Selasa, 22 Oktober 2013
Sepotong Cerita dari Mumbai [2005]
“The most
happening and colorful place I’ve ever visited in my life”
Meskipun sudah 8
tahun berselang, kenangan tentang kota yang satu ini masih saja melekat di
memori saya. Sayang sekali, foto-foto seadanya yang sempat saya ambil selama 5
hari disana raib entah kemana. Seingat saya, dulu saya upload satu album penuh
ke dalam account friendster, sayang sekali friendster sudah jadi almarhum
sekarang.
Perjalanan ini
tidak direncanakan ketika saya ditugaskan oleh kantor terdahulu untuk mengikuti
training leadership di Mumbai, yang diselenggarakan oleh kantor Regional Asia
Pacific. Training dihadiri oleh perwakilan dari kantor-kantor di negara-negara
Asia, dengan 3 orang perwakilan dari Indonesia.
Ketika kedua
rekan saya memilih terbang dengan Thai Airways dengan alasan waktu terbang yang
connecting-nya paling bagus, saya memilih naik Singapore Airlines dengan alasan
pelayanan dan ingin menambah pundi-pundi mileage Krisflyer.
Tahun 2005,
pengurusan visa ke India belum memakai sistem Visa on Arrival seperti sekarang.
Jadi saya harus mengurus visa ke Kedutaan Besar India di Kuningan. Untungnya proses
cukup praktis dan visa keluar dalam 5 hari kerja.
Sebelum
berangkat, kami diberikan panduan singkat tentang training tersebut dan panduan
singkat tentang lokasi penyelenggaraan training, yaitu Mumbai. Satu hal yang
masih saya ingat sampai detik ini adalah reminder tentang pentingnya
memperhatikan higienis makanan dan minuman selama disana. Satu kalimat yang
masih terus terekam di memori saya adalah “drink only from bottled”
Karena pesawat
dari Singapore ke Mumbai yang saya pilih berangkat pagi hari dari Changi, maka
saya menginap dulu semalam di Singapore atas biaya sendiri.
Flight SQ 422
berangkat dari Changi pukul 07.30 pagi dengan kapasitas penuh. Proses boarding
penumpang berjalan agak tersendat-sendat karena banyaknya penumpang asli India
mainland yang berangkat rombongan dan ribut sendiri antar anggota keluarga
mengatur tempat duduk mereka. Ketika saya baru masuk ke kabin pesawat, saya
tersendat karena ada serombongan keluarga dari India yang sibuk berfoto-foto
ria di kursi mereka, sementara antrian masuk mengular. Antara jengkel sama ngakak
melihat kejadian menarik itu. Sungguh sebuah tontonan langka ! Mereka tidak
peduli ada ratusan penumpang yang masih menunggu masuk ke pesawat, yang penting
foto-foto dulu di dalam pesawat hahahaha…Taring saya untung belum sempat
keluar, karena sudah keduluan oleh pramugari SQ yang dengan nada jengkel,
menegur dengan tegas keluarga tersebut untuk duduk diam sampai proses boarding
selesai. Oh, what a beautiful morning !
Saat ketinggian
pesawat telah stabil di udara, para awak kabin membagikan makanan sarapan pagi
dengan salah satu pilihan menu adalah Indian Breakfast. Sontak aroma khas kari
India meruak kencang sekali di seluruh kabin. Selain menu yang dihidangkan para
awak kabin, saya perhatikan banyak juga penumpang yang membawa makanan mereka
sendiri, mungkin mereka khawatir kalau-kalau tidak dapat makanan vegetarian di
pesawat. Overall, penerbangan tersebut meriah !
Sekitar pukul
10.20 pagi waktu Mumbai, pesawat Boeing 777-200 itu mendarat dengan mulus di Chhatrapati Shivaji International Airport – Mumbai. Suasana
airport tidak begitu ramai pagi itu. Airport tersebut terkesan tua, sekilas
mengingatkan saya kepada airport Kemayoran. Terminal penumpang baru yang akan
diresmikan tahun 2013 ini masih belum mulai dibangun saat itu.
Setelah urusan imigrasi selesai, saya dan
penumpang lainnya terlunta-lunta menunggu bagasi yang lamaaaa sekali keluarnya.
Pagi itu saya tidak lagi khawatir untuk
urusan transportasi ke hotel, karena sudah dijemput oleh pihak penyelenggara
training.
Bagasi akhirnya keluar dan saya bergegas
keluar menuju arrival hall untuk mencari pria asing yang membawa papan nama
bertuliskan nama saya. Alih-alih menemukan papan nama tersebut, saya justru
dikerubuti oleh sekitar 3 orang pengemis cilik…wowwww !!! ini masih di dalam
arrival hall di airport dan sudah ada pengemis ? Well, I think this is the truly
warm welcome from Mumbai people…
Secara fisik, para pengemis cilik itu sama
semuanya, kurus, berkulit hitam berdebu, sangat kotor, rambut gimbal dan
pakaian compang camping. Sepertinya mereka anak-anak dari kaum Paria, kaum yang
secara strata kasta ditempatkan sebagai kaum terbuang.
Beruntung tidak lama kemudian saya sudah
mendapatkan petugas yang menjemput saya ke airport. Kami kemudian buru-buru
menuju ke parkiran mobil. Tapi yang namanya pengemis cilik itu, salah satunya tetap
menguntit saya dan memegangi celana saya dengan tangan kirinya. Wajahnya,
sumpah, memelas sekali ! Tapi saya sendiri juga kebingungan karena saya tidak
punya uang receh Rupee saat itu. Si petugas penjemput saya kemudian berusaha
mengusir pengemis tersebut. Tapi kesan yang tertangkap dari intonasi bahasa
Hindi dan bahasa tubuhnya yang digunakan, lelaki itu lebih tepatnya seperti
orang menghalau binatang pengganggu.
Perjalanan dari airport ke hotel JW
Marriott Mumbai ternyata tidak terlalu jauh juga. Rupanya airport dan hotel JW
Marriott tempat saya menginap dan mengikuti training terletak di satu wilayah,
bernama Juhu. Sepanjang jalan yang terlihat hanya pohon-pohon kering berdebu,
rumah-rumah susun tua dan lusuh serta bajaj dimana-mana. Pemandangan yang
paling menohok hati adalah banyaknya rumah-rumah kardus gelandangan di pinggir
jalan, di tepi selokan atau di lapangan. Saat itu, seingat saya, jarang sekali
terlihat mobil-mobil bagus di jalanan…well, it was 8 years ago, sekarang
mungkin sudah berbeda, sejalan dengan peningkatan ekonomi India.
JW Marriott Mumbai konon adalah salah satu
hotel termewah dan terbaik di Mumbai. Hotel ini dikenal sebagai salah satu
tempat kumpul-kumpulnya para sosialita Mumbai. Bahkan kalau sedang beruntung, kita
bisa bertemu dengan para bintang Bollywood yang seliweran disana, karena konon diskotik
di hotel ini adalah salah satu tempat clubbing favorit mereka. But I was not
that lucky at that time…atau mungkin karena saya memang tidak hapal wajah-wajah
bintang film Bollywood itu !
Hotel ini sangat besar dan langsung
berhadapan dengan Laut Arab. Pekarangan hotel ini juga luas sekali, pintu
gerbang depan dijaga dengan sangat ketat oleh petugas keamanan. Nun dibalik
pagar tembok depan hotel yang tinggi megah itu, berserakan pengemis-pengemis
yang menunggu orang-orang lalu lalang atau keluar masuk hotel sebagai target
market mereka. Sebuah kenyataan yang sangat kontradiktif dan ironis, surga
dunia dan neraka dunia hanya dipisahkan oleh sebuah tembok pagar pemisah !
Setelah beristirahat sejenak, saya bersama-sama
dengan beberapa peserta dari Philippines dan Hongkong memutuskan untuk
berjalan-jalan melihat-lihat kota Mumbai dengan menyewa sebuah mobil berikut
driver. Ketika sedang menunggu mobil di lobby, salah seorang rekan nyelutuk dengan
polosnya “Ini kok langitnya seperti berwarna coklat ya ?” Jiaaahhhh….menurut lu
itu apa ? Itu kan debu beterbangan dimana-mana sampai menguap keatas, sehingga
langit jadi seperti kecoklat-coklatan…
Ternyata daerah Juhu tempat hotel berada
itu berjarak sangat jauh dari pusat kota Mumbai, ya mungkin kira-kira seperti jarak
Jakarta-Tangerang, tapi ini diperparah karena kemacetan lalu lintas di hampir
banyak tempat dan tidak adanya jalan tol. Selain debu dan macet, satu hal yang
membuat saya minta ampun dengan lalu lintas di Mumbai adalah suara klakson yang
sahut bersahut, bertalu-talu nyaris tanpa berhenti. Seolah semua orang bernafsu
menekan tombol klakson supaya semua yang didepan mereka menyingkir. Hidup
disini memang sangat meriah. Tidak hanya polusi udara, tapi juga polusi suara !
Mobil sempat berhenti agak lama di dekat
sebuah lapangan karena ada seorang lelaki yang sedang menghalau sapi untuk
menyingkir dari jalan raya. Oh ya, sapi atau lembu adalah hewan suci untuk kaum
Hindu, yang haram untuk disakiti, apalagi dimakan. Kami semua cekikikan ketika
saya nyeletuk bahwa di Indonesia setiap jengkal dari hewan tersebut bisa diolah
menjadi makanan yang lezat. Dan cekikikan mereka akhirnya berubah menjadi
ekspresi aneh dan jijik ketika saya jelaskan bahwa hidung sapipun bisa dibuat
sejenis salad lezat (rujak cingur).
Pemandangan yang terlihat sepanjang jalan
dari hotel menuju ke pusat kota Mumbai sungguh sangat “berwarna”. Kami melewati
wilayah Santa Cruz, yang sepertinya adalah kawasan peninggalan Katolik disana,
lengkap dengan gereja Katolik, asrama siswa, dan gedung-gedung khas peninggalan
kolonial. Ada truk yang dihiasi warna warni layaknya hiasan kepala sapi karapan
di Madura. Mobil-mobil tua berebut jalan dengan bajaj, sepeda motor dan sepeda
ontel. Rumah-rumah susun dengan berbagai bentuk tapi umumnya terkesan lusuh
semua. Pasar di beberapa lokasi ramai sekali oleh para penjual dan pembeli, Orang-orang
ramai di pinggir jalan dan pastinya para pengemis terselip disana-sini.
Satu hal yang menarik adalah bahwa bajaj
disini berukuran kira-kira 2,5 kali lebih besar dari pada bajaj yang ada di
Jakarta. Disini dinamakan auto rigshaw. Sepertinya muatannya bisa sampai
enam-tujuh orang. Bahkan disaat-saat jam-jam padat pagi atau sore hari,
tumpukan manusia di dalam bajaj tersebut seperti ikan sarden didalam kaleng,
dengan satu-dua kepala/bagian badan penumpang sudah menjulur keluar dari pintu/jendela
bajaj.
Salah seorang rekan perjalanan, Colet, wanita
Hongkong yang sangat cosmopolitan dan baru pertama kali datang ke “negeri
seperti ini”, selalu terkejut-kejut dengan pemandangan baru yang dia lihat,
entah itu truk yang dihias warna warni, bajaj, pengemis yang tiba-tiba menempel
di jendela mobil ketika jalan macet, dan lain-lain. Kata-kata “oh my God, what’s
is that ???” selalu keluar dari bibir mungilnya bersamaan dengan ekspresi kaget
dan takjub !
Di suatu area, mobil terhenti agak lama
karena ada kemacetan. Mata saya terpaku melihat ada sesuatu yang bergerak-gerak
keluar dari dalam got kering & besar dipinggir jalan. Awalnya saya pikir benda
yang bergerak-gerak tersebut adalah hewan, tapi ketika setengah tubuhnya
terlihat jelas, oh my God, itu ternyata manusia ! Ada dua orang pengemis remaja
dari kaum Paria yang sepertinya baru bangun tidur (di dalam got ?) dan keluar
dari got tersebut. Tampilannya compang camping dan warna kulitnya serupa dengan
debu di trotoar jalan tersebut.
Mendekati pusat kota Mumbai, ada sesuatu
yang menarik perhatian saya. Disana sini berserakan ATM bank-bank asing, jauh
lebih banyak dari pada di Jakarta. You name it, segala macam Bank mulai dari
Citibank, HSBC, Standard Chartered, Deutsche Bank, dan lain-lain.
Mendekati pusat kota kami mendapati pula
banyak sekali bangunan-bangunan gedung tinggi yang masih sedang dalam taraf pengerjaan.
Apartemen menengah dan mewah, perkantoran bertaraf internasional, hotel-hotel
berbintang dan super mall sedang dibangun saat itu.
Setelah memakan waktu lebih dari 1 jam,
akhirnya kami memasuki pusat kota Mumbai. Meskipun tetap dengan ciri khas semrawutnya,
namun kawasan pusat kota lebih tertata dan sedikit lebih bersih. Pohon-pohon
lebih rindang dan tertata, pedestrian lebih rapi dan suasana terasa lebih
civilized. Di beberapa area kami menemukan lapangan-lapangan cricket yang sore
itu cukup ramai oleh para pemain cricket yang sedang latihan. Pemandangan
menarik ini bersinergi pula dengan bertebarannya gedung-gedung tua sisa
kolonial Inggris, sebagian berarsitektur Gothic, yang masih digunakan sebagai
perkantoran, salah satunya adalah Kantor Pos Besar Mumbai. Sayang gedung-gedung
itu terkesan lusuh dan tidak terawat. Taxi khas kota Mumbai, mobil tua dengan
warna hitam-kuning tanpa AC berseliweran disana sini. Semrawut, tapi sedikit
lebih civilized dari pada daerah suburb yang kami lewati tadi.
Kami didrop di sebuah gallery yang menjual
berbagai souvenir India, termasuk karpet dan rajutan khas Kashmir. Saya lupa
nama gallery tersebut dan entah di daerah mana. Harga barang-barangnya jangan
ditanya karena mereka memang membidik market turis. Setelah bertanya-tanya
beberapa barang, kami keluar dari gallery tanpa membeli apa-apa. Sayup-sayup
terdengar backsound sumpah serapah bahasa Hindi dari lelaki penjaga gallery
yang tampangnya lebih cocok menjadi preman dari pada penjaga gallery.
Tujuan kami selanjutnya adalah Gate of India
di Mumbai. Ini merupakan bangunan bersejarah berbentuk seperti gerbang yang
dibangun pada 1924 oleh pemerintahan Inggris. Tempat ini pada awalnya adalah
pelabuhan kecil milik rakyat Mumbai yang kemudian dibangun menjadi sebuah gerbang
megah sebagai tempat pelabuhan tamu-tamu penting Inggris. Gate of India ini
merupakan salah satu atraksi turis utama di kota Mumbai.
Persis di depan Gate of India terletak
Hotel Taj Mahal, hotel tua, mewah dan bersejarah di India. Panjang sekali daftar
pesohor dunia yang pernah menginap di hotel ini. Hotel Taj Mahal inilah yang
beberapa tahun lalu sempat terbakar hebat setelah diserang teroris. Baik Gate
of Mumbai maupun Hotel Taj Mahal ini menghadap ke laut lepas Arabia, sehingga
memungkinkan para teroris datang dengan perahu dari laut dan dengan mudah
menyerang Hotel Taj Mahal.
Ketika kami baru
saja tiba di Gate of India, serombongan turis barat tiba pula dengan bus
besarnya. Serentak beberapa pengemis berhamburan mendekat ke arah para turis.
Melihat gelagat tidak baik tersebut, petugas keamanan berusaha mengusir para
pengemis dengan mengibas-ngibaskan rotan besar dan panjang kesana kemari.
Waduh, itu kalau kena sabet beneran, sakit dan memarnya lumayan banget tuh !
Driver kemudian
membawa kami menyusuri pantai yang ramai di sore hari itu. Kami ditawari untuk
turun dan berjalan-jalan di pantai, tapi mengingat hari sudah sore dan pantai
sangat crowded, maka kami memutuskan untuk tidak turun.
Dalam perjalanan
kembali ke hotel, kami mendapati suasana yang lebih riuh rendah dari pada saat
berangkat tadi, karena waktu menunjukkan pukul 17.30 sore, waktunya orang-orang
pulang bekerja. Pejalan kaki, sepeda motor, mobil dan bajaj semakin ramai. Di
beberapa lokasi kami melihat kereta api melaju kencang, penuh dengan jejalan manusia,
sampai duduk diatap-atap gerbong. Colet, si rekan dari Hongkong kembali beraksi
dengan teriakan histerisnya “oh my God !”…hmmm sebelum ke India, wanita ini
mengaku pernah ke Jakarta, untung dia tidak melihat KRL Jabotabek saat jam-jam
padat !
Perjalanan
kembali ke hotel ternyata jauh lebih melelahkan karena macet yang dihadapi jauh
lebih buruk dari pada saat pergi. Dan kami menghabiskan waktu dengan tidur
pulas dihampir sepanjang jalan.
Hari-hari
selanjutnya dihabiskan dengan training di hotel mulai pukul 09.00 pagi sampai
pukul 18.00 sore. Dan atas pengalaman melelahkan ke pusat kota Mumbai di hari
pertama itu, kami memutuskan tidak akan pergi lagi ke pusat kota Mumbai dan
hanya berjalan-jalan di area sekitar Juhu dan Santa Cruz.
Pada malam
ketiga, kami besama peserta dari Hongkong dan Philippines memutuskan untuk
pergi shopping membeli souvenir dan oleh-oleh. Dalam perjalanan keluar masuk
toko di daerah Juhu tersebut, kami kerap “diganggu” oleh para pengemis disana.
Berbeda dengan pengemis di Indonesia yang hanya berorientasi kepada uang
semata, pengemis disana purely mengemis demi survival. Apapun akan mereka
terima dengan sukarela. Rekan saya memberikan sekantong kue miliknya dan para
pengemis langsung berebut memakan kue tersebut. Lain waktu, seorang pengemis
wanita mendekati saya dan melihat kepada botol air mineral yang saya bawa. Air
mineral yang masih penuh terisi tersebut saya berikan kepada dia dan diapun
mengambilnya dengan bersemangat. They just simply have nothing, except life !
Di lain waktu,
seorang wanita mendekati pria pelayan toko tempat kami berbelanja dan bercakap
kepada pria tersebut. Si pria kemudian menggelengkan kepala dan si wanita
ngeloyor pergi tanpa ba-bi-bu lagi. Menangkap moment menarik tersebut, saya
langsung bertanya kepada si palayan toko, apa yang dibicarakan si wanita ?
Rupanya wanita tersebut minta makan karena dia sudah 2 hari tidak makan dan si
pelayan tidak punya makanan yang bisa diberikan.
Ketika film
Slumdog Millionaire melejit pada tahun 2008 lalu, saya déjà vu melihat para
pengemis-pengemis cilik di film itu.
Disamping sisi
gelap kemiskinan dan kesengsaraan, India adalah surga belanja untuk para wanita
penggemar barang-barang etnik. Beberapa rekan wanita tampak kalap berbelanja
kain sari yang kata mereka sangat bagus-bagus dan relatif murah. Mereka juga
kalap berbelanja souvenir dan hiasan rumah khas India.
Ketika kami
berjalan kaki kembali ke hotel, kami menemui bermacam ragam pemandangan menarik
yang mungkin hanya ditemukan di India. Di satu pojokan, kami mendapati seorang
wanita dengan anak lelakinya sedang berdoa dengan beberapa titik api menyala di
depannya. Negeri ini memang bangga mengklaim diri sebagai bangsa yang relijius
dan itu terlihat dari kuatnya pegaruh agama Hindu di setiap sisi kehidupan dan
kenegaraan India.
Di sebuah rumah
susun sederhana, kami melihat sekelompok seniman sedang latihan musik
tradisional India dengan ritme gendang yang membuat tubuh ingin ikut serta
bergoyang-goyang.
Pada malam terakhir, saya
berjalan kaki ke sebuah pasar kecil yang memiliki beberapa toko souvenir kecil.
Saya berhenti di sebuah toko souvenir kecil dan terpesona oleh keindahan raga
dari gadis 18 tahun yang berjualan disana. Mengenakan baju biru khas India,
kulitnya putih bersih, wajahnya sempurna dengan gigi putih rapi dan bola mata
besar berwarna hijau. Gadis itu cerdas dan bahasa Inggrisnya sempurna untuk
ukuran penjual toko. Sambil bertransaksi beberapa souvenir untuk dibawa pulang,
kami bercakap-cakap dan saya mendapati bahwa dia adalah gadis muslim dari
Kashmir di India Utara. Dia pindah ke Mumbai karena perang yang terus menerus
di desanya dan ingin mengadu nasibnya dengan mengikuti abangnya yang adalah
pemilik toko itu.
Training yang dijalani
akhirnya selesai sudah dan tiba waktunya saya pulang kembali ke Jakarta.
Berbeda dengan saat ketibaan saya beberapa hari sebelumnya, malam itu ketika
saya tiba di airport, suasana di airport sangat ramai dan meriah luar biasa.
Satu orang penumpang bisa diantar oleh 7 orang anggota keluarnya dan proses
perpisahan bisa mengharu biru penuh air mata. Ketika sedang pemeriksaan x-ray
sebelum masuk check-in hall, barisan saya tersendat agak lama dan saya
mendapati bahwa penyebab barisan tersendat adalah seorang wanita yang akan
pergi dan masih terus menerus berdiri melambaikan tangan kearah keluarganya
diluar sambil berurai airmata….oouuuww Bollywood movie is live here !
Ketika sedang check-in,
lelaki petugas bandara yang bertampang nyinyir membolak balik paspor saya berkali-kali.
Dia lalu bertanya “are you going to stop in Singapore ?” karena melihat bahwa
saya akan menginap semalam di Singapore. Ketika saya jawab “yes”, dia kembali
bertanya “but you don’t have Singapore Visa huh ?”. Terpaksa saya jelaskan
bahwa Singapore itu bebas masuk bagi pemegang paspor Indonesia. Dia masih belum
terpuaskan dan masih ngeyel “are you sure ?”. Karena jengkel, saya suruh saja
dia melihat stempel imigrasi Singapore yang tertera di paspor saya, tanpa sama
sekali ada visa Singapore di paspor tersebut. Ente kira sini orang India yang
kemana-mana butuh visa ?
Suasana ruang keberangkatan
di airport sangat suram dan lumayan kotor. Sialnya, pesawat yang akan saya
tumpangi terlambat datang dari Singapore, yang berujung kepada terlambatnya
keberangkatan saya sampai 2 jam. Pesawat baru take-off ketika jarum jam sudah
melewati angka 00.00 dan saya terlelap tidur di sepanjang penerbangan *do not
disturb mode on*
Itulah sepotong cerita yang
tersisa dari perjalanan saya ke Mumbai 8 tahun silam. Kota yang penuh warna dan
cerita, ketika energi dan semangat hidup penuh kegigihan penduduknya seakan
menutupi penderitaan dan kesengsaraan yang merajalela. Para pengemis cilik itu
tak pernah tersenyum karena mungkin mereka memang tidak tahu cara tersenyum
semenjak mereka lahir di rumah-rumah kardus di balik sesaknya kota Mumbai.
Ketika pesawat Singapore
Airlines menjejakkan rodanya di bandara Cengkareng, saya merasa bersyukur bahwa
Tuhan mentakdirkan saya dilahirkan dan dibesarkan disini. Baru kali itu saya
tidak merasa sumpek ketika kembali dari luar negeri…
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Saya baca ceritanya cukup menarik sekali antara takjub dan penasaran dgn kehidupan ekonomi mereka yg lebih parah. Saya kepingin skali berkunjung ke sana tetapi bukan indianya. Kashmir dan sekitarnya yg ingin saya tuju. Thanks atas ceritanya walaupun sudah berlalu amat lama.
BalasHapus