Awalnya kami memiliki tiga opsi
tujuan perjalanan : Tibet, Bhutan atau Nepal.
Tibet langsung di drop karena
travel buddy saya penderita asma yang sering bermasalah di udara dingin,
apalagi di Tibet yang kadar oksigennya tipis karena ketinggian alamnya. Bhutan
juga di drop karena urusan visanya ternyata ribet luar biasa, butuh persiapan
pengurusan visa dan itinerary yang sangat matang jauh hari sebelumnya, serta
biaya yang harus dikeluarkan lumayan besar. Maka pilihan jatuh ke Nepal, sebuah
negara eksotis di kaki Himalaya.
Penerbangan ke Kathmandu, ibu
kota Nepal dilayani oleh Silk Air, Malaysia Airlines dan Thai Airways. Pilihan
lainnya adalah dengan airlines dari Timur Tengah, seperti Emirates, Etihad dan
Qatar, yang langsung saja di drop karena berputar-putar dulu ke tanah Arab sana.
Karena alasan efisiensi dan
harga yang paling murah, maka kami memutuskan terbang naik Thai Airways. Dengan
memilih naik Thai Airways maka kami harus menginap semalam di Bangkok karena
penerbangan Jakarta – Bangkok jam 12 siang dan penerbangan lanjutan Bangkok –
Kathmandu jam 10 pagi keesokan harinya.
Sebuah keputusan yang tergolong
nekad, karena saat itu Bangkok sedang dalam keadaan siaga 1, karena terjadi
demonstrasi besar-besaran di seluruh kota, dimana kelompok kaus merah menduduki
kota, memblokir titik-titik vital di kota Bangkok. Untungnya mereka tidak
menduduki dan memblokir airport Suvarnabhumi seperti yang dilakukan kelompok
kaus kuning tahun sebelumnya. Asumsi kami saat itu adalah kami hanya transit,
menginap di hotel sekitar airport dan tidak akan keluar dari area Suvarnabhumi.
Nekad ! karena sebetulnya Pemerintah NKRI sudah mengeluarkan “travel warning”
kepada warna negara Indonesia yang akan bepergian ke Bangkok. We just simply
ignored it.
Persiapan sudah dilakukan,
sampai dua hari sebelum keberangkatan, travel buddy saya mendapatkan informasi
dari mantan rekan kerjanya yang saat itu bekerja di salah satu lembaga PBB dan
ditempatkan di Kathmandu, bahwa situasi politik disana memanas. Kelompok
Komunis Maois, yang memiliki massa pendukung terbanyak, akan melakukan
demonstrasi besar-besaran di seluruh negeri, dengan beberapa tuntutan kepada pemerintah
Nepal yang berkuasa, salah salah tuntutannya adalah agar Perdana Menteri yang
menjabat saat itu mengundurkan diri. Apabila demonstrasi ini tidak mendapat respon
dengan baik dari pemerintah, maka mereka mengancam akan melakukan strike (mogok
massal) di seluruh negeri.
Saat itu kami sempat goyah dan berpikir
untuk membatalkan perjalanan. Kami lalu melakukan monitor keadaan di Nepal
melalui berbagai situs berita dunia, yang sialnya tidak banyak berita tentang
demonstrasi tersebut. Namun kemudian kami mendapatkan informasi bahwa beberapa
pihak mulai ikut turun tangan menjadi penengah pertikaian ini agar tidak
terjadi strike atau keadaan yang lebih buruk. Karena sudah terlanjur ambil
cuti, maka show must go on !
Perjalanan Jakarta – Bangkok
lancar tanpa kendala berarti. Setelah tiba di arrival hall airport
Suvarnabhumi, tujuan pertama kami adalah menuju counter pemesanan hotel di
airport tersebut karena kami memang belum memesan hotel sejak dari Jakarta.
Apes, karena hotel Sheraton yang terletak di dekat airport sedang penuh.
Sepertinya para traveller sengaja menyingkir dari pusat kota Bangkok dan
memilih menginap di hotel yang dekat dengan airport.
Tidak ada pilihan lain kecuali
mendatangi pusat kota Bangkok, dan menginap di hotel Amari Boulevard di
Sukhumvit. Nekad bagaikan wartawan perang mendatangi lapangan perang yang
sedang memanas.
Jalan tol dari airport
Suvarnabhumi menuju ke pusat kota Bangkok sepi sekali, hanya beberapa kendaraan yang melintas. Sampai di
Sukhumvitpun keadaan sama saja, hanya sedikit kendaraan yang lalu lalang,
itupun taksi. Penjual makanan yang biasanya di sore hari sudah mulai memasang
tenda-tenda mereka di soi-soi di Sukhumvit, sore itu terlihat lengang, hanya
satu dua pedagang yang bersiap membuka lapaknya.
Hotel tempat kami menginap juga
sepi sekali. Oh ya, dikarenakan kondisi politik yang tidak stabil tersebut,
turisme anjlok, hotel-hotel banting harga, maka jadilah kami menginap di hotel
tersebut dengan tarif hanya sekitar 500 ribu Rupiah semalam (biasanya sekitar
800 ribu Rupiah).
Jam 7 malam kami masih nekad pergi
mencari makan di restoran favorit Ban Khun Mae di daerah Siam. Ketika kami
menaiki eskalator untuk menuju ke stasiun BTS Nana, kami baru menyadari bahwa
suasana sangat sepi sekali. Hanya beberapa taksi yang melintas, tidak banyak
orang yang tampak di jalanan. Padahal biasanya area ini adalah area yang hingar
bingar. Bangkok menjadi kota hantu malam itu. Kamipun mulai saling senyum
kecut.
Saya tidak tahu apa yang terjadi
dengan orang-orang yang berkantor di daerah pusat-pusat kota, apakah mereka
diliburkan atau diminta bekerja dari rumah. Tapi sore dan malam itu kami tidak
melihat satupun pekerja di jalanan.
Sesampai di stasiun BTS Siam,
kami mendapati keadaan yang lebih menyeramkan. Siam gelap gulita. Semua
shopping mal yang biasanya penuh hingar bingar : Paragon, Siam Square, dan
lain-lain tutup. Tidak ada cahaya lampu sama sekali di daerah tersebut, kecuali
lampu penerang mall bagian luar. Demikian juga dengan toko-toko yang bertebaran
di area Siam tersebut. Di beberapa titik tampak tentara berjaga-jaga dengan
senjata lengkap mereka. Hanya beberapa orang “nekad” yang tampak berjalan kaki,
termasuk kami. Suasana Bangkok malam itu benar-benar menyeramkan.
Ketika turun dari tangga stasiun
BTS tersebut, kami mendapati bahwa jalan raya dibawah stasiun BTS Siam itu
telah dijadikan sebagai salah satu tempat markas para demonstran kaus merah.
Mereka membangun tenda, memasang barikade-barikade yang terbuat dari ban-ban
besar, atribut lengkap dengan spanduk besar disana sini. Nah, di markas
demonstran inilah kami baru melihat adanya crowd yang berkumpul meskipun
jumlahnya tidak banyak. Malam itu sebagian dari mereka sedang makan nasi
bungkus, yang kalau dilihat dari warna bungkusnya sepertinya adalah nasi jatah
pembagian.
Untungnya restoran yang kami
tuju beroperasi pada hari itu, jadi perjalanan tidak sia-sia. Restoran yang
setiap kali kesana nyaris harus selalu antri, pada malam itu hanya ada sedikit
orang yang sedang makan.
Selesai makan kami putuskan
untuk langsung kembali saja ke hotel demi menghindari hal-hal yang tidak
diinginkan.
Kami kembali ke hotel dengan
menggunakan taksi. Ketika taksi baru jalan dan melewati beberapa blok di kompleks
pertokoan Siam, taksi tertahan sesaat karena ternyata persis di depan kami ada
massa sedang berkumpul. Di perempatan jalan itu, berkumpul pasukan demonstan
kaus merah mendengarkan orasi yang sedang dilakukan salah satu petinggi mereka.
Suaranya terdengar keras sekali karena menggunakan pengeras suara. Area tempat
mereka berkumpul penuh dengan atribut-atribut berwarna merah, foto-foto
Thaksin. Area tersebut di blokir dengan menggunakan pagar kayu berkawat duri.
Beberapa petugas keamanan dari pihak mereka mengatur lalu lintas sambil
sesekali mengintip siapa yang berada di dalam kendaraan yang lewat.
Saya sempat akan mengarahkan
moncong lensa kamera saya ke atraksi langka tersebut, tapi Seketika itu juga
dilarang oleh teman saya. “Lu mau cari gara-gara disini ?” ucapnya singkat.
Pengalaman di Bangkok malam itu
adalah pengalaman super langka, mungkin hampir sejenis dengan pengalaman saat
menyaksikan horornya Jakarta di tahun 1998. Bedanya ini di negeri orang.
Jam 7 keesokan paginya kami
meluncur ke airport Suvarnabhumi dengan menggunakan taksi pesanan dari hotel.
Ketika tiba di jalan tol, teman saya baru menyadari bahwa saya memakai kemeja
berwarna merah, dan dia ngomel “udah tahu ini sedang ramai sama demonstran
kelompok merah, kenapa juga lu pakai baju merah ???”. Saya benar-benar tidak
kepikiran sejauh itu ketika memilih kemeja merah dipagi itu. Kami hanya
berharap semoga perjalanan lancar, taksi tidak dicegat siapapun di jalan.
Perjalanan di pagi itu sangat
menyenangkan. Disaat pesawat menurunkan ketinggiannya, saya fokus ke pemandangan
di luar jendela, berharap apakah saya akan bisa melihat pegunungan Himalaya di
luar sana. Ternyata harapan saya berujung kekecewaan.
Pesawat semakin menurunkan
ketinggiannya mendekati runway airport di kota Kathmandu, kota yang terletak di
lembah Kathmandu dan dikelilingi oleh gunung-gunung tinggi.
Strike welcoming us !
Pesawat mendarat dengan mulus. Sejauh mata memandang, yang tampak hanyalah bangunan-bangunan dengan tingkat kepadatan yang luar biasa.
Pesawat mendarat dengan mulus. Sejauh mata memandang, yang tampak hanyalah bangunan-bangunan dengan tingkat kepadatan yang luar biasa.
Tidak ada garbarata disini,
semua penumpang harus turun dari tangga dan melintasi badan pesawat untuk
menuju ke Arrival Hall.
Ketika sedang mengisi visa
application form di pesawat, saya baru menyadari bahwa saya tidak membawa pas
foto sama sekali. Sementara di persyaratan disebutkan bahwa salah satu dokumen yang
diperlukan adalah pas foto. Saya pasrah saja, berharap semoga di counter
imigrasi menyediakan tempat pas foto. Ternyata benar, sebelum counter imigrasi
terdapat tukang foto professional yang menawarkan jasa pembuatan pas foto kilat.
Ada beberapa penumpang yang antri di foto booth tersebut, termasuk saya.
Petugas imirasi di airport
Kathmandu terlihat sangat tidak efisien. Terlihat tiga orang duduk berjejer di
meja yang bersebelahan. Petugas di meja pertama bertugas menerima visa
application. Petugas meja kedua bertugas menerima pembayaran uang visa sebesar
USD 25, dengan visa multiple visit yang berlaku selama 15 hari. Petugas di meja
ujung bertugas menyerahkan kembali paspor yang telah diberi stiker visa Nepal. Disekitar mereka juga tampak beberapa
petugas lainnya sedang mengobrol antar mereka.
Petugas imigrasi disini tidak
galak seperti petugas imigrasi di banyak negara, mereka banyak ngobrol-ngobrol
satu sama lainnya, bahkan dengan turis yang datang.
Urusan selanjutnya adalah
menukar uang US Dollar dengan uang Rupee Nepal (NPR). Nilai tukar mata uang
Rupee terhadap Dollar saat itu sekitar NPR 95 untuk setiap 1 Dollarnya. Dan
jangan kaget ketika uang Rupee yang diterima semuanya adalah uang lusuh dan bau
!
Keluar dari Arrival Hall kami
agak khawatir bagaimana caranya untuk mendapatkan kendaraan menuju ke hotel.
Kota ini bukan Tokyo, dimana ada stasiun kereta dibawah airport, tinggal bayar,
duduk dan langsung sampai ditengah kota. Kota ini juga bukan Melbourne, dimana
tinggal keluar dan pilih taksi yang tersedia.
Keluar dari Arrival Hall, kami mendapati
keramaian para penjemput serta para makelar taksi. Kami mendekati seorang
makelar taksi dan menyebutkan tujuan kami, hotel Crown Plaza. Mereka menyetujui
dan menyebutkan harga yang lumayan tinggi, 3000 Rupee. Kami setuju saja karena
saat itu memang tidak ada pilihan. Dari mereka, kami mendapatkan konfirmasi
bahwa memang sedang terjadi mogok masal nasional. Seluruh negeri “shut-down”.
Yang boleh buka hanyalah rumah sakit dan hotel. Mobil-mobil yang boleh lalu
lalang hanyalah kendaraan ambulans, palang merah, mobil pembawa turis, mobil
PBB dan mobil tentara. Perasaan saat itu campur aduk, antara excited, keder dan
khawatir.
Kami bersama-sama berjalan
menuju ke parkir mobil. Kami berdua mendadak takjub dengan situasi di area
parkiran airport Trbhuvan. Ada gerobak barang parkir disana, ada becak
penumpang, truk tua, selain mobil biasa. Tidak pernah terbayangkan suasana
kemeriahan seperti ini didapatkan dari sebuah airport internasional di sebuah
ibukota negara. Sebelum berangkat kami sudah mengetahui bahwa Nepal adalah
negara termiskin di Asia, sehingga kami sudah punya standar yang disesuaikan,
tapi tetap saja suasana kemeriahan di parkiran itu mengejutkan.
Mobil yang membawa kami adalah
sebuah mobil Suzuki Carry tua. Hanya kursi depan dan kursi di bagian belakang
yang tersedia, sementara kursi di baris tengah dicopot, dijadikan tempat
barang-barang penumpang. Ok, koperpun ditumpuk di depan kaki kami.
Keluar dari airport, kami
melihat banyak sekali penumpang yang keluar dari airport dengan berjalan kaki
menyeret koper mereka, menggunakan becak atau bahkan naik gerobak barang. Di
jalan raya ramai sekali orang berjalan kaki, hanya satu dua mobil yang
melintas, beberapa adalah mobil palang merah.
Jalanan kosong, supir mobil
suzuki ini ngebut dan ngepot kesana kemari, membuat suasana jadi seru, berasa
naik roller coaster. Karena di beberapa titik di pusat kota terdapat
konsentrasi massa pendemo, maka mobil berbelok-belok melewati jalan-jalan
tikus, bahkan melintasi pagar pembatas perkampungan yang kami yakin itu tidak
untuk jalan mobil. Ketika melewati sebuah perkampungan, aroma busuk tumpukan
sampah yng menggunung diujung jalan menyengat sekali, membuat kami harus
menutup hidung dan menahan napas sesaat.
Mobil melambat karena terjebak
kedalam kumpulan massa di sebuah perempatan di daerah pertokoan. Ternyata ada
pemimpin demonstrasi yang tengah berorasi siang itu. Mobil kami dihentikan
demonstran. Si supir dengan sigap mengatakan kepada para demonstran bahwa kami
adalah turis. Mereka melongok ke dalam mobil melihat kepada kami. Untungnya
atribut kami dengan koper di dalam mobil meyakinkan bahwa kami adalah turis.
Maka mobilpun dilepas.
Beberapa kali mobil bertemu
dengan kerumunan massa, dan distop untuk dicek akan kemana. Beruntung turis
mendapat perlakuan istimewa, sehingga kami tidak diutak-atik sama sekali.
Mungkin kalau bukan turis, penumpang sudah diseret keluar dari mobil.
Akhirnya kami sampai di hotel
tempat kami menginap : Crown Plaza - Soaltee. Sebuah hotel yang bagus dan
nyaman, yang terletak di wilayah yang cukup rapi dan tertata apik untuk ukuran
Kathmandu.
Antisipasi tidak adanya ATM yang
tekoneksi dengan link Visa/Maestro, maka kami membawa lumayan banyak uang tunai
saat itu. Dan selama di Nepal kami benar-benar nyaris terputus dengan dunia
luar karena saat itu sambungan telepon seluler tidak berfungsi sama sekali.
Terdampar di negara asing yang sedang dalam keadaan tegang, tidak ada kedutaan
besar Indonesia disana dan tanpa adanya sambungan telepon seluler sungguh
merupakan sebuah kenekadan yang mungkin hanya terjadi sekali seumur hidup saya.
1)Experience and helpful guide”
BalasHapusI met Sanjib during my last year hiking trip to Annapurna Base Camp. He was my guide for 12 days; he was very knowledgeable and organized. Our trip was affected by the bad weather but we managed to enjoy ourselves out of the bad condition. He has now working independent; I will definitely recommend him as he knows the inside out of the trek in Nepal as a guide, a porter or an organize http://nepalguideinfo.com/everest-base-camp-trek/
http://nepalguideinfo.com/
http://www.hikehimalayas.com/trekking-in-nepal/trekking-region/everest-region/everest-base-camp.htm
Email-:sanjib-adhikari@hotmail.com
https://www.facebook.com/Independenttrekkinguidenepal