Siang itu kami mendarat di Charles de
Gaulle Airport (CDG) di pinggiran kota Paris dengan menumpang pesawat langka
Airbus A318 milik maskapai Air France dari Geneva. Pemeriksaan imigrasi dan
stempel visa Schengen dilakukan di airport Geneva, sehingga ketika mendarat di
airport CDG langsung saja melenggang keluar.
As expected, terminal airport memang sudah
terkenal ruwet dan membingungkan. Sejak turun dari pesawat menuju ke tempat
pengambilan bagasi, lalu menuju ke stasiun kereta ditempuh dengan jalan kaki
yang cukup jauh dan berliku-liku.
Dari airport kami naik kereta menuju ke
stasiun kereta Gare du Nord. Jangan bayangkan kereta dari airport menuju
stasiun Gare du Nord adalah kereta super modern seperti di Hongkong, Kuala
Lumpur atau Shanghai. Kereta di kota Paris adalah kereta tua dengan suara yang
sangat berisik.
Kami menginap di sebuah hotel bintang 3 didaerah
sekitar Opera. Hotel tersebut sudah dipesan via internet dari Jakarta
berdasarkan pertimbangan lokasi yang dekat dengan stasiun Metro (kereta bawah
tanah), jadinya nanti akan memudahkan kalau akan pergi kemana-mana. Akan tetapi
karena saat itu masih minim pengalaman, jadi lagi-lagi seperti kejadian
pencarian hotel di Barcelona, saya luput membaca rekomendasi para traveller
tentang hotel tersebut.
Lokasi hotel tersebut memang dekat sekali
dengan stasiun Metro, akan tetapi ketika kami berjalan menyusuri jalanan kecil
di hotel tersebut, suasana siang itu meriah karena banyak sekali salon-salon
murah meriah dan orang-orang kulit hitam, sebagian besar adalah wanita yang
sepertinya adalah wanita pekerja seks.
Sebagaimana hotel-hotel umumnya di Eropa,
hotel tersebut berkamar sangat kecil tapi sangat bersih dan rapi. Mau solat
saja kudu berdiri diatas tempat tidur karena nyaris tidak ada space yang
tersedia di lantai.
Sore harinya kami menghabiskan waktu dengan
berjalan-jalan dan ngopi-ngopi di daerah Opera. Daerah ini memang sangat vibrant. Mau shopping ? Disini setidaknya ada Galleries Lafayette, Printemps dan Old England. Mau nonton film ? Disini ada beberapa bioskop besar. Mau makan atau sekedar ngopi ? Banyak sekali pilihannya. Mau nonton konser klasik juga disini salah satu pusatnya karena disini terdapat Paris Opera House.
Ketika kembali ke hotel
sekitar jam 9 malam, kami menyusuri jalan-jalan yang agak gelap dan sepi menuju
kembali ke hotel. Ketika itu kami dicegat oleh seorang pria negro yang mengajak
berbicara dalam bahasa Perancis, teman saya langsung menjawab “sorry we can’t
speak French”. Tapi orang itu terus membuntuti dan mengeluarkan sebungkus
kantong kecil berwarna putih dari jaketnya.
Ulalaaa….dia ternyata menawarkan
drugs ! Saya menggeleng keras menandakan “no”dan kami mempercepat langkah
setengah berlari. Beruntung lelaki hitam tersebut tidak mengikuti terus.
Pengalaman yang lumayan horror di dalam itu. Another great welcome to Paris !
Hotel tersebut sebetulnya convenience
karena disekelilingnya banyak sekali restoran yang sesuai dengan kantong budget
travellers, supermarket 24 jam serta public laundry. Akan tetapi suasana horror
dari banyaknya orang-orang kulit hitam dengan gelagat tidak baik di area itu
membuat kami sangat tidak nyaman disana.
Akhirnya malam itu juga diputuskan untuk
cabut dan pindah, cari hotel yang berada di area yang lebih civilized dan
tetap, harus dekat dengan stasiun Metro. Beruntung saya punya kenalan lama yang
sudah bertahun-tahun bermukim di Paris, dari dia saya dapat beberapa referensi
area yang bisa dijadikan incaran untuk mencari hotel baru.
Jadilah pilihannya
adalah pindah ke daerah sekitar Champs Elysees.
Sebelum check-out dari hotel tersebut, saya
menyempatkan diri untuk mencuci pakaian di public laundry di dekat hotel
tersebut. Agak kebingungan juga
karena semua instruksi disana dalam bahasa Perancis. Tapi ditengah kebingungan
tersebut seorang wanita mendekati saya dan memberikan bantuan cara memproses
laundry. Dia menggunakan bahasa Perancis tapi saya bisa menangkap maksudnya
dari gerak gerik tubuhnya menunjuk kesana kemari. Pendekatan yang helpful dan
bersahabat dari wanita tersebut merupakan yang kedua kali saya terima sejak
menjejakkan kaki di Paris, karena kemarin siang ketika sedang dalam kereta dari
airport, saya yang waktu itu sedang kesulitan mengangkat koper naik ke kereta,
dibantu oleh seorang laki-laki yang berdiri di dekat saya.
Meskipun banyak orang bilang bahwa Parisian
adalah orang-orang yang snob, arogan dan rasis, tapi yang saya alami justru
sebaliknya. Pengalaman rasis parah justru saya alami ketika saya berasa di
Italy.
Akhirnya kami boyongan ke hotel Holiday Inn
Champs Elysees. Meskipun suasana di sekitar hotel lebih sepi tapi hotel ini
jauh lebih nyaman. Aman ? Tunggu dulu….karena ketika kami sedang check-in
disana, tiga orang tamu hotel yang berasal dari Montreal Canada sedang panik,
karena salah seorang dari mereka baru saja kecopetan di stasiun Metro dekat
hotel : Miromesnil. Dompet beserta seluruh isinya raib. Wanita tersebut melihat
seorang remaja latino menempel ke badan dia ketika menuruni tangga metro dan
beberapa menit kemudian dia tersadar dompetnya amblas. Jadi
saat itu mereka sedang sibuk berkoordinasi dengan pihak security hotel dan
kepolisian. Dia juga tampak sibuk telfon sana-sini untuk memblokir kartu kredit
dan kartu ATMnya. Sebuah sinyal awal agar kami tetap waspada selama di Paris.
Keesokan siangnya ketika saya berjumpa dengan wanita tersebut di lobby hotel,
saya menegur dan menanyakan perkembangan kasus dia, ternyata dompetnya sudah
ditemukan dibuang di tong sampah terdekat dengan isi yang masih utuh, kecuali
uang tunainya.
Banyak sekali hal-hal yang bisa dilakukan
di Paris, mulai dari mengunjungi museum dan gedung-gedung bersejarah,
menyaksikan pertunjukan seni & teater, shopping, makan, bahkan meski hanya
duduk-duduk santai dengan secangkir kopi di keramaian kota sambil menyaksikan
Parisian berlalu lalang, semuanya memberikan pengalaman yang tidak terlupakan.
The city and the people are so chic !
Dari hotel kami bisa berjalan kaki santai
menuju ke wilayah terkenal Champs Elysees. Selain daerah Opera yang terkenal
sangat vibrant di kota Paris, Champs Elysees juga merupakan area yang sangat
meriah, ada banyak sekali butik merk premium dunia, toko, restoran dan café
bertebaran disini. Disaat musim panas, area ini akan dipenuhi oleh turis-turis
dari Timur Tengah, yang sebagian dari mereka belanja gila-gilaan disini.
Kami mampir ke toko CD Virgin Store yang
lumayan besar di jalan ini. Disini pastinya bisa didapatkan CD music
penyanyi-penyanyi Perancis yang agak sulit didapat di Indonesia, semisal
Patrick Fiori, Patrick Bruel, Amel Bent, dan lain-lain. Di salah satu bagian
rak berjejer wajah Jawa manis Anggun sebagai cover CD album-albumnya.
Disini juga terdapat toko besar Nike yang
melayani pemesanan sepatu yang sesuai ukuran kaki. Juga terdapat butik besar
Louis Vuitton yang ketika kami melewatinya, saya mendengar serombongan keluarga
berbahasa Jawa Timuran akan masuk kesana.
Kami menghabiskan 4 hari di Paris dengan
mengelilingi hampir semua obyek turis disana. Mulai dari Museum Louvre yang gedenya
minta ampun dan koleksinya memang membuat kita melongo. Gereja Notre Dame yang
merupakan symbol perpaduan kehidupan relijius dan seni. Kehidupan seniman di
distrik cantik Montmartre yang terletak di perbukitan. Dan pastinya icon kota
Paris, Menara Eiffel. Tapi kami tidak sempat naik keatas karena antrian menaiki
menara yang sudah mengular entah berapa puluh meter panjangnya.
Ketika sedang jalan kaki kembali ke hotel
di malam terakhir di Paris, kami melewati sebuah restoran Thailand, yang
mengeluarkan aroma khas makanan Thailand yang sangat khas. Cukup sudah
perjalanan 11 hari di Eropa makan makanan yang relative murah meriah demi
mengirit biaya. Saya lalu menghitung sisa uang tunai Euro yang saya miliki,
demikian juga teman saya. Ternyata sisa uang masih banyak ! Jadilah kami masuk
ke restoran itu untuk melepas selera makan sepuas-puasnya. Makanan termahal yang
kami makan selama perjalanan di Eropa tahun itu! Masing-masing kena sekitar
enam ratus ribu rupiah…kelaparan yang merobek kantong !
Tidak ada komentar:
Posting Komentar