Sabtu, 02 November 2013

MAROC [2010] #5 : Djemaa El Fna


Lapangan ini memang menjadi buah bibir dan atraksi turis utama di Marrakech. Setiap tersebut nama kota Marrakech dalam hal turisme, maka Djemaa El Fina pasti tersebut sebagai yang utama. Merupakan lapangan terbuka di daerah Medina, yang berbatasan langsung dengan pasar utama kota tua (Le Souk) serta Masjid Koutoubia.

Mulai siang hari lapangan ini akan diramaikan oleh street performers berupa pemain musik, tari-tarian (dengan penari laki-laki semuanya pastinya), pendongeng (story teller), peramal, pawang ular, akrobat dan lain-lain. Selain street performers, juga banyak terdapat pedagang-pedagang asongan yang menjual berbagai macam barang-barang, mulai dari buah-buahan, topi, kaus, dan lain-lain.

Semakin sore, street performers dan pedagang yang berjualan disini semakin banyak dan pengunjung baik turis asing maupun penduduk lokal semakin banyak.

Djemaa El Fna ini mendapatkan pengakuan UNESCO untuk Masterpiece of the Oral and Intangible Heritage of Humanity, karena di lapangan ini kegiataan seni dan budaya Maroko terpelihara dengan baik setiap harinya melalui penampilan street performers tersebut.

Satu hal yang harus diingat bahwa semua itu tidak gratis ! Kalau kita berhenti dan menonton salah satu atraksi tersebut, harus siap-siap uang receh untuk diberikan kepada mereka. Jangan pula coba-coba untuk memotret mereka ketika sedang in-action tanpa membayar, karena salah satu dari mereka akan mengejar dan meminta uang sebagai imbalan atas kesediaan mereka menjadi obyek foto.

Ya, atraksi mereka di Djemaa El Fna bukanlah semata idealisme untuk mempertahankan kebudayaan Maroko, tapi untuk mencari nafkah menghidupi keluarga mereka. Jadi kalau kita memiliki kepekaan sosial yang tinggi, khususnya setelah mengetahuai keadaan sosial ekonomi masyarakat Marrakech, tentunya memberikan uang receh kepada mereka bukanlah hal yang memberatkan.

Hari itu sekitar jam 3 sore saya memasuki area Djemaa El Fna dengan berjalan santai mengamati suasana disana. Matahari siang masih bersinar cukup keras memanggang lapangan Djemaa El Fna. Banyak sekali turis sore itu, meski tidak sebanyak penduduk lokal yang juga berlalu lalang disana. Di pinggiran berjejer sejenis andong lokal dengan tukang andong yang sibuk menawarkan jasa pengantar para turis untuk berkeliling-keliling Marrakech naik andongnya. Tampak gerobak antik penjual buah-buahan di beberapa tempat. Mereka menata buah-buahannya dengan rapi sekali.


Memasuki area tengah lapangan, suasana meriah semakin terasa. Banyak pedagang kaki lima duduk menggelar dagangan mereka, ada peramal, ada pemain musik tradisional, ada story teller, dan lain-lain. Ketika saya mengarahkan lensa kamera saya dari kejauhan ke seorang perempuan tua pedagang makanan, dia menutupi mukanya dengan sepotong kain dan perempuan disebelahnya berteriak-teriak keras marah-marah “No! No!” kepada saya. Hal seperti ini saya alami dua kali di Djemaa El Fna, dan dua-duanya penolakan dilakukan oleh wanita. Keesokan harinya saya mengalami pengalaman yang lebih seram ketika tidak sengaja berhadapan langsung dengan wanita desa di Imlil (bisa dibaca di artikel selanjutnya tentang MAROC [2010] #6 : Desa Cantik Bernama Imlil). Menurut informasi yang saya dapatkan dari penduduk lokal, para wanita Maroko, khususnya wanita yang tinggal di pedesaan tidak mau difoto oleh orang asing. Salah satu alasan adalah mereka tidak mau kalau wajah mereka dieksploitasi atau dipublikasikan kemana-mana.

Ketika sedang asyik-asyik melihat-lihat atraksi performers dan pedagang kaki lima, saya melompat kaget setengah mati ketika seorang lelaki mendekati saya, sangat dekat sekali, sambil merapatkan seekor ular hitam besar ke dada saya. Sumpah rasanya jantung mau lepas dari tempatnya. Rupanya lelaki itu adalah anggota kelompok pawar ular yang menawarkan saya untuk berfoto dengan ularnya (dengan imbalan Dirham atau Dollar tentunya). Tawaran itu saya tolak karena ular bagi saya bukanlah hewan manis untuk diajak berfoto bersama.

Karena matahari sore itu masih bersinar keras memanggang lapangan, maka saya menyingkir dulu ke café-café yang ada pinggiran lapangan. Pilihan saya adalah café Argana, yang ramai sekali oleh turis, mayoritas dari Eropa. Kalau sudah nongkrong di café-café disini, jangan lupa minum Morrocan Tea, teh dengan paduan peppermint yang menjadi ciri khas Maroko. Setahun setelah kedatangan saya, tahun 2011 café ini meledak, mengakibatkan 17 orang tewas dan lainnya luka-luka, mayoritas turis. Keterangan awal dari kepolisian adalah adanya kompor gas yang meledak, tapi belakangan diduga itu adalah serangan kecil dari kelompok teroris.

Begitu suara azan Ashar berkumandang dari masjid Koutoubia di belakang Djemaa El Fna, seluruh hingar bingar tari, musik dan teriakan-teriakan di Djemaa El Fna seketika berhenti. Sekejap suasana menjadi senyap, seperti kita me-mute audio player disaat musik dengan cukup keras. Sebagian dari mereka berkemas untuk solat Ashar ke Masjid terdekat, sebagian tetap bertahan di posisi masing-masing. Sepanjang waktu solat, suasana tetap senyap. Begitu selesai waktu solat, orang-orang berjalan kembali dari masjid, hingar bingar kembali muncul seperti kita membesarkan volume musik di audio player di rumah dari pelan menjadi keras dan semakin keras.

Saya lalu berjalan ke pasar (Le Souk) yang terletak agak ke belakang dari lapangan ini. Suasananya sangat meriah, sangat mirip dengan suasana pasar-pasar lama di Timur Tengah, seperti di Abu Dhabi dan Egypt Bazaar – Istanbul. Terdapat gang-gang yang banyak dalam pasar ini. Saya sebetulnya gatal sekali ingin memotret pasar ini, tapi saya khawatir memancing keributan dengan pedagang disini, entah mereka minta bayaran atau marah karena menolak difoto. Apalagi pedagang didalam pasar ini rata-rata laki-laki semuanya.

Pasar tua ini sangat menarik, bermacam ragam dijual disini. Mulai dari elektronik, bahan-bahan kulit, pakaian, souvenir, pernak pernik rumah, makanan serta rempah-rempah. Pastinya harus tawar menawar disini, apalagi kalau nyata-nyata pembeli adalah turis asing.

Saya sempat berbelanja beberapa souvenir dan oleh-oleh khas Maroko. Maroko memang memiliki banyak barang-barang unik. Somehow negeri ini memiliki budaya dan eksistensi sendiri yang berbeda dari bangsa di Timur Tengah. Budaya suku asli Berber berpadu dengan invasi Arab, ditambah pengaruh kerajaan Andalusia, pengaruh Spanyol di utara serta pengaruh jajahan Perancis menjadikan Marako yang berwarna seperti sekarang ini.

Selesai berbelanja, saya kembali ke lapangan Djemaa El Fna. Hari sudah semakin sore, kegarangan sinar matahari berkurang dan saya mendapati jumlah performers dan pedagang semakin bertambah. Jumlah pengunjung, baik lokal maupun turispun juga semakin ramai. Suasana semakin hingar bingar.

Saya tertarik dengan kerumunan orang yang melingkar menonton sebuah atraksi akrobat dan mendatangi kerumunan tersebut. Ada sekitar 8 orang pria lokal berbaju seragam biru melakukan berbagai gaya akrobatik baik individu maupun kelompok. Keterampilan mereka mengundang decak kagum dan tepuk tangan dari penonton. Salah seorang anggota kelompok berkeliling setiap beberapa menit sekali mengumpulkan uang dari para penonton.

Dari atraksi akrobat, saya berpindah menyaksikan tiga orang pemain musik memainkan perkusi dan suling khas Maroko. Nuansa Arab sangat kental di komposisi musik yang mereka mainkan.

Tidak jauh dari sana ada seorang peramal wanita berhijab hitam sibuk dengan “pasien” nya, mulutnya berceloteh sambil memegang dan melihat-lihat telapak tangan si pasien.

Ada pula sekelompok pria berbaju biru menyala sedang menari-nari dengan diiringi perkusi dan suling. Gerakan tariannya tidak rumit, bisa dipelajari dalam beberapa menit saja. Mereka hanya berputar-putar, menggerak-gerakkan kepala dan sejenisnya. Yang menarik adalah terdapat sejenis hiasan berupa tali di topi mereka, dan mereka sering memutar-mutar kepala mereka sehingga tali tersebut berputar-putar layaknya tali kipas pesawat terbang propeller.











Ada pawang ular yang memainkan sulingnya, mengajak ular-ularnya untuk menari-nari mengikuti ritme dan gerakan suling. Tapi kok rata-rata ularnya lemes-lemes ya ? Bukan ular agresif seperti performance yang sama di India. Apa karena ular-ular itu terlalu lama dikurung atau kurang makan atau sudah dikasih sejenis sirep sehingga ular tersebut tidak ganas demi menjaga keamanan para turis ? Saya tidak menemukan jawabannya.

Di kelompok pawang ular lainnya, tampak dua orang turis wanita Caucasian berfoto dengan dikalungi ular hitam milik si pawang. Brave women !

Mereka tidak hanya perform dan mendapatkan bayaran atas performance mereka, tapi juga harus berkompetisi untuk menarik para pengunjung datang ke atraksi mereka karena di lapangan ini ada beberapa group penari yang tampil, ada beberapa pawang ular memainkan ular-ularnya, ada banyak peramal dan story teller dan pastinya ada puluhan pedagang berjualan disini. Satu-satunya atraksi yang mungkin berbeda dan menarik minat banyak pengunjung adalah akrobat, karena tidak banyak kelompok melakukan ini.

Sedang asyik berjalan pelan dari satu atraksi ke atraksi lainnya, saya baru menyadari bahwa dari lantai dua atau tiga di café-café di sekeliling lapangan banyak tampak moncong-moncong lensa kamera para turis mengabadikan beribu moment menarik yang ada di lapangan ini. Good idea ! Sayapun masuk ke salah satu café, naik ke lantai tiga untuk mengabadikan berbagai tingkah polah manusia di Djemaa El Fna. Hanya dengan bermodal membeli sebotol coke dan sepiring french fries, saya leluasa memoto dari lantai 3 yang tak beratap tersebut karena pemandangan terbuka luas di depan mata. Karena saya tidak membawa tripod, maka pagar pembatas di lantai 3 itu berubah fungsi menjadi tripod dadakan.

Bayangkan gaduhnya seperti apa di lapangan itu. Suara perkusi satu dan lainnya tidak akur, ada suara suling yang tumpah tindih disana sini, sementara sesekali ada suara genderang yang membahana. Tidak hanya itu, setiap detik terdengar sorak sorai para performers menarik para pengunjung untuk mendatangi stand mereka, suara tepuk tangan, dan lain-lain. Dan dari lantai 3 café itu, semua suara itu seolah menguap ke udara.

Dibawah sana tampak lelaki tua berjalan sambil merokok, fokus ke arah langkah kakinya dan tidak peduli dengan segala hingar bingar di sekelilingnya. Saat itu adalah musim semi, suhu terkadang dingin, dan banyak orang, termasuk lelaki itu menggunakan jubah winter mereka yang berupa jubah besar bertopi (kapucong). Belakangan saya juga lihat seragam wintercoat pramugari dan pramugara Royal Air Maroc juga mirip dengan yang dikenakan lelaki tua tersebut.












Sesekali tampak otopad melintas diantara para performers. Lalu ada banyak lelaki-lelaki mengenakan baju tradisional suku Berber sambil menjual minuman yang dituangkan kedalam cawan kuningan khas mereka. Seperti yang ada di Koutoubia, mereka juga bersedia difoto atau diajak foto bersama, semua demi uang.




Tidak semua performers atau pedagang tampak antusias. Beberapa tampak melamun, entah karena dagangan atau penampilan mereka tidak diminati atau karena sedang stress. Seorang gadis berhijab hitam berdiri ditengah lalu lalang manusia menjual roti gandum, tapi tampaknya dia tidak cukup agresif untuk menawarkan roti-roti itu kepada orang-orang itu.














Di area belakang lapangan, tampak banyak lelaki bersiap-siap memasang tenda, meja kursi dan alat-alat memasak. Mereka mempersiapkan diri untuk berjualan makanan pada malam harinya. Ya, di pojokan antara lapangan dan pasar akan ada food stall pada malam harinya.

Azan Maghrib kemudian berkumandang dari menara masjid tua Koutoubia. Layaknya saat Ashar tadi, hingar bingar sontak mereda dan menjadi senyap. Sebagian berkemas untuk solat Maghrib, sebagian berkemas untuk langsung pulang. Lambat laun, keriuhan mulai berpindah dari para street performers dan pedagang kaki lima ke food stall yang ada di belakang sana.

Matahari mulai menghilang dari peredarannya, sementara angin dingin mulai bertiup, sesekali cukup kencang. Semua itu cukup efektif untuk membuat ujung jari tangan, daun telinga dan ujung hidung menjadi mati rasa. Sialnya saya tidak memakai jaket saat itu, kepedean hanya menggunakan polo shirt dan celana jeans saja. Sementara di sebelah saya, seorang turis asal Jerman yang juga sibuk memotret sejak sore tadi cuek saja hanya memakai t-shirt tanpa merasa kedinginan.

Selesai waktu solat Maghrib, keriuhan benar-benar berpindah ke food stall di bagian belakang lapangan. Suara alat masak, asap yang bertebaran dan suasana terang dari lampu-lampu di foodstall menjadi pemandangan yang berbeda dari sebelumnya. Sementara di lapangannya sudah nyaris tidak ada lagi performers dan pedagang kaki lima tadi.

Foodstall tersebut menjual berbagai macam makanan, tapi umumnya adalah makanan khas Maroko dan Timur Tengah. Daging sapi dan kambing pasti menjadi menu utama disana.

Langit sudah gelap dan tidak ada lagi obyek menarik dari lapangan. Orang-orang berdatangan dengan tujuan akan pergi makan ke foodstall atau berbelanja ke pasar di belakang. Sayapun akhirnya turun dari lantai 3 café itu karena sudah semakin menggigil kedinginan diatas.

Sebelum pulang, saya mampir dulu ke sebuah restoran kecil, masih di area Djemaa El Fna. Restoran tersebut menjual makanan khas Maroko secara prasmanan. Saya agak kalap makan malam hari itu, dengan seporsi kuskus sebagai karbohidrat, sosis kambing, daging ayam gulai dan sayuran menjadi menunya. Lahap sekali, mungkin karena kedinginan, tapi pastinya itu adalah makanan terenak selama perjalanan saya saat itu. Saya sengaja tidak mau makan di foodstall itu karena tidak mau dipalak, seperti yang diceritakan oleh turis dari Lyon pagi harinya.

Saya kemudian pulang dengan naik taxi. Sudah nggak kuat lagi jalan kaki menahan terpaan angin dingin malam hari. Setelah nego harga dengan supir taxi, tiba-tiba seorang turis wanita British Pakistani juga menawar taxi yang sama. Karena tujuan kami searah, maka si supir meminta apakah saya bersedia share taxi dengan si wanita tersebut. Saya mengangguk meski mikir “ini taxi atau angkot ?”.

Baru saja satu belokan, sudah sampai di hotel saya, si wanita disebelah saya terpaksa menghentikan ocehan cerita panjang lebarnya tentang Marrakech karena saya sudah harus turun dari taxi.

Hari yang menyenangkan dengan pengalaman baru yang luar biasa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar