Sabtu, 02 November 2013

MAROC [2010] #2 : Casablanca, Tak Seromantis Filmnya


Kalau anda pergi ke Casablanca dengan gambaran yang ada di kepala adalah indahnya romantisme seperti yang ada di film romantis klasik “Casablanca” yang dibintangi Inggrid Bergman dan Humphrey Bogart, maka bersiaplah untuk kaget dan kecewa berat.


Casablanca dalam kenyataannya bukanlah kota romantis seperti yang seolah terlihat di kisah film klasik tersebut. Casablanca dalam kenyataannya sekarang adalah kota maju (untuk skala Maroko), kota industri dan kota pelabuhan. Di kota ini bertaburan bangunan-bangunan tinggi gedung perkantoran, apartemen, hotel dan flat dengan jembatan layang dan jalan tol di beberapa bagian kota. Bagi para turis, kota ini betul-betul hanya kota transit karena tidak banyak yang bisa dilakukan dan dilihat disini. Kalau seandainya perjalanan Jakarta – Casablanca tidak terlalu jauh dan melelahkan, mungkin opsi ganti pesawat dan langsung terbang dari Casablanca menuju ke Marrakech adalah pilihan yang terbaik, tanpa perlu menginap di Casablanca.


Saya menginap di Hotel Barcelo, sebuah chain hotel bintang 3 dan 4 dari Eropa. Lokasinya berada di Boulevard d’Anfa, business area di Casablanca. Dari sini  saya dapat berjalan kaki ke obyek turisme utama kota, yaitu Masjid Hassan II. Saya check-in di hotel sekitar jam 1 siang dan langsung beristirahat, meluruskan badan ditempat tidur !


Saat saya menginap di hotel ini, kondisi hotel masih bisa dibilang baru, semua bersih, rapi dan wangi.  Wifinya pun luar biasa kuat signalnya. Satu-satunya kekurangan hotel itu adalah staffnya yang semuanya bermuka lempeng seperti robot, tanpa senyum dan memberikan servis seperti ogah-ogahan.

Dari petugas front office hotel ini saya mendapatkan pengetahuan tambahan tentang Maroko. Disini ketika seorang anak masuk sekolah sampai lulus SD mereka akan belajar bahasa Arab secara penuh dan ketika mereka masuk SMP sampai perguruan tinggi mereka akan belajar dalam bahasa Perancis. Begitulah cara bangsa Maroko mempertahankan kehidupan bi-lingual mereka. Bahasa sehari-hari adalah bahasa Arab, sementara bahasa Perancis digunakan untuk keperluan formal dan bisnis.

Setelah istirahat sekitar 1,5 jam dan mengisi perut, saya mulai mengeksplor daerah sekitar hotel. Sekeliling hotel ini hanya blok-blok bangunan perkantoran dan perumahan. Sekilas ada kemiripan antara kota ini dengan Mumbai, hanya saya disini lebih bersih dan manusianya lebih sedikit. Sekitar dua blok dari hotel saya terdapat area perkantoran yang baru dengan beberapa gedung yang sangat modern, lengkap dengan super mallnya.

Dengan berpedoman kepada peta yang ada ditangan, saya berjalan kaki menuju ke Masjid Hassan II. Jarak hotel dan masjid tersebut bisa ditempuh dalam 15 menit jalan kaki, tapi karena saya jalan kaki santai sambil mengamati suasana disekitar, waktu yang saya tempuh sekitar 30 menit. Rute yang saya lewati awalnya kebanyakan adalah toko-toko, flat atau perkantoran skala menengah, mayoritas berada di bangunan-bangunan tinggi. Disepanjang jalan banyak sekali ditemukan toko-toko kelontong milik perorangan yang masih terkesan klasik, layaknya toko-toko kelontong disini sebelum menjamurnya bisnis minimarket waralaba.

Suasananya agak gersang, jarang pepohonan di antara gedung-gedung tersebut. Meskipun matahari memancar dengan teriknya tapi angin yang berhembus dingin, sehingga jalan kakipun bisa dinikmati.


Semakin jauh dari hotel, pemandangannya bukan lagi gedung-gedung tinggi, tapi merupakan rumah-rumah dua lantai, yang dilantai bawahnya adalah restoran atau toko atau kantor. Ya sejenis ruko begitu, tapi ini adalah bangunan-bangunan tua. Juga mulai tampak banyak pohon-pohon palem besar di sepanjang jalan.

Saya mengamati ada laki-laki tua duduk melamun di bangku taman sambil merokok, di seberangnya ada anak-anak sedang kejar-kejaran. Sementara sekelompok remaja ngebut-ngebutan dengan motor mereka.

Bangsa Maroko merupakan campuran antara bangsa keturunan Arab dan suku Berber, tapi orang Maroko sendiri konon ogah disebut orang Arab.

Setelah berjalan sekitar 15 menit dengan kecepatan santai, menara masjid Hasan II mulai tampak dari kejauhan. Didaerah ini, tampak beberapa lahan kosong, ada yang digunakan sebagai tempat menumpuk sampah kering, ada pula yang digunakan sebagai tempat menjemur pakaian oleh warga sekitar.


Masjid Hassan II yang konon adalah masjid nomor 7 terbesar di dunia ini memang terlihat megah dari kejauhan. Dengan posisi berdiri sendiri berlatar belakang Laut Atlantik membuat masjid ini sangat stunning.

Ketika mendekati masjid ini, saya berdecak kagum atas keindahan arsiteknya. Masjid ini dibangun dengan arsitektur khas Maroko. Semua detil dikerjakan dengan apik. Terdapat ornamen-ornamen yang sangat bagus hampir di semua bagian masjid, baik itu di pintu masuk, di dinding, bahkan di tempat air tempat wudhu utama. Lampu gantung yang terdapat di teras masjidpun sengat nyeni dan sesuai dengan tema masjid. Secara keseluruhan masjid ini memang megah. Tetapi dari beberapa sumber yang sempat saya baca sebelum berangkat, masjid yang menelan biaya sekitar USD 700 juta ini mengundang kontroversi mengingat Maroko adalah negara miskin yang membutuhkan dana untuk pembangunan hal-hal vital yang lebih penting.

Saya tidak menyia-nyiakan kesempatan baik ini untuk berkeliling. Beberapa bagian yang agak tinggi, seperti ventilasi besar di bagian atas ternyata digunakan oleh burung-burung Merpati untuk membuat sangkar dan membesarkan anak-anaknya disana. Arah belakang masjid ini adalah laut Atlantik, yang siang dan sore itu lumayan besar ombaknya. Angin dingin yang ditiupkan lumayan membersihkan paru-paru.



Selain menjadi tempat ibadah, masjid sepertinya juga menjadi tempat wisata penduduk sekitar. Banyak sekali keluarga dan anak-anak muda yang datang kesana, ada yang duduk-duduk saja, ada keluarga yang makan-makan di pinggiran masjid, ada remaja yang ngobrol, becanda dan kejar-kejaran di lapangan luar masjid dan ada pula yang duduk-duduk menghadap ke laut lepas.


Di pantai berbatu disamping masjid ada segerombolan anak-anak usia 12 tahun mencebur ke laut dan berenang-renang. Dinginnya kayak apa itu ????

Saya kembali ke hotel menyusuri jalanan semula yang saya lewati tadi. Salah satu bangunan yan dilewati tidak jauh dari masjid Hassan II adalah sebuah rumah sakit yang cukup besar. Sore itu di pinggir jalan depan rumah sakit itu ada pertengkaran mulut hebat antara dua keluarga besar yang sedang bertikai. Ada sekitar 20 orang didalam dua kelompok tersebut. Seorang wanita berusia sekitar 50an sepertinya menjadi komandan keluarganya, marah-marah berteriak-teriak dengan suara yang sangat lantang, sambil berkacak pinggang dan menuding-nuding pihak satunya. Sementara dipihak lainnya, lelaki setengah baya meladeni ucapan si ibu tersebut dengan sengitnya. Anggota keluargapun sesekali ikut nimbrung menimpali dengan suara yang cukup keras juga. Entah apa yang dipertengkarkan saya tidak tahu. Pokoknya rame ! Orang-orang disekitar ikutan nonton, beberapa mobil yang lewat juga ikut melambat. Sayapun ikut berhenti sebentar menonton atraksi langka tersebut, tapi menahan diri untuk tidak memotret mereka, dari pada saya dikejar dan dipukuli orang besar-besar itu.

Ketika melihat pertengkaran mulut itu tidak kunjung mereda (dan juga tidak meningkat) saya mulai bosan, mending balik saja ke hotel karena sudah nggak seru lagi.

Sekitar jam 5 sore waktu setempat perut saya lapar luar biasa. Ah ya, ini kan jam 12 malam di Jakarta, perut saya meminta jatah untuk dikasih makan malam rupanya, sudah telat pula. Awalnya saya ingin makan makanan khas Maroko yang sangat terkenal, tapi menurut info dari pihak hotel,  restoran Maroko yang terkenal lokasinya agak jauh dari hotel. Maka saya urungkan niat tersebut dan akhirnya makan KFC saja, yang kebetulan ada outletnya di dekat hotel. Jauh jauh kesini makannya KFC !!!

Malam harinya saya ngopi-ngopi di Segafredo Café, masih di dekat hotel dan ngobrol-ngobrol dengan sepasang turis asal New York yang sedang transit sebelum kembali ke kotanya. Tapi saya tidak bisa ngobrol lama-lama karena saya ngantuk luar biasa, maklum jam tubuh saya hari pertama itu masih jam Jakarta. Jam lokal masih jam 7 malam tapi di Jakarta sudah jam 2 pagi ! Saya jetlag !

Semakin malam suasana di jalanan depan hotel semakin ramai, karena ternyata jalanan sepi di malam hari ini dipakai sebagai tempat ngebut trek-trekan sepeda motor remaja. Suara bising motor ini lumayan mengganggu tidur saya, terlebih lagi kamar saya menghadap ke jalan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar