres dan saya sudah excited menunggu moment menegangkan tersebut keesokan paginya. Sampai ketika pukul 5 keesokan paginya saya terbangun karena hujan turun dengan derasnya di Pokhara. Hujan itu awet sampai hari mulai terang. Buyarlah impian saya untuk terbang tandem berdua dengan pilot menyusuri pegunungan Anapurna ! Cuaca hari itu memang kurang bagus di Pokhara, selain hujan juga berkabut. Beruntung suhu tidak terlalu dingin hari itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar