Selasa, 19 November 2013

Nepal [2010] #1 : Perjalanan Nekad ke Kaki Himalaya



Awalnya kami memiliki tiga opsi tujuan perjalanan : Tibet, Bhutan atau Nepal.
Tibet langsung di drop karena travel buddy saya penderita asma yang sering bermasalah di udara dingin, apalagi di Tibet yang kadar oksigennya tipis karena ketinggian alamnya. Bhutan juga di drop karena urusan visanya ternyata ribet luar biasa, butuh persiapan pengurusan visa dan itinerary yang sangat matang jauh hari sebelumnya, serta biaya yang harus dikeluarkan lumayan besar. Maka pilihan jatuh ke Nepal, sebuah negara eksotis di kaki Himalaya.

Penerbangan ke Kathmandu, ibu kota Nepal dilayani oleh Silk Air, Malaysia Airlines dan Thai Airways. Pilihan lainnya adalah dengan airlines dari Timur Tengah, seperti Emirates, Etihad dan Qatar, yang langsung saja di drop karena berputar-putar dulu ke tanah Arab sana.

Karena alasan efisiensi dan harga yang paling murah, maka kami memutuskan terbang naik Thai Airways. Dengan memilih naik Thai Airways maka kami harus menginap semalam di Bangkok karena penerbangan Jakarta – Bangkok jam 12 siang dan penerbangan lanjutan Bangkok – Kathmandu jam 10 pagi keesokan harinya.

Sebuah keputusan yang tergolong nekad, karena saat itu Bangkok sedang dalam keadaan siaga 1, karena terjadi demonstrasi besar-besaran di seluruh kota, dimana kelompok kaus merah menduduki kota, memblokir titik-titik vital di kota Bangkok. Untungnya mereka tidak menduduki dan memblokir airport Suvarnabhumi seperti yang dilakukan kelompok kaus kuning tahun sebelumnya. Asumsi kami saat itu adalah kami hanya transit, menginap di hotel sekitar airport dan tidak akan keluar dari area Suvarnabhumi. Nekad ! karena sebetulnya Pemerintah NKRI sudah mengeluarkan “travel warning” kepada warna negara Indonesia yang akan bepergian ke Bangkok. We just simply ignored it.

Persiapan sudah dilakukan, sampai dua hari sebelum keberangkatan, travel buddy saya mendapatkan informasi dari mantan rekan kerjanya yang saat itu bekerja di salah satu lembaga PBB dan ditempatkan di Kathmandu, bahwa situasi politik disana memanas. Kelompok Komunis Maois, yang memiliki massa pendukung terbanyak, akan melakukan demonstrasi besar-besaran di seluruh negeri, dengan beberapa tuntutan kepada pemerintah Nepal yang berkuasa, salah salah tuntutannya adalah agar Perdana Menteri yang menjabat saat itu mengundurkan diri. Apabila demonstrasi ini tidak mendapat respon dengan baik dari pemerintah, maka mereka mengancam akan melakukan strike (mogok massal) di seluruh negeri.

Saat itu kami sempat goyah dan berpikir untuk membatalkan perjalanan. Kami lalu melakukan monitor keadaan di Nepal melalui berbagai situs berita dunia, yang sialnya tidak banyak berita tentang demonstrasi tersebut. Namun kemudian kami mendapatkan informasi bahwa beberapa pihak mulai ikut turun tangan menjadi penengah pertikaian ini agar tidak terjadi strike atau keadaan yang lebih buruk. Karena sudah terlanjur ambil cuti, maka show must go on !

Perjalanan Jakarta – Bangkok lancar tanpa kendala berarti. Setelah tiba di arrival hall airport Suvarnabhumi, tujuan pertama kami adalah menuju counter pemesanan hotel di airport tersebut karena kami memang belum memesan hotel sejak dari Jakarta. Apes, karena hotel Sheraton yang terletak di dekat airport sedang penuh. Sepertinya para traveller sengaja menyingkir dari pusat kota Bangkok dan memilih menginap di hotel yang dekat dengan airport.

Tidak ada pilihan lain kecuali mendatangi pusat kota Bangkok, dan menginap di hotel Amari Boulevard di Sukhumvit. Nekad bagaikan wartawan perang mendatangi lapangan perang yang sedang memanas.

Jalan tol dari airport Suvarnabhumi menuju ke pusat kota Bangkok sepi sekali, hanya beberapa  kendaraan yang melintas. Sampai di Sukhumvitpun keadaan sama saja, hanya sedikit kendaraan yang lalu lalang, itupun taksi. Penjual makanan yang biasanya di sore hari sudah mulai memasang tenda-tenda mereka di soi-soi di Sukhumvit, sore itu terlihat lengang, hanya satu dua pedagang yang bersiap membuka lapaknya.

Hotel tempat kami menginap juga sepi sekali. Oh ya, dikarenakan kondisi politik yang tidak stabil tersebut, turisme anjlok, hotel-hotel banting harga, maka jadilah kami menginap di hotel tersebut dengan tarif hanya sekitar 500 ribu Rupiah semalam (biasanya sekitar 800 ribu Rupiah).

Jam 7 malam kami masih nekad pergi mencari makan di restoran favorit Ban Khun Mae di daerah Siam. Ketika kami menaiki eskalator untuk menuju ke stasiun BTS Nana, kami baru menyadari bahwa suasana sangat sepi sekali. Hanya beberapa taksi yang melintas, tidak banyak orang yang tampak di jalanan. Padahal biasanya area ini adalah area yang hingar bingar. Bangkok menjadi kota hantu malam itu. Kamipun mulai saling senyum kecut.

Saya tidak tahu apa yang terjadi dengan orang-orang yang berkantor di daerah pusat-pusat kota, apakah mereka diliburkan atau diminta bekerja dari rumah. Tapi sore dan malam itu kami tidak melihat satupun pekerja di jalanan.

Sesampai di stasiun BTS Siam, kami mendapati keadaan yang lebih menyeramkan. Siam gelap gulita. Semua shopping mal yang biasanya penuh hingar bingar : Paragon, Siam Square, dan lain-lain tutup. Tidak ada cahaya lampu sama sekali di daerah tersebut, kecuali lampu penerang mall bagian luar. Demikian juga dengan toko-toko yang bertebaran di area Siam tersebut. Di beberapa titik tampak tentara berjaga-jaga dengan senjata lengkap mereka. Hanya beberapa orang “nekad” yang tampak berjalan kaki, termasuk kami. Suasana Bangkok malam itu benar-benar menyeramkan.

Ketika turun dari tangga stasiun BTS tersebut, kami mendapati bahwa jalan raya dibawah stasiun BTS Siam itu telah dijadikan sebagai salah satu tempat markas para demonstran kaus merah. Mereka membangun tenda, memasang barikade-barikade yang terbuat dari ban-ban besar, atribut lengkap dengan spanduk besar disana sini. Nah, di markas demonstran inilah kami baru melihat adanya crowd yang berkumpul meskipun jumlahnya tidak banyak. Malam itu sebagian dari mereka sedang makan nasi bungkus, yang kalau dilihat dari warna bungkusnya sepertinya adalah nasi jatah pembagian.

Untungnya restoran yang kami tuju beroperasi pada hari itu, jadi perjalanan tidak sia-sia. Restoran yang setiap kali kesana nyaris harus selalu antri, pada malam itu hanya ada sedikit orang yang sedang makan.

Selesai makan kami putuskan untuk langsung kembali saja ke hotel demi menghindari hal-hal yang tidak diinginkan.

Kami kembali ke hotel dengan menggunakan taksi. Ketika taksi baru jalan dan melewati beberapa blok di kompleks pertokoan Siam, taksi tertahan sesaat karena ternyata persis di depan kami ada massa sedang berkumpul. Di perempatan jalan itu, berkumpul pasukan demonstan kaus merah mendengarkan orasi yang sedang dilakukan salah satu petinggi mereka. Suaranya terdengar keras sekali karena menggunakan pengeras suara. Area tempat mereka berkumpul penuh dengan atribut-atribut berwarna merah, foto-foto Thaksin. Area tersebut di blokir dengan menggunakan pagar kayu berkawat duri. Beberapa petugas keamanan dari pihak mereka mengatur lalu lintas sambil sesekali mengintip siapa yang berada di dalam kendaraan yang lewat.

Saya sempat akan mengarahkan moncong lensa kamera saya ke atraksi langka tersebut, tapi Seketika itu juga dilarang oleh teman saya. “Lu mau cari gara-gara disini ?” ucapnya singkat.

Pengalaman di Bangkok malam itu adalah pengalaman super langka, mungkin hampir sejenis dengan pengalaman saat menyaksikan horornya Jakarta di tahun 1998. Bedanya ini di negeri orang.

Jam 7 keesokan paginya kami meluncur ke airport Suvarnabhumi dengan menggunakan taksi pesanan dari hotel. Ketika tiba di jalan tol, teman saya baru menyadari bahwa saya memakai kemeja berwarna merah, dan dia ngomel “udah tahu ini sedang ramai sama demonstran kelompok merah, kenapa juga lu pakai baju merah ???”. Saya benar-benar tidak kepikiran sejauh itu ketika memilih kemeja merah dipagi itu. Kami hanya berharap semoga perjalanan lancar, taksi tidak dicegat siapapun di jalan.

Perjalanan di pagi itu sangat menyenangkan. Disaat pesawat menurunkan ketinggiannya, saya fokus ke pemandangan di luar jendela, berharap apakah saya akan bisa melihat pegunungan Himalaya di luar sana. Ternyata harapan saya berujung kekecewaan.

Pesawat semakin menurunkan ketinggiannya mendekati runway airport di kota Kathmandu, kota yang terletak di lembah Kathmandu dan dikelilingi oleh gunung-gunung tinggi.


Ketika pesawat semakin rendah dan melintasi bagian kota Kathmandu, saya terpana melihat jalanan besar dibawah sana kosong melompong tanpa ada kendaraan sama sekali. Yang ada hanya puluhan atau bahkan ratusan orang sedang berjalan kaki di tengah jalan tersebut. Saya langsung melihat ke teman saya dan berkata singkat “kayaknya jadi nih strike, nggak ada kendaraan dibawah sana”. Teman saya melongok mengintip jendela pesawat dan tertawa-tawa. Ketawa stress !



Strike welcoming us !

Pesawat mendarat dengan mulus. Sejauh mata memandang, yang tampak hanyalah bangunan-bangunan dengan tingkat kepadatan yang luar biasa.

Tidak ada garbarata disini, semua penumpang harus turun dari tangga dan melintasi badan pesawat untuk menuju ke Arrival Hall.

Ketika sedang mengisi visa application form di pesawat, saya baru menyadari bahwa saya tidak membawa pas foto sama sekali. Sementara di persyaratan disebutkan bahwa salah satu dokumen yang diperlukan adalah pas foto. Saya pasrah saja, berharap semoga di counter imigrasi menyediakan tempat pas foto. Ternyata benar, sebelum counter imigrasi terdapat tukang foto professional yang menawarkan jasa pembuatan pas foto kilat. Ada beberapa penumpang yang antri di foto booth tersebut, termasuk saya.

Petugas imirasi di airport Kathmandu terlihat sangat tidak efisien. Terlihat tiga orang duduk berjejer di meja yang bersebelahan. Petugas di meja pertama bertugas menerima visa application. Petugas meja kedua bertugas menerima pembayaran uang visa sebesar USD 25, dengan visa multiple visit yang berlaku selama 15 hari. Petugas di meja ujung bertugas menyerahkan kembali paspor yang telah diberi stiker visa Nepal.  Disekitar mereka juga tampak beberapa petugas lainnya sedang mengobrol antar mereka.

Petugas imigrasi disini tidak galak seperti petugas imigrasi di banyak negara, mereka banyak ngobrol-ngobrol satu sama lainnya, bahkan dengan turis yang datang.

Urusan selanjutnya adalah menukar uang US Dollar dengan uang Rupee Nepal (NPR). Nilai tukar mata uang Rupee terhadap Dollar saat itu sekitar NPR 95 untuk setiap 1 Dollarnya. Dan jangan kaget ketika uang Rupee yang diterima semuanya adalah uang lusuh dan bau !

Keluar dari Arrival Hall kami agak khawatir bagaimana caranya untuk mendapatkan kendaraan menuju ke hotel. Kota ini bukan Tokyo, dimana ada stasiun kereta dibawah airport, tinggal bayar, duduk dan langsung sampai ditengah kota. Kota ini juga bukan Melbourne, dimana tinggal keluar dan pilih taksi yang tersedia.

Keluar dari Arrival Hall, kami mendapati keramaian para penjemput serta para makelar taksi. Kami mendekati seorang makelar taksi dan menyebutkan tujuan kami, hotel Crown Plaza. Mereka menyetujui dan menyebutkan harga yang lumayan tinggi, 3000 Rupee. Kami setuju saja karena saat itu memang tidak ada pilihan. Dari mereka, kami mendapatkan konfirmasi bahwa memang sedang terjadi mogok masal nasional. Seluruh negeri “shut-down”. Yang boleh buka hanyalah rumah sakit dan hotel. Mobil-mobil yang boleh lalu lalang hanyalah kendaraan ambulans, palang merah, mobil pembawa turis, mobil PBB dan mobil tentara. Perasaan saat itu campur aduk, antara excited, keder dan khawatir.

Kami bersama-sama berjalan menuju ke parkir mobil. Kami berdua mendadak takjub dengan situasi di area parkiran airport Trbhuvan. Ada gerobak barang parkir disana, ada becak penumpang, truk tua, selain mobil biasa. Tidak pernah terbayangkan suasana kemeriahan seperti ini didapatkan dari sebuah airport internasional di sebuah ibukota negara. Sebelum berangkat kami sudah mengetahui bahwa Nepal adalah negara termiskin di Asia, sehingga kami sudah punya standar yang disesuaikan, tapi tetap saja suasana kemeriahan di parkiran itu mengejutkan.

Mobil yang membawa kami adalah sebuah mobil Suzuki Carry tua. Hanya kursi depan dan kursi di bagian belakang yang tersedia, sementara kursi di baris tengah dicopot, dijadikan tempat barang-barang penumpang. Ok, koperpun ditumpuk di depan kaki kami.

Keluar dari airport, kami melihat banyak sekali penumpang yang keluar dari airport dengan berjalan kaki menyeret koper mereka, menggunakan becak atau bahkan naik gerobak barang. Di jalan raya ramai sekali orang berjalan kaki, hanya satu dua mobil yang melintas, beberapa adalah mobil palang merah.

Jalanan kosong, supir mobil suzuki ini ngebut dan ngepot kesana kemari, membuat suasana jadi seru, berasa naik roller coaster. Karena di beberapa titik di pusat kota terdapat konsentrasi massa pendemo, maka mobil berbelok-belok melewati jalan-jalan tikus, bahkan melintasi pagar pembatas perkampungan yang kami yakin itu tidak untuk jalan mobil. Ketika melewati sebuah perkampungan, aroma busuk tumpukan sampah yng menggunung diujung jalan menyengat sekali, membuat kami harus menutup hidung dan menahan napas sesaat.

Mobil melambat karena terjebak kedalam kumpulan massa di sebuah perempatan di daerah pertokoan. Ternyata ada pemimpin demonstrasi yang tengah berorasi siang itu. Mobil kami dihentikan demonstran. Si supir dengan sigap mengatakan kepada para demonstran bahwa kami adalah turis. Mereka melongok ke dalam mobil melihat kepada kami. Untungnya atribut kami dengan koper di dalam mobil meyakinkan bahwa kami adalah turis. Maka mobilpun dilepas.

Beberapa kali mobil bertemu dengan kerumunan massa, dan distop untuk dicek akan kemana. Beruntung turis mendapat perlakuan istimewa, sehingga kami tidak diutak-atik sama sekali. Mungkin kalau bukan turis, penumpang sudah diseret keluar dari mobil.

Akhirnya kami sampai di hotel tempat kami menginap : Crown Plaza - Soaltee. Sebuah hotel yang bagus dan nyaman, yang terletak di wilayah yang cukup rapi dan tertata apik untuk ukuran Kathmandu.

Antisipasi tidak adanya ATM yang tekoneksi dengan link Visa/Maestro, maka kami membawa lumayan banyak uang tunai saat itu. Dan selama di Nepal kami benar-benar nyaris terputus dengan dunia luar karena saat itu sambungan telepon seluler tidak berfungsi sama sekali. Terdampar di negara asing yang sedang dalam keadaan tegang, tidak ada kedutaan besar Indonesia disana dan tanpa adanya sambungan telepon seluler sungguh merupakan sebuah kenekadan yang mungkin hanya terjadi sekali seumur hidup saya.

1 komentar:

  1. 1)Experience and helpful guide”

    I met Sanjib during my last year hiking trip to Annapurna Base Camp. He was my guide for 12 days; he was very knowledgeable and organized. Our trip was affected by the bad weather but we managed to enjoy ourselves out of the bad condition. He has now working independent; I will definitely recommend him as he knows the inside out of the trek in Nepal as a guide, a porter or an organize http://nepalguideinfo.com/everest-base-camp-trek/
    http://nepalguideinfo.com/

    http://www.hikehimalayas.com/trekking-in-nepal/trekking-region/everest-region/everest-base-camp.htm
    Email-:sanjib-adhikari@hotmail.com
    https://www.facebook.com/Independenttrekkinguidenepal

    BalasHapus