Sabtu, 02 November 2013

MAROC [2010] #4 : Eksotisme Marrakech


Marrakech adalah tujuan utama saya ke Marokko. Dari berbagai rekomendasi yang saya lihat dan baca, kota ini memang eksotis dan menarik untuk didatangi. Perlu diingat bahwa kota Marrakech bukanlah kota maju dengan segala fasilitas yang wah dan gedung-gedung pencakar langit. Kota ini hanyalah sebuah kota kecil yang memiliki peninggalan sejarah, seni dan budaya dengan berbagai atraksi di dalamnya. Lupakan gemerlap kota besar karena hal itu tidak ada disini, dan dalam kenyataannya banyak penduduk disini yang hidup dalam garis kemiskinan.

Sebelum berangkat saya sudah mengumpulkan semua informasi tentang Marrakech, termasuk peta kotanya. Tapi jujur, sampai sebelum saya menginjakkan kaki di Marrakech, saya masih kesulitan mengumpulkan puzzle tentang kota ini. Dari foto-foto yang ada di website, gambaran yang melekat di benak saya adalah kota tua semrawut layaknya perkampungan besar. Gambaran tersebut ternyata tidak benar, tapi juga tidak salah.


Ketika mobil yang saya tumpangi dari airport membawa saya memasuki kota Marrakech, yang tampak memanglah sebuah kota tua yang agak gersang. Mobil-mobil yang berseliweran rata-rata adalah mobil butut, sementara di beberapa spot tampak kendaraan sejenis andong dan juga gerobak yang ditarik kuda. Disalah satu belokan, trotoarnya penuh dengan tumpukan gerabah yang dijual oleh para pengrajin. Kota ini sungguh unik ! Saya berasa seperti berada di dunia lain.



Pemandangan pertama ketika mobil memasuki kota Marrakech adalah jalanan dengan tembok tinggi di kanan kirinya, yang ternyata itu adalah istana raja. Ya seperti daerah pinggiran keraton Jogja, tapi bedanya di Marrakech tembok-temboknya berwarna merah bata dan terkesan lebih modern.


Saat memesan penginapan ketika masih di Jakarta, saya agak kesulitan mencari hotel yang berlokasi strategis di Medina dan masuk ke dalam budget saya. Banyak hotel yang penuh. Sepertinya saat itu adalah peak season turisme disana.

Karena melihat film dokumenter dari NatGeo tentang Riad (old grande house yang dijadikan semacam butik hotel oleh pemilik-pemiliknya) maka sayapun tergoda dan membooking kamar di sebuah Riad di daerah Medina tanpa memahami lingkungan di sekitar Riad itu seperti apa. Di Marrakech bertaburan puluhan, mungkin sampai seratusan Riad dengan tarif mulai dari sekitar 500 ribu Rupiah sampai sekitar 7 jutaan Rupiah semalamnya. Semua tergantung lokasi, fasilitas dan kemewahan yang ditawarkan.


Pagi itu saya menuju ke Riad yang telah saya pesan untuk menginap selama 2 malam. Mobil taxi penjemput saya meninggalkan jalan raya, masuk ke dalam gang-gang sempit yang merupakan daerah perumahan. Di kanan kiri gang sempit ini terdapat rumah-rumah tua, penuh sesak dan berliku-liku. Perjalanan benar-benar mblusuk-mblusuk, tanpa ada panduan arah jalan. Si supir menguasai medan karena dia sudah familiar dengan lingkungan ini. Beberapa kali mobil berpapasan dengan gerobak atau mobil lainnya dan saling mengatur papasan karena jalan yang dilalui lumayan sempit.

Saya mulai terperangah ketika melewati sebuah kandang kuda diantara perumahan padat itu. Bayangkan, dengan rumah dempet-dempet begitu masih pakai kandang hewan pula terselip diantaranya. Saya tidak bisa bertanya apapun kepada si supir karena dia tidak bisa berbahasa Inggris sama sekali, kecuali kata “thank you”.

Setelah berbelok-belok di gang-gang padat seperti di film-film Indiana Jones, mobil akhirnya berhenti didepan sebuah rumah yang sangat tertutup dari luar. Hanya terdapat sebuah pintu kayu besar, tanpa ada tulisan nama penginapan tersebut. 

Setelah si supir mengetukkan bell manual dari besi tua, pintupun dibukakan dari dalam. Ternyata dibalik pintu kayu besar itu terdapat bangunan 3 lantai yang cukup besar dengan taman kecil di bagian tengahnya. Kamar-kamar para tamu Riad terdapat di lantai 1 (mengitari taman) dan 2. Sementara lantai 3 digunakan untuk sebagai upper deck terbuka, tempat bersantai dengan sofa-sofa santai.

Begitu pintu kayu besar itu ditutup, suasana langsung senyap, sangat kontradiktif dengan hingar bingar perkampungan di luar sana. Riad yang saya tinggali adalah milik seorang warga negara Perancis yang juga menjadi pengelolanya.

Riad ini nyaman, suasananya homey dan berdesain mediteranian. Kamarnya berukuran 6x6 meter, dengan private bathroom di masing-masing kamar. Siang itu saya beristirahat sejenak untuk mengumpulkan energi sebelum mulai mengeksplor kota ini.

Ketika saya akan pergi, petugas Riad memberikan kartu nama Riad dengan alamatnya sebagai bekal kalau-kalau kesasar nantinya.

Begitu keluar dari pintu Riad, yang ada saya kebingungan. Riad ini terletak di tengah-tengah pekampungan dengan gang-gang yang berbelok dan bercabang kesana kemari, bertemu dengan kandang domba, pasar kecil dan lain-lain.

Baru saja saya berjalan beberapa meter menyusuri jalanan di perkampungan padat itu, saya dikejar dua orang anak kecil setempat yang langsung menadahkan tangannya di kanan kiri saya. Bingung harus bagaimana, lagipula saya tidak punya uang koin saat itu, jadi saya cuekin saja bocah-bocah cilik itu.

Dibelokan pertama terdapat sekelompok anak-anak sedang bermain-main. Tiba-tiba salah seorang berbicara dalam bahasa Arab dan mereka semua melihat kepada saya. Fisik saya yang berbeda dari mereka ditambah atribut topi dan tas kamera mendeklarasikan bahwa saya adalah turis. Tiba-tiba saja mereka semua menyerbu saya, menadahkan tangan dan mengikuti saya beberapa meter sampai mereka bosan sendiri.

Kemiskinan memang menjadi salah satu isu utama di Maroko. Dari seorang teman yang sempat pergi ke Tangier saya mendapat cerita bahwa disana dia secara brutal ditawari jasa prostitusi gadis-gadis lokal.

Saya betul-betul tidak tahu arah saat itu. Tidak ada penunjuk arah, tidak ada nama jalan/gang tersebut. Saya hanya mengikuti intuisi saya saja, mengarah ke tujuan dimana banyak kendaraan menuju karena dalam logika saya kendaraan tersebut pasti menuju ke jalan besar.

Disaat berjalan-jalan menyusuri sebuah gang kecil, saya mendapati sebuah masjid tua yang tersembunyi dibalik dua buah rumah didepannya. Masjid tersebut sangat indah, dengan ornamen-ornamen keramik tua bercorak bunga-bunga berwarna biru dan hijau. Baru saja saya memasuki pekarangan kecil masjid, saya mendengar teriakan dari arah belakang saya. Seorang lelaki muda mendekati saya dan berkata “taking picture is not allowed”. Ok saya mengerti, lalu menyimpan kembali kamera saya. 

Lelaki itu kemudian mengoceh bercerita tentang masjid itu, termasuk sejarahnya. Dari dandanannya, celana jeans dengan t-shirt lusuh dan sepatu kets, tidak mungkin dia pengurus masjid. Sampai ketika dia memperbolehkan saya memotret masjid dan menawarkan saya untuk mencopot sepatu dan masuk ke dalam masjid, saya baru sadar bahwa laki-laki ini adalah tour guide gelap. Sangat besar kemungkinan dia memalak saya dengan tarif tinggi ketika dia sudah selesai mendongeng tentang masjid ini. Saya langsung menolak dengan halus dan berkata saya harus pergi, tapi dia tetap ngotot dan saya juga tidak mau kalah ngotot untuk pergi. Tiba-tiba dia bicara “ok, now give me one hundred dollar”…sayapun kaget dan bertanya untuk apa ? Dia menjawab dengan enteng “for tourist services and entrance charge to this mosque”. Walah….tanduk saya langsung muncul dan menjawab “did I ask you to explain to me about this mosque ?” lalu saya timpali lagi “hey I am moslem too, now tell me how come you charge people to pay entrance fee to enter a mosque ?” Tapi sepertinya dia tidak begitu paham pertanyaan saya dan dia tetap pasang muka pengin ditonjok. Saya hanya khawatir dia akan bertindak nekad, berteriak bahwa saya pembuat onar di masjid atau sejenisnya dan saya akan jadi bulan-bulanan orang orang sekampung yang berbahasa alien ini. Maka saya kasih saja uang seadanya sebagai simpati atas keadaan di kampung tersebut. Saya sudah bersiap kalau dia ngotot tetap minta seratus dollar. Tapi ternyata dia hanya diam saja. Dia sudah senang dengan uang 200 Dirham (setara USD 20) yang saya berikan.

Saya lalu mendapati sebuah pasar yang cukup ramai, saya yakin ini sudah dekat ke jalan raya. Saya terus berjalan mengikuti arus kendaraan yang ramai mengarah. Ternyata saya keluar di sebuah terminal bus, entah apa namanya.

Begitu saya keluar dari labirin itu dan menemukan jalan raya besar, rasanya lega luar biasa ! Saya menyempatkan membeli sandwich dulu di sebuah restoran kecil dekat terminal bus sebelum menlanjutkan perjalanan.

Saya lalu mencegat sebuah taxi dan tawar menawar terjadi untuk menuju ke masjid Koutoubia. Disini sepertinya kudu nekad menawar, karena seperti orang-orang disini akan mematok harga tinggi karena status sebagai turis.

Begitu saya berjalan memasuki area masjid tua Koutoubia, seorang laki-laki muda berlari ke arah saya dan menawarkan jasa guide untuk menjelaskan tentang masjid. Tapi saya tolak dengan halus karena saya tidak memerlukannya.


Di area masjid Koutoubia siang itu ada beberapa turis lainnya, ada serombongan anak muda sepertinya orang Philippines yang sibuk dengan kamera-kamera besar mereka. Disini juga ada beberapa orang lelaki suku Berber yang memakai baju tradisional sukunya sambil berjualan air minum. Mereka juga bersedia untuk difoto atau diajak foto bersama. Tapi tunggu dulu, kalau mau memoto mereka ada tarifnya ! Dan seperti biasa bisa ditawar.

Dari Koutoubia saya menuju ke stasiun kereta api Gare de Marrakech untuk membeli tiket kereta api  kembali ke Casablanca 3 hari kedepan. Dalam perjalanan menuju ke stasiun tersebut saya menemukan sisi lain kota Marrakech ini yang ternyata bukan cuma kampung tua dan besar saja. Ada sisi kota baru dan modern. Ada area yang sangat asri, bersih dan rapi, penuh dengan rumah-rumah besar dan bagus-bagus, serta terdapat hotel-hotel besar yang berdampingan dengan rumah-rumah tersebut.
Mendekati area stasiun Gare de Marrakech terdapat wilayah pertokoan yang cukup vibrant and modern. Ada beberapa toko dengan merk internasional berjejer di jalanan yang penuh dengan pohon rindang ini.




Ternyata area di sekitar stasiun ini memang kota baru yang vibrant. Stasiunnya sendiri tergolong bagus dan sepertinya baru direnovasi. Terdapat banyak café dan restoran di samping stasiun. Banyak tampak ada beberapa apartemen baru di depan stasiun, menandakan kehidupan kamu urban yang tumbuh subur ke wilayah ini. Di area inilah warga Marrakech mencari suasana lain, suasana kehidupan modern dan western. Mereka duduk-duduk, makan-makan dan ngopi-ngopi dengan dandanan yang sangat western. Turispun banyak berseliweran disekitar sini.

Saya kembali ke Riad disaat hari mulai senja. Awalnya saya berharap supir taxi akan mengantarkan sampai ke depan pintu Riad, tapi ternyata dia berhenti disalah satu gang dan memberi tahu saya untuk jalan saja kedalam, nanti akan menemukan Riad tersebut. Petualangan di labirin kembali dimulai.

Senja itu saya melihat beberapa rumah hanya memiliki penerangan seadanya, hanya satu bola lampu dengan watt rendah yang memendar dari rumah yang pintunya  terbuka. Selain itu saya juga mendapati beberapa rumah yang ternyata didalamnya lebih rendah dari jalan di depan rumah tersebut.

Untuk menginap dan survive di Riad ini membutuhkan upaya ekstra untuk menghapal tanda-tanda, baik itu belokan, jumlah belokan, rumah-rumah unik atau tanda-tanda lainnya dari dan menuju ke Riad. Bermodal tanda-tanda itulah saya tidak kesasar senja itu.

Kesulitan lain di Marrakech adalah bahasa, karena disini semua petunjuk dan lain-lain hanya berbahasa Arab atau Perancis. Ada bahasa Inggris tapi hanya di area-area tertentu.

Malam itu di Riad suasana sangat senyap, hanya terdengar suara ketawa-ketawa dari kamar-kamar lain. Mau nonton TV, ternyata channelnya lokal semua yang pastinya saya nggak mudeng bahasanya. Mau pergi keluar lagi, kans untuk saya kesasar bablas kemana-mana dalam kegelapan akan sangat besar sekali.

Keesokan paginya sarapan pagi dengan menu sederhana American Breakfast yang disediakan di ruang makan di Riad. Saya bergabung dengan tiga orang turis asal Lyon yang sudah 4 hari di Marrakech, yang untungnya berbahasa Inggris dengan baik. Obrolan seru karena salah seorang dari mereka berprofesi sama dengan saya, lalu salah seorang dari mereka pernah ke Bali. Mereka heran, kenapa saya jauh-jauh pergi ke Maroko, dengan alasan negara yang eksotis karena buat mereka Indonesia adalah negara indah dan eksotis. Saya jawab singkat saja, kalau kalian hidup di satu tempat terus menerus, tentunya kalian ingin melihat sesuatu yang baru dan berbeda, bukan ? Karena defini eksotis bisa jadi berbeda untuk setiap bangsa. Mereka mengangguk, entah setuju atau apa.

Kami lalu bertukar cerita tentang pengalaman masing-masing di Marrakech. Saya bercerita tentang apa yang saya alami kemarin ketika dikejar-kejar anak-anak meminta uang dan bertemu pemalak yang menyamar jadi tour guide. Mereka lalu bercerita tentang pengalaman mereka makan malam di food stall di Djemaa El Fna, yang harganya tidak standar, hitungan matematis tidak berlaku disana. Semau-mau si penjual saja. Di satu tempat makan memberi camilan gratis, di sebelahnya mencharge dengan harga mahal.

Salah satu dari mereka lalu bercerita pengalamannya membeli orange juice dari penjual buah, masih di Djemaa El Fna. Disana buah jeruknya memang segar-segar dan enak. Awalnya penjual menyebutkan harganya 4 Dihram, tapi ketika selesai membuat jus, si penjual menyebutkan harganya adalah 4 Dollar ! Entah si penjual slip of tounge menyebut 4 Dirham, tapi beda nilainya sepuluh kali lipat itu !

Saat sedang sarapan, pelayan Riad menuangkan susu hangat ke cangkir saya. Katanya itu susu domba segar dari tempat domba di dekat Riad. Oh, ternyata banyak peternakan hewan-hewan diantara perumahan padat ini. Saya penasaran karena seumur-umur belum pernah minum susu domba sama sekali, maka langsung saja ditenggak. Rasanya segar, creamy dan enak sekali. Habis dua pertiga cangkir, lalu saya memakan sisa roti sambil terus mengobrol dengan ketiga orang tersebut. Ketika saya akan minum sisa susu yang masih tersisa dan sudah dingin, aroma yang tercium dari cangkir itu adalah amis luar biasa. Waduh ! ternyata susu segar itu harus diminum hangat-hangat karena begitu dingin baunya amis tidak karuan.

Demi mencari suasana yang berbeda dari kota Marrakech, ingin merasakan vibrant kehidupan modern kota barunya, maka pada malam ketiga saya pindah ke hotel Sofitel Marrakech yang terletak tidak jauh dari Djemaa El Fna.

Hotel ini sangat chic, desainnya penuh dengan ornamen khas Maroko, baik langit-langit lobby, dinding lobby dan pintu liftnya. Servisnya pun sangat baik dan staffnya cekatan, sangat berbeda dengan hotel yang saya inapi di Casablanca maupun di Riad sebelumnya. Saya sangat terpesona dengan kecantikan para staff frontline hotel yang semuanya berbahasa Inggris dengan baik, selain Arab dan Perancis. Bahkan saya mendapati salah seorang dari mereka berbicara fasih bahasa Spanyol kepada turis dari Spanyol. Dari seorang teman yang tinggal di Eropa saya mendapatkan informasi bahwa di Eropa memang dikenal wanita-wanita Maroko ini cantik-cantik.

1 komentar:

  1. wah seru nih bro perjalannya...
    banyak tips2 yg berguna.. thanks bro..

    anyway, kalau bisa juga review diecast donk bro.. :)

    BalasHapus