Kalau anda pergi ke Casablanca
dengan gambaran yang ada di kepala adalah indahnya romantisme seperti yang ada
di film romantis klasik “Casablanca” yang dibintangi Inggrid Bergman dan
Humphrey Bogart, maka bersiaplah untuk kaget dan kecewa berat.
Casablanca dalam kenyataannya
bukanlah kota romantis seperti yang seolah terlihat di kisah film klasik tersebut. Casablanca dalam
kenyataannya sekarang adalah kota maju (untuk skala Maroko), kota industri dan
kota pelabuhan. Di kota ini bertaburan bangunan-bangunan tinggi gedung perkantoran,
apartemen, hotel dan flat dengan jembatan layang dan jalan tol di beberapa
bagian kota. Bagi para turis, kota ini betul-betul hanya kota transit karena
tidak banyak yang bisa dilakukan dan dilihat disini. Kalau seandainya
perjalanan Jakarta – Casablanca tidak terlalu jauh dan melelahkan, mungkin opsi
ganti pesawat dan langsung terbang dari Casablanca menuju ke Marrakech adalah
pilihan yang terbaik, tanpa perlu menginap di Casablanca.
Saya menginap di Hotel Barcelo,
sebuah chain hotel bintang 3 dan 4 dari Eropa. Lokasinya berada di Boulevard
d’Anfa, business area di Casablanca. Dari sini saya dapat berjalan kaki ke obyek turisme utama kota, yaitu
Masjid Hassan II. Saya check-in di hotel sekitar jam 1 siang dan langsung
beristirahat, meluruskan badan ditempat tidur !
Saat saya menginap di hotel ini,
kondisi hotel masih bisa dibilang baru, semua bersih, rapi dan wangi. Wifinya pun luar biasa kuat signalnya.
Satu-satunya kekurangan hotel itu adalah staffnya yang semuanya bermuka lempeng
seperti robot, tanpa senyum dan memberikan servis seperti ogah-ogahan.
Dari petugas front office hotel
ini saya mendapatkan pengetahuan tambahan tentang Maroko. Disini ketika seorang
anak masuk sekolah sampai lulus SD mereka akan belajar bahasa Arab secara penuh
dan ketika mereka masuk SMP sampai perguruan tinggi mereka akan belajar dalam
bahasa Perancis. Begitulah cara bangsa Maroko mempertahankan kehidupan
bi-lingual mereka. Bahasa sehari-hari adalah bahasa Arab, sementara bahasa Perancis
digunakan untuk keperluan formal dan bisnis.
Setelah istirahat sekitar 1,5 jam
dan mengisi perut, saya mulai mengeksplor daerah sekitar hotel. Sekeliling
hotel ini hanya blok-blok bangunan perkantoran dan perumahan. Sekilas ada
kemiripan antara kota ini dengan Mumbai, hanya saya disini lebih bersih dan
manusianya lebih sedikit. Sekitar dua blok dari hotel saya terdapat area
perkantoran yang baru dengan beberapa gedung yang sangat modern, lengkap dengan
super mallnya.
Dengan berpedoman kepada peta yang
ada ditangan, saya berjalan kaki menuju ke Masjid Hassan II. Jarak hotel dan
masjid tersebut bisa ditempuh dalam 15 menit jalan kaki, tapi karena saya jalan
kaki santai sambil mengamati suasana disekitar, waktu yang saya tempuh sekitar
30 menit. Rute yang saya lewati awalnya kebanyakan adalah toko-toko, flat atau
perkantoran skala menengah, mayoritas berada di bangunan-bangunan tinggi.
Disepanjang jalan banyak sekali ditemukan toko-toko kelontong milik perorangan
yang masih terkesan klasik, layaknya toko-toko kelontong disini sebelum
menjamurnya bisnis minimarket waralaba.
Suasananya agak gersang, jarang
pepohonan di antara gedung-gedung tersebut. Meskipun matahari memancar dengan
teriknya tapi angin yang berhembus dingin, sehingga jalan kakipun bisa
dinikmati.
Semakin jauh dari hotel,
pemandangannya bukan lagi gedung-gedung tinggi, tapi merupakan rumah-rumah dua
lantai, yang dilantai bawahnya adalah restoran atau toko atau kantor. Ya
sejenis ruko begitu, tapi ini adalah bangunan-bangunan tua. Juga mulai tampak banyak
pohon-pohon palem besar di sepanjang jalan.
Saya mengamati ada laki-laki tua
duduk melamun di bangku taman sambil merokok, di seberangnya ada anak-anak
sedang kejar-kejaran. Sementara sekelompok remaja ngebut-ngebutan dengan motor
mereka.
Bangsa Maroko merupakan campuran
antara bangsa keturunan Arab dan suku Berber, tapi orang Maroko sendiri konon
ogah disebut orang Arab.
Setelah berjalan sekitar 15 menit
dengan kecepatan santai, menara masjid Hasan II mulai tampak dari kejauhan.
Didaerah ini, tampak beberapa lahan kosong, ada yang digunakan sebagai tempat
menumpuk sampah kering, ada pula yang digunakan sebagai tempat menjemur pakaian
oleh warga sekitar.
Masjid Hassan II yang konon adalah
masjid nomor 7 terbesar di dunia ini memang terlihat megah dari kejauhan.
Dengan posisi berdiri sendiri berlatar belakang Laut Atlantik membuat masjid
ini sangat stunning.
Ketika mendekati masjid ini, saya
berdecak kagum atas keindahan arsiteknya. Masjid ini dibangun dengan arsitektur
khas Maroko. Semua detil dikerjakan dengan apik. Terdapat ornamen-ornamen yang
sangat bagus hampir di semua bagian masjid, baik itu di pintu masuk, di
dinding, bahkan di tempat air tempat wudhu utama. Lampu gantung yang terdapat
di teras masjidpun sengat nyeni dan sesuai dengan tema masjid. Secara
keseluruhan masjid ini memang megah. Tetapi dari beberapa sumber yang sempat
saya baca sebelum berangkat, masjid yang menelan biaya sekitar USD 700 juta ini
mengundang kontroversi mengingat Maroko adalah negara miskin yang membutuhkan
dana untuk pembangunan hal-hal vital yang lebih penting.
Saya tidak menyia-nyiakan
kesempatan baik ini untuk berkeliling. Beberapa bagian yang agak tinggi,
seperti ventilasi besar di bagian atas ternyata digunakan oleh burung-burung
Merpati untuk membuat sangkar dan membesarkan anak-anaknya disana. Arah
belakang masjid ini adalah laut Atlantik, yang siang dan sore itu lumayan besar
ombaknya. Angin dingin yang ditiupkan lumayan membersihkan paru-paru.
Selain menjadi tempat ibadah, masjid
sepertinya juga menjadi tempat wisata penduduk sekitar. Banyak sekali keluarga
dan anak-anak muda yang datang kesana, ada yang duduk-duduk saja, ada keluarga
yang makan-makan di pinggiran masjid, ada remaja yang ngobrol, becanda dan
kejar-kejaran di lapangan luar masjid dan ada pula yang duduk-duduk menghadap
ke laut lepas.
Di pantai berbatu disamping masjid
ada segerombolan anak-anak usia 12 tahun mencebur ke laut dan berenang-renang.
Dinginnya kayak apa itu ????
Saya kembali ke hotel menyusuri
jalanan semula yang saya lewati tadi. Salah satu bangunan yan dilewati tidak jauh
dari masjid Hassan II adalah sebuah rumah sakit yang cukup besar. Sore itu di
pinggir jalan depan rumah sakit itu ada pertengkaran mulut hebat antara dua
keluarga besar yang sedang bertikai. Ada sekitar 20 orang didalam dua kelompok
tersebut. Seorang wanita berusia sekitar 50an sepertinya menjadi komandan keluarganya,
marah-marah berteriak-teriak dengan suara yang sangat lantang, sambil berkacak
pinggang dan menuding-nuding pihak satunya. Sementara dipihak lainnya, lelaki
setengah baya meladeni ucapan si ibu tersebut dengan sengitnya. Anggota
keluargapun sesekali ikut nimbrung menimpali dengan suara yang cukup keras
juga. Entah apa yang dipertengkarkan saya tidak tahu. Pokoknya rame ! Orang-orang
disekitar ikutan nonton, beberapa mobil yang lewat juga ikut melambat. Sayapun
ikut berhenti sebentar menonton atraksi langka tersebut, tapi menahan diri
untuk tidak memotret mereka, dari pada saya dikejar dan dipukuli orang
besar-besar itu.
Ketika melihat pertengkaran mulut
itu tidak kunjung mereda (dan juga tidak meningkat) saya mulai bosan, mending
balik saja ke hotel karena sudah nggak seru lagi.
Sekitar jam 5 sore waktu setempat
perut saya lapar luar biasa. Ah ya, ini kan jam 12 malam di Jakarta, perut saya
meminta jatah untuk dikasih makan malam rupanya, sudah telat pula. Awalnya saya
ingin makan makanan khas Maroko yang sangat terkenal, tapi menurut info dari
pihak hotel, restoran Maroko yang
terkenal lokasinya agak jauh dari hotel. Maka saya urungkan niat tersebut dan
akhirnya makan KFC saja, yang kebetulan ada outletnya di dekat hotel. Jauh jauh
kesini makannya KFC !!!
Malam harinya saya ngopi-ngopi di
Segafredo Café, masih di dekat hotel dan ngobrol-ngobrol dengan sepasang turis
asal New York yang sedang transit sebelum kembali ke kotanya. Tapi saya tidak
bisa ngobrol lama-lama karena saya ngantuk luar biasa, maklum jam tubuh saya
hari pertama itu masih jam Jakarta. Jam lokal masih jam 7 malam tapi di Jakarta sudah
jam 2 pagi ! Saya jetlag !
Semakin malam suasana di jalanan
depan hotel semakin ramai, karena ternyata jalanan sepi di malam hari ini
dipakai sebagai tempat ngebut trek-trekan sepeda motor remaja. Suara bising
motor ini lumayan mengganggu tidur saya, terlebih lagi kamar saya menghadap ke
jalan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar