Lapangan ini memang menjadi buah
bibir dan atraksi turis utama di Marrakech. Setiap tersebut nama kota Marrakech
dalam hal turisme, maka Djemaa El Fina pasti tersebut sebagai yang utama.
Merupakan lapangan terbuka di daerah Medina, yang berbatasan langsung dengan
pasar utama kota tua (Le Souk) serta Masjid Koutoubia.
Mulai siang hari lapangan ini akan
diramaikan oleh street performers berupa pemain musik, tari-tarian (dengan
penari laki-laki semuanya pastinya), pendongeng (story teller), peramal, pawang
ular, akrobat dan lain-lain. Selain street performers, juga banyak terdapat
pedagang-pedagang asongan yang menjual berbagai macam barang-barang, mulai dari
buah-buahan, topi, kaus, dan lain-lain.
Semakin sore, street performers
dan pedagang yang berjualan disini semakin banyak dan pengunjung baik turis
asing maupun penduduk lokal semakin banyak.

Satu hal yang harus diingat bahwa
semua itu tidak gratis ! Kalau kita berhenti dan menonton salah satu atraksi
tersebut, harus siap-siap uang receh untuk diberikan kepada mereka. Jangan pula
coba-coba untuk memotret mereka ketika sedang in-action tanpa membayar, karena
salah satu dari mereka akan mengejar dan meminta uang sebagai imbalan atas kesediaan
mereka menjadi obyek foto.
Ya, atraksi mereka di Djemaa El
Fna bukanlah semata idealisme untuk mempertahankan kebudayaan Maroko, tapi
untuk mencari nafkah menghidupi keluarga mereka. Jadi kalau kita memiliki
kepekaan sosial yang tinggi, khususnya setelah mengetahuai keadaan sosial
ekonomi masyarakat Marrakech, tentunya memberikan uang receh kepada mereka
bukanlah hal yang memberatkan.

Memasuki area tengah lapangan,
suasana meriah semakin terasa. Banyak pedagang kaki lima duduk menggelar dagangan
mereka, ada peramal, ada pemain musik tradisional, ada story teller, dan
lain-lain. Ketika saya mengarahkan lensa kamera saya dari kejauhan ke seorang
perempuan tua pedagang makanan, dia menutupi mukanya dengan sepotong kain dan
perempuan disebelahnya berteriak-teriak keras marah-marah “No! No!” kepada
saya. Hal seperti ini saya alami dua kali di Djemaa El Fna, dan dua-duanya
penolakan dilakukan oleh wanita. Keesokan harinya saya mengalami pengalaman
yang lebih seram ketika tidak sengaja berhadapan langsung dengan wanita desa di
Imlil (bisa dibaca di artikel selanjutnya
tentang MAROC [2010] #6 : Desa Cantik Bernama Imlil). Menurut informasi
yang saya dapatkan dari penduduk lokal, para wanita Maroko, khususnya wanita
yang tinggal di pedesaan tidak mau difoto oleh orang asing. Salah satu alasan
adalah mereka tidak mau kalau wajah mereka dieksploitasi atau dipublikasikan
kemana-mana.
Ketika sedang asyik-asyik
melihat-lihat atraksi performers dan pedagang kaki lima, saya melompat kaget setengah
mati ketika seorang lelaki mendekati saya, sangat dekat sekali, sambil
merapatkan seekor ular hitam besar ke dada saya. Sumpah rasanya jantung mau
lepas dari tempatnya. Rupanya lelaki itu adalah anggota kelompok pawar ular
yang menawarkan saya untuk berfoto dengan ularnya (dengan imbalan Dirham atau
Dollar tentunya). Tawaran itu saya tolak karena ular bagi saya bukanlah hewan
manis untuk diajak berfoto bersama.
Karena matahari sore itu masih
bersinar keras memanggang lapangan, maka saya menyingkir dulu ke café-café yang
ada pinggiran lapangan. Pilihan saya adalah café Argana, yang ramai sekali oleh
turis, mayoritas dari Eropa. Kalau sudah nongkrong di café-café disini, jangan
lupa minum Morrocan Tea, teh dengan paduan peppermint yang menjadi ciri khas
Maroko. Setahun setelah kedatangan saya, tahun 2011 café ini meledak,
mengakibatkan 17 orang tewas dan lainnya luka-luka, mayoritas turis. Keterangan
awal dari kepolisian adalah adanya kompor gas yang meledak, tapi belakangan
diduga itu adalah serangan kecil dari kelompok teroris.
Begitu suara azan Ashar
berkumandang dari masjid Koutoubia di belakang Djemaa El Fna, seluruh hingar
bingar tari, musik dan teriakan-teriakan di Djemaa El Fna seketika berhenti. Sekejap
suasana menjadi senyap, seperti kita me-mute audio player disaat musik dengan
cukup keras. Sebagian dari mereka berkemas untuk solat Ashar ke Masjid terdekat,
sebagian tetap bertahan di posisi masing-masing. Sepanjang waktu solat, suasana
tetap senyap. Begitu selesai waktu solat, orang-orang berjalan kembali dari
masjid, hingar bingar kembali muncul seperti kita membesarkan volume musik di
audio player di rumah dari pelan menjadi keras dan semakin keras.
Saya lalu berjalan ke pasar (Le
Souk) yang terletak agak ke belakang dari lapangan ini. Suasananya sangat
meriah, sangat mirip dengan suasana pasar-pasar lama di Timur Tengah, seperti
di Abu Dhabi dan Egypt Bazaar – Istanbul. Terdapat gang-gang yang banyak dalam
pasar ini. Saya sebetulnya gatal sekali ingin memotret pasar ini, tapi saya
khawatir memancing keributan dengan pedagang disini, entah mereka minta bayaran
atau marah karena menolak difoto. Apalagi pedagang didalam pasar ini rata-rata
laki-laki semuanya.
Pasar tua ini sangat menarik,
bermacam ragam dijual disini. Mulai dari elektronik, bahan-bahan kulit,
pakaian, souvenir, pernak pernik rumah, makanan serta rempah-rempah. Pastinya
harus tawar menawar disini, apalagi kalau nyata-nyata pembeli adalah turis
asing.
Saya sempat berbelanja beberapa
souvenir dan oleh-oleh khas Maroko. Maroko memang memiliki banyak barang-barang
unik. Somehow negeri ini memiliki budaya dan eksistensi sendiri yang berbeda
dari bangsa di Timur Tengah. Budaya suku asli Berber berpadu dengan invasi
Arab, ditambah pengaruh kerajaan Andalusia, pengaruh Spanyol di utara serta
pengaruh jajahan Perancis menjadikan Marako yang berwarna seperti sekarang ini.
Selesai berbelanja, saya kembali
ke lapangan Djemaa El Fna. Hari sudah semakin sore, kegarangan sinar matahari
berkurang dan saya mendapati jumlah performers dan pedagang semakin bertambah.
Jumlah pengunjung, baik lokal maupun turispun juga semakin ramai. Suasana
semakin hingar bingar.
Saya tertarik dengan kerumunan
orang yang melingkar menonton sebuah atraksi akrobat dan mendatangi kerumunan
tersebut. Ada sekitar 8 orang pria lokal berbaju seragam biru melakukan
berbagai gaya akrobatik baik individu maupun kelompok. Keterampilan mereka
mengundang decak kagum dan tepuk tangan dari penonton. Salah seorang anggota
kelompok berkeliling setiap beberapa menit sekali mengumpulkan uang dari para
penonton.
Dari atraksi akrobat, saya
berpindah menyaksikan tiga orang pemain musik memainkan perkusi dan suling khas
Maroko. Nuansa Arab sangat kental di komposisi musik yang mereka mainkan.
Tidak jauh dari sana ada seorang peramal
wanita berhijab hitam sibuk dengan “pasien” nya, mulutnya berceloteh sambil
memegang dan melihat-lihat telapak tangan si pasien.
Ada pula sekelompok pria berbaju
biru menyala sedang menari-nari dengan diiringi perkusi dan suling. Gerakan
tariannya tidak rumit, bisa dipelajari dalam beberapa menit saja. Mereka hanya
berputar-putar, menggerak-gerakkan kepala dan sejenisnya. Yang menarik adalah
terdapat sejenis hiasan berupa tali di topi mereka, dan mereka sering
memutar-mutar kepala mereka sehingga tali tersebut berputar-putar layaknya tali
kipas pesawat terbang propeller.
Ada pawang ular yang memainkan
sulingnya, mengajak ular-ularnya untuk menari-nari mengikuti ritme dan gerakan
suling. Tapi kok rata-rata ularnya lemes-lemes ya ? Bukan ular agresif seperti
performance yang sama di India. Apa karena ular-ular itu terlalu lama dikurung
atau kurang makan atau sudah dikasih sejenis sirep sehingga ular tersebut tidak
ganas demi menjaga keamanan para turis ? Saya tidak menemukan jawabannya.
Di kelompok pawang ular lainnya,
tampak dua orang turis wanita Caucasian berfoto dengan dikalungi ular hitam
milik si pawang. Brave women !
Mereka tidak hanya perform dan
mendapatkan bayaran atas performance mereka, tapi juga harus berkompetisi untuk
menarik para pengunjung datang ke atraksi mereka karena di lapangan ini ada
beberapa group penari yang tampil, ada beberapa pawang ular memainkan
ular-ularnya, ada banyak peramal dan story teller dan pastinya ada puluhan
pedagang berjualan disini. Satu-satunya atraksi yang mungkin berbeda dan
menarik minat banyak pengunjung adalah akrobat, karena tidak banyak kelompok
melakukan ini.
Sedang asyik berjalan pelan dari
satu atraksi ke atraksi lainnya, saya baru menyadari bahwa dari lantai dua atau
tiga di café-café di sekeliling lapangan banyak tampak moncong-moncong lensa
kamera para turis mengabadikan beribu moment menarik yang ada di lapangan ini.
Good idea ! Sayapun masuk ke salah satu café, naik ke lantai tiga untuk
mengabadikan berbagai tingkah polah manusia di Djemaa El Fna. Hanya dengan
bermodal membeli sebotol coke dan sepiring french fries, saya leluasa memoto
dari lantai 3 yang tak beratap tersebut karena pemandangan terbuka luas di
depan mata. Karena saya tidak membawa tripod, maka pagar pembatas di lantai 3
itu berubah fungsi menjadi tripod dadakan.
Bayangkan gaduhnya seperti apa di
lapangan itu. Suara perkusi satu dan lainnya tidak akur, ada suara suling yang
tumpah tindih disana sini, sementara sesekali ada suara genderang yang
membahana. Tidak hanya itu, setiap detik terdengar sorak sorai para performers
menarik para pengunjung untuk mendatangi stand mereka, suara tepuk tangan, dan
lain-lain. Dan dari lantai 3 café itu, semua suara itu seolah menguap ke udara.
Dibawah sana tampak lelaki tua
berjalan sambil merokok, fokus ke arah langkah kakinya dan tidak peduli dengan
segala hingar bingar di sekelilingnya. Saat itu adalah musim semi, suhu
terkadang dingin, dan banyak orang, termasuk lelaki itu menggunakan jubah
winter mereka yang berupa jubah besar bertopi (kapucong). Belakangan saya juga
lihat seragam wintercoat pramugari dan pramugara Royal Air Maroc juga mirip dengan yang
dikenakan lelaki tua tersebut.
Sesekali tampak otopad melintas
diantara para performers. Lalu ada banyak lelaki-lelaki mengenakan baju
tradisional suku Berber sambil menjual minuman yang dituangkan kedalam cawan
kuningan khas mereka. Seperti yang ada di Koutoubia, mereka juga bersedia
difoto atau diajak foto bersama, semua demi uang.
Tidak semua performers atau
pedagang tampak antusias. Beberapa tampak melamun, entah karena dagangan atau
penampilan mereka tidak diminati atau karena sedang stress. Seorang gadis
berhijab hitam berdiri ditengah lalu lalang manusia menjual roti gandum, tapi
tampaknya dia tidak cukup agresif untuk menawarkan roti-roti itu kepada
orang-orang itu.
Di area belakang lapangan, tampak
banyak lelaki bersiap-siap memasang tenda, meja kursi dan alat-alat memasak.
Mereka mempersiapkan diri untuk berjualan makanan pada malam harinya. Ya, di
pojokan antara lapangan dan pasar akan ada food stall pada malam harinya.
Azan Maghrib kemudian berkumandang
dari menara masjid tua Koutoubia. Layaknya saat Ashar tadi, hingar bingar
sontak mereda dan menjadi senyap. Sebagian berkemas untuk solat Maghrib,
sebagian berkemas untuk langsung pulang. Lambat laun, keriuhan mulai berpindah
dari para street performers dan pedagang kaki lima ke food stall yang ada di
belakang sana.
Matahari mulai menghilang dari
peredarannya, sementara angin dingin mulai bertiup, sesekali cukup kencang.
Semua itu cukup efektif untuk membuat ujung jari tangan, daun telinga dan ujung
hidung menjadi mati rasa. Sialnya saya tidak memakai jaket saat itu, kepedean
hanya menggunakan polo shirt dan celana jeans saja. Sementara di sebelah saya,
seorang turis asal Jerman yang juga sibuk memotret sejak sore tadi cuek saja
hanya memakai t-shirt tanpa merasa kedinginan.
Selesai waktu solat Maghrib,
keriuhan benar-benar berpindah ke food stall di bagian belakang lapangan. Suara
alat masak, asap yang bertebaran dan suasana terang dari lampu-lampu di
foodstall menjadi pemandangan yang berbeda dari sebelumnya. Sementara di
lapangannya sudah nyaris tidak ada lagi performers dan pedagang kaki lima tadi.
Foodstall tersebut menjual
berbagai macam makanan, tapi umumnya adalah makanan khas Maroko dan Timur
Tengah. Daging sapi dan kambing pasti menjadi menu utama disana.
Langit sudah gelap dan tidak ada
lagi obyek menarik dari lapangan. Orang-orang berdatangan dengan tujuan akan
pergi makan ke foodstall atau berbelanja ke pasar di belakang. Sayapun akhirnya
turun dari lantai 3 café itu karena sudah semakin menggigil kedinginan diatas.
Sebelum pulang, saya mampir dulu
ke sebuah restoran kecil, masih di area Djemaa El Fna. Restoran tersebut
menjual makanan khas Maroko secara prasmanan. Saya agak kalap makan malam hari
itu, dengan seporsi kuskus sebagai karbohidrat, sosis kambing, daging ayam
gulai dan sayuran menjadi menunya. Lahap sekali, mungkin karena kedinginan,
tapi pastinya itu adalah makanan terenak selama perjalanan saya saat itu. Saya
sengaja tidak mau makan di foodstall itu karena tidak mau dipalak, seperti yang
diceritakan oleh turis dari Lyon pagi harinya.
Saya kemudian pulang dengan naik
taxi. Sudah nggak kuat lagi jalan kaki menahan terpaan angin dingin malam hari.
Setelah nego harga dengan supir taxi, tiba-tiba seorang turis wanita British
Pakistani juga menawar taxi yang sama. Karena tujuan kami searah, maka si supir
meminta apakah saya bersedia share taxi dengan si wanita tersebut. Saya
mengangguk meski mikir “ini taxi atau angkot ?”.
Baru saja satu belokan, sudah
sampai di hotel saya, si wanita disebelah saya terpaksa menghentikan ocehan
cerita panjang lebarnya tentang Marrakech karena saya sudah harus turun dari
taxi.
Hari yang menyenangkan dengan
pengalaman baru yang luar biasa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar