Marrakech adalah tujuan utama saya
ke Marokko. Dari berbagai rekomendasi yang saya lihat dan baca, kota ini memang
eksotis dan menarik untuk didatangi. Perlu diingat bahwa kota Marrakech
bukanlah kota maju dengan segala fasilitas yang wah dan gedung-gedung pencakar
langit. Kota ini hanyalah sebuah kota kecil yang memiliki peninggalan sejarah,
seni dan budaya dengan berbagai atraksi di dalamnya. Lupakan gemerlap kota
besar karena hal itu tidak ada disini, dan dalam kenyataannya banyak penduduk
disini yang hidup dalam garis kemiskinan.
Sebelum berangkat saya sudah
mengumpulkan semua informasi tentang Marrakech, termasuk peta kotanya. Tapi
jujur, sampai sebelum saya menginjakkan kaki di Marrakech, saya masih kesulitan
mengumpulkan puzzle tentang kota ini. Dari foto-foto yang ada di website, gambaran
yang melekat di benak saya adalah kota tua semrawut layaknya perkampungan besar.
Gambaran tersebut ternyata tidak benar, tapi juga tidak salah.
Ketika mobil yang saya tumpangi
dari airport membawa saya memasuki kota Marrakech, yang tampak memanglah sebuah
kota tua yang agak gersang. Mobil-mobil yang berseliweran rata-rata adalah
mobil butut, sementara di beberapa spot tampak kendaraan sejenis andong dan
juga gerobak yang ditarik kuda. Disalah satu belokan, trotoarnya penuh dengan
tumpukan gerabah yang dijual oleh para pengrajin. Kota ini sungguh unik ! Saya
berasa seperti berada di dunia lain.
Pemandangan pertama ketika mobil
memasuki kota Marrakech adalah jalanan dengan tembok tinggi di kanan kirinya,
yang ternyata itu adalah istana raja. Ya seperti daerah pinggiran keraton Jogja,
tapi bedanya di Marrakech tembok-temboknya berwarna merah bata dan terkesan
lebih modern.
Saat memesan penginapan ketika
masih di Jakarta, saya agak kesulitan mencari hotel yang berlokasi strategis di
Medina dan masuk ke dalam budget saya. Banyak hotel yang penuh. Sepertinya saat
itu adalah peak season turisme disana.
Karena melihat film dokumenter
dari NatGeo tentang Riad (old grande house yang dijadikan semacam butik hotel
oleh pemilik-pemiliknya) maka sayapun tergoda dan membooking kamar di sebuah
Riad di daerah Medina tanpa memahami lingkungan di sekitar Riad itu seperti apa.
Di Marrakech bertaburan puluhan, mungkin sampai seratusan Riad dengan tarif
mulai dari sekitar 500 ribu Rupiah sampai sekitar 7 jutaan Rupiah semalamnya.
Semua tergantung lokasi, fasilitas dan kemewahan yang ditawarkan.
Pagi itu saya menuju ke Riad yang
telah saya pesan untuk menginap selama 2 malam. Mobil taxi penjemput saya meninggalkan jalan
raya, masuk ke dalam gang-gang sempit yang merupakan daerah perumahan. Di kanan
kiri gang sempit ini terdapat rumah-rumah tua, penuh sesak dan berliku-liku. Perjalanan
benar-benar mblusuk-mblusuk, tanpa ada panduan arah jalan. Si supir menguasai
medan karena dia sudah familiar dengan lingkungan ini. Beberapa kali mobil
berpapasan dengan gerobak atau mobil lainnya dan saling mengatur papasan karena
jalan yang dilalui lumayan sempit.
Saya mulai terperangah ketika
melewati sebuah kandang kuda diantara perumahan padat itu. Bayangkan, dengan
rumah dempet-dempet begitu masih pakai kandang hewan pula terselip diantaranya.
Saya tidak bisa bertanya apapun kepada si supir karena dia tidak bisa berbahasa
Inggris sama sekali, kecuali kata “thank you”.
Setelah berbelok-belok di
gang-gang padat seperti di film-film Indiana Jones, mobil akhirnya berhenti
didepan sebuah rumah yang sangat tertutup dari luar. Hanya terdapat sebuah
pintu kayu besar, tanpa ada tulisan nama penginapan tersebut.
Setelah si supir
mengetukkan bell manual dari besi tua, pintupun dibukakan dari dalam. Ternyata
dibalik pintu kayu besar itu terdapat bangunan 3 lantai yang cukup besar dengan
taman kecil di bagian tengahnya. Kamar-kamar para tamu Riad terdapat di lantai
1 (mengitari taman) dan 2. Sementara lantai 3 digunakan untuk sebagai upper
deck terbuka, tempat bersantai dengan sofa-sofa santai.
Begitu pintu kayu besar itu
ditutup, suasana langsung senyap, sangat kontradiktif dengan hingar bingar perkampungan
di luar sana. Riad yang saya tinggali adalah milik seorang warga negara
Perancis yang juga menjadi pengelolanya.
Riad ini nyaman, suasananya homey
dan berdesain mediteranian. Kamarnya berukuran 6x6 meter, dengan private bathroom
di masing-masing kamar. Siang itu saya beristirahat sejenak untuk mengumpulkan energi sebelum mulai mengeksplor kota ini.
Ketika saya akan pergi, petugas Riad
memberikan kartu nama Riad dengan alamatnya sebagai bekal kalau-kalau kesasar
nantinya.
Begitu keluar dari pintu Riad,
yang ada saya kebingungan. Riad ini terletak di tengah-tengah pekampungan
dengan gang-gang yang berbelok dan bercabang kesana kemari, bertemu dengan
kandang domba, pasar kecil dan lain-lain.
Baru saja saya berjalan beberapa
meter menyusuri jalanan di perkampungan padat itu, saya dikejar dua orang anak
kecil setempat yang langsung menadahkan tangannya di kanan kiri saya. Bingung
harus bagaimana, lagipula saya tidak punya uang koin saat itu, jadi saya cuekin
saja bocah-bocah cilik itu.
Dibelokan pertama terdapat
sekelompok anak-anak sedang bermain-main. Tiba-tiba salah seorang berbicara
dalam bahasa Arab dan mereka semua melihat kepada saya. Fisik saya yang berbeda
dari mereka ditambah atribut topi dan tas kamera mendeklarasikan bahwa saya adalah turis. Tiba-tiba saja mereka semua menyerbu saya, menadahkan
tangan dan mengikuti saya beberapa meter sampai mereka bosan sendiri.
Kemiskinan memang menjadi salah
satu isu utama di Maroko. Dari seorang teman yang sempat pergi ke Tangier saya
mendapat cerita bahwa disana dia secara brutal ditawari jasa prostitusi
gadis-gadis lokal.
Saya betul-betul tidak tahu arah
saat itu. Tidak ada penunjuk arah, tidak ada nama jalan/gang tersebut. Saya
hanya mengikuti intuisi saya saja, mengarah ke tujuan dimana banyak kendaraan
menuju karena dalam logika saya kendaraan tersebut pasti menuju ke jalan besar.
Disaat berjalan-jalan menyusuri
sebuah gang kecil, saya mendapati sebuah masjid tua yang tersembunyi dibalik
dua buah rumah didepannya. Masjid tersebut sangat indah, dengan ornamen-ornamen
keramik tua bercorak bunga-bunga berwarna biru dan hijau. Baru saja saya
memasuki pekarangan kecil masjid, saya mendengar teriakan dari arah belakang
saya. Seorang lelaki muda mendekati saya dan berkata “taking picture is not
allowed”. Ok saya mengerti, lalu menyimpan kembali kamera saya.
Lelaki itu
kemudian mengoceh bercerita tentang masjid itu, termasuk sejarahnya. Dari
dandanannya, celana jeans dengan t-shirt lusuh dan sepatu kets, tidak mungkin
dia pengurus masjid. Sampai ketika dia memperbolehkan saya memotret masjid dan menawarkan
saya untuk mencopot sepatu dan masuk ke dalam masjid, saya baru sadar bahwa
laki-laki ini adalah tour guide gelap. Sangat besar kemungkinan dia memalak
saya dengan tarif tinggi ketika dia sudah selesai mendongeng tentang masjid
ini. Saya langsung menolak dengan halus dan berkata saya harus pergi, tapi dia
tetap ngotot dan saya juga tidak mau kalah ngotot untuk pergi. Tiba-tiba dia
bicara “ok, now give me one hundred dollar”…sayapun kaget dan bertanya untuk
apa ? Dia menjawab dengan enteng “for tourist services and entrance charge to
this mosque”. Walah….tanduk saya langsung muncul dan menjawab “did I ask you to
explain to me about this mosque ?” lalu saya timpali lagi “hey I am moslem too,
now tell me how come you charge people to pay entrance fee to enter a mosque ?”
Tapi sepertinya dia tidak begitu paham pertanyaan saya dan dia tetap pasang
muka pengin ditonjok. Saya hanya khawatir dia akan bertindak nekad, berteriak
bahwa saya pembuat onar di masjid atau sejenisnya dan saya akan jadi
bulan-bulanan orang orang sekampung yang berbahasa alien ini. Maka saya kasih
saja uang seadanya sebagai simpati atas keadaan di kampung tersebut. Saya sudah
bersiap kalau dia ngotot tetap minta seratus dollar. Tapi ternyata dia hanya
diam saja. Dia sudah senang dengan uang 200 Dirham (setara USD 20) yang saya
berikan.
Saya lalu mendapati sebuah pasar
yang cukup ramai, saya yakin ini sudah dekat ke jalan raya. Saya terus berjalan
mengikuti arus kendaraan yang ramai mengarah. Ternyata saya keluar di sebuah
terminal bus, entah apa namanya.
Begitu saya keluar dari labirin
itu dan menemukan jalan raya besar, rasanya lega luar biasa ! Saya menyempatkan
membeli sandwich dulu di sebuah restoran kecil dekat terminal bus sebelum
menlanjutkan perjalanan.
Saya lalu mencegat sebuah taxi dan
tawar menawar terjadi untuk menuju ke masjid Koutoubia. Disini sepertinya kudu
nekad menawar, karena seperti orang-orang disini akan mematok harga tinggi
karena status sebagai turis.
Begitu saya berjalan memasuki area
masjid tua Koutoubia, seorang laki-laki muda berlari ke arah saya dan
menawarkan jasa guide untuk menjelaskan tentang masjid. Tapi saya tolak dengan
halus karena saya tidak memerlukannya.
Di area masjid Koutoubia siang itu
ada beberapa turis lainnya, ada serombongan anak muda sepertinya orang
Philippines yang sibuk dengan kamera-kamera besar mereka. Disini juga ada
beberapa orang lelaki suku Berber yang memakai baju tradisional sukunya sambil
berjualan air minum. Mereka juga bersedia untuk difoto atau diajak foto
bersama. Tapi tunggu dulu, kalau mau memoto mereka ada tarifnya ! Dan seperti
biasa bisa ditawar.
Dari Koutoubia saya menuju ke
stasiun kereta api Gare de Marrakech untuk membeli tiket kereta api kembali ke Casablanca 3 hari kedepan. Dalam
perjalanan menuju ke stasiun tersebut saya menemukan sisi lain kota Marrakech
ini yang ternyata bukan cuma kampung tua dan besar saja. Ada sisi kota baru dan
modern. Ada area yang sangat asri, bersih dan rapi, penuh dengan rumah-rumah
besar dan bagus-bagus, serta terdapat hotel-hotel besar yang berdampingan
dengan rumah-rumah tersebut.
Mendekati area stasiun Gare de
Marrakech terdapat wilayah pertokoan yang cukup vibrant and modern. Ada
beberapa toko dengan merk internasional berjejer di jalanan yang penuh dengan
pohon rindang ini.
Ternyata area di sekitar stasiun
ini memang kota baru yang vibrant. Stasiunnya sendiri tergolong bagus dan
sepertinya baru direnovasi. Terdapat banyak café dan restoran di samping
stasiun. Banyak tampak ada beberapa apartemen baru di depan stasiun, menandakan
kehidupan kamu urban yang tumbuh subur ke wilayah ini. Di area inilah warga
Marrakech mencari suasana lain, suasana kehidupan modern dan western. Mereka
duduk-duduk, makan-makan dan ngopi-ngopi dengan dandanan yang sangat western.
Turispun banyak berseliweran disekitar sini.
Saya kembali ke Riad disaat hari mulai senja.
Awalnya saya berharap supir taxi akan mengantarkan sampai ke depan pintu Riad,
tapi ternyata dia berhenti disalah satu gang dan memberi tahu saya untuk jalan
saja kedalam, nanti akan menemukan Riad tersebut. Petualangan di labirin
kembali dimulai.
Senja itu saya melihat beberapa
rumah hanya memiliki penerangan seadanya, hanya satu bola lampu dengan watt
rendah yang memendar dari rumah yang pintunya terbuka. Selain itu saya juga
mendapati beberapa rumah yang ternyata didalamnya lebih rendah dari jalan di
depan rumah tersebut.
Untuk menginap dan survive di Riad
ini membutuhkan upaya ekstra untuk menghapal tanda-tanda, baik itu belokan, jumlah
belokan, rumah-rumah unik atau tanda-tanda lainnya dari dan menuju ke Riad.
Bermodal tanda-tanda itulah saya tidak kesasar senja itu.
Kesulitan lain di Marrakech adalah
bahasa, karena disini semua petunjuk dan lain-lain hanya berbahasa Arab atau
Perancis. Ada bahasa Inggris tapi hanya di area-area tertentu.
Malam itu di Riad suasana sangat
senyap, hanya terdengar suara ketawa-ketawa dari kamar-kamar lain. Mau nonton
TV, ternyata channelnya lokal semua yang pastinya saya nggak mudeng bahasanya.
Mau pergi keluar lagi, kans untuk saya kesasar bablas kemana-mana dalam
kegelapan akan sangat besar sekali.
Keesokan paginya sarapan pagi
dengan menu sederhana American Breakfast yang disediakan di ruang makan di Riad. Saya
bergabung dengan tiga orang turis asal Lyon yang sudah 4 hari di Marrakech,
yang untungnya berbahasa Inggris dengan baik. Obrolan seru karena salah seorang
dari mereka berprofesi sama dengan saya, lalu salah seorang dari mereka pernah
ke Bali. Mereka heran, kenapa saya jauh-jauh pergi ke Maroko, dengan alasan
negara yang eksotis karena buat mereka Indonesia adalah negara indah dan
eksotis. Saya jawab singkat saja, kalau kalian hidup di satu tempat terus
menerus, tentunya kalian ingin melihat sesuatu yang baru dan berbeda, bukan ? Karena
defini eksotis bisa jadi berbeda untuk setiap bangsa. Mereka mengangguk, entah
setuju atau apa.
Kami lalu bertukar cerita tentang
pengalaman masing-masing di Marrakech. Saya bercerita tentang apa yang saya
alami kemarin ketika dikejar-kejar anak-anak meminta uang dan bertemu pemalak
yang menyamar jadi tour guide. Mereka lalu bercerita tentang pengalaman mereka
makan malam di food stall di Djemaa El Fna, yang harganya tidak standar,
hitungan matematis tidak berlaku disana. Semau-mau si penjual saja. Di satu
tempat makan memberi camilan gratis, di sebelahnya mencharge dengan harga
mahal.
Salah satu dari mereka lalu
bercerita pengalamannya membeli orange juice dari penjual buah, masih di Djemaa
El Fna. Disana buah jeruknya memang segar-segar dan enak. Awalnya penjual
menyebutkan harganya 4 Dihram, tapi ketika selesai membuat jus, si penjual menyebutkan
harganya adalah 4 Dollar ! Entah si penjual slip of tounge menyebut 4 Dirham,
tapi beda nilainya sepuluh kali lipat itu !
Saat sedang sarapan, pelayan Riad
menuangkan susu hangat ke cangkir saya. Katanya itu susu domba segar dari tempat
domba di dekat Riad. Oh, ternyata banyak peternakan hewan-hewan diantara
perumahan padat ini. Saya penasaran karena seumur-umur belum pernah minum susu
domba sama sekali, maka langsung saja ditenggak. Rasanya segar, creamy dan enak
sekali. Habis dua pertiga cangkir, lalu saya memakan sisa roti sambil terus mengobrol
dengan ketiga orang tersebut. Ketika saya akan minum sisa susu yang masih
tersisa dan sudah dingin, aroma yang tercium dari cangkir itu adalah amis luar
biasa. Waduh ! ternyata susu segar itu harus diminum hangat-hangat karena
begitu dingin baunya amis tidak karuan.
Demi mencari suasana yang berbeda
dari kota Marrakech, ingin merasakan vibrant kehidupan modern kota barunya,
maka pada malam ketiga saya pindah ke hotel Sofitel Marrakech yang terletak
tidak jauh dari Djemaa El Fna.
Hotel ini sangat chic, desainnya
penuh dengan ornamen khas Maroko, baik langit-langit lobby, dinding lobby dan
pintu liftnya. Servisnya pun sangat baik dan staffnya cekatan, sangat berbeda
dengan hotel yang saya inapi di Casablanca maupun di Riad sebelumnya. Saya
sangat terpesona dengan kecantikan para staff frontline hotel yang semuanya
berbahasa Inggris dengan baik, selain Arab dan Perancis. Bahkan saya mendapati
salah seorang dari mereka berbicara fasih bahasa Spanyol kepada turis dari
Spanyol. Dari seorang teman yang tinggal di Eropa saya mendapatkan informasi
bahwa di Eropa memang dikenal wanita-wanita Maroko ini cantik-cantik.
wah seru nih bro perjalannya...
BalasHapusbanyak tips2 yg berguna.. thanks bro..
anyway, kalau bisa juga review diecast donk bro.. :)