Jumat, 25 Oktober 2013

EUROPE [2008] #3 : Lost in Venezia


Sejak dari langkah awal ketibaan, kebingunganpun muncul, soalnya banyak sekali gang-gang menuju kesana kemari. Semakin membingungkan karena somehow gang-gang itu tidak singkron dengan peta yang ada di tangan saya. Awalnya kami bertanya kepada seorang polisi, dimana letak hotel Sofitel. Polisi itu menjawab dengan bahasa Inggris minim tapi bergaya songong menunjuk ke satu arah. Kami lalu mengikuti arah yang ia tunjuk tersebut. Alhasil kami berputar-putar di labirin-labirin  Venesia tanpa tahu arah. Daripada kesasar terlalu jauh akhirnya saya putuskan bertanya kepada seorang petugas warnet, yang surprisingly kebingungan tidak tahu dimana letaknya hotel itu.

Sambil menarik koper masing-masing, kami menyusuri lagi gang-gang labirin Venesia untuk menemukan orang yang tepat untuk bertanya. Seorang pria pemilik toko yang ramah akhirnya menjadi dewa penyelamat. Dia memberi tahu dengan detil arah menuju ke hotel tersebut, dimana saya harus kembali di titik semula di tempat saya bertanya kepada polisi songong itu, melewati sebuah taman, melewati jembatan kecil dan masuk menyusuri gang dari sana.

Saya berjalan sambil mengingat dengan baik instruksi di pria pemilik toko tadi. Beruntung pula pria tadi memberi garis merah di peta yang saya bawa untuk menuntun arah jalan kesana. Setelah berbelok-belok melewati beberapa kanal besar dan kecil, sampai juga akhirnya di Hotel Sofitel, yang ternyata dekat saja dari lokasi kedatangan awal !



Hotel Sofitel dipilih karena saat itu sedang ada internet promo sehingga harga yang diberikan jadi murah (untuk ukuran hotel di Venesia). Perlu diingat dengan baik-baik bahwa tarif hotel dan makanan di Venesia ini sangat mahal. Ini memang kota turis dimana semua bisa jadi uang dan semua ada harganya.

Setelah check-in, seorang room boy berusia sekitar 40 tahun mengambil koper kami dengan kasar tanpa basa-basi. Dia lalu menunjukkan lokasi kamar dengan ekspresi muka yang sengak. Setelah membukakan pintu kamar dan meletakkan koper di pojokan, laki-laki itu langsung saja ngeloyor pergi tanpa bicara apa-apa, masih dengan muka tidak bersahabatnya. Woww, sebuah hotel bintang lima dengan staf ber-attitude minus lima !

Kota tua Venesia memang unik dan menarik, setiap jengkalnya adalah sejarah, entah itu monumen, gereja, museum maupun rumah-rumah penduduk. Meskipun bangunan tua dan lusuh ada disemua sisinya, namun bangunan-bangunan tersebut terawat dengan baik. Gang-gang kecil yang bercabang-cabang di banyak tempat betul-betul seperti labirin yang mudah menyesatkan. Seringkali dijalanan saya mendapati sekelompok orang yang kebingungan mencari-cari jalan menuju ke suatu tempat. Kesasar sepertinya adalah hal lazim disini. Meskipun pihak turisme Venesia sudah melakukan tindakan efektif dengan memberikan tanda panah/penunjuk ke sentra-sentra turisme yang terdapat disana, tapi tetap saja kesasar adalah menu umum para turis disana.




Beberapa bangunan semisal gereja, monument dan rumah masih berfungsi sama seperti berabad-abad yang lalu. Akan tetapi sebagian telah berubah fungsi….ada rumah yang sudah berubah fungsi  menjadi café, bar, restaurant, gallery atau toko. Ada bangunan yang dulunya merupakan perkantoran, kini berubah fungsi menjadi museum, seperti bekas kantor pos Venesia.

Saya tidak akan membahas obyek wisata di Venesia satu persatu, karena obyek wisata itu bisa dibaca di situs-situs atau buku turisme Venesia.

Berjalan-jalan di siang hari di musim semi yang sejuk di Venesia adalah suatu hal yang sangat menyenangkan, meskipun menurut teman saya, kota ini adalah kota empang (somehow betul juga).  Belajar dari pengalaman kesasar seperti tikus di dalam labirin saat tiba tadi siang, maka ketika kami berjalan kaki keliling-keliling Venesia, benar-benar harus disiplin mengikuti tanda panah penunjuk arah serta spot-spot penting untuk ditandai dan diingat (misalkan patung atau gereja) untuk memudahkan kami mencari jalan pulang kembali ke hotel. Pilihannya antara disiplin mengikuti jalur panah penunjuk dan menghapal spot-spot tertentu atau kesasar berputar-putar digang-gang Venesia.




Berjalan di gang-gang dan lorong-lorong dengan dinding-dinding tua yang dingin dan menjadi saksi sejarah berabad-abad yang lalu sungguh merupakan pengalaman yang fantastis. Tidak jarang saya mendapati lorong tua yang agak gelap dan kebetulan sepi tanpa adanya manusia di sepanjang lorong itu…cocok sekali untuk tempat shooting film horor. Tapi cuek sajalah, setan bule tidak seseram setan Indonesia kok !
Setiap berjumpa spot menarik saya selalu berhenti, entah itu gallery, toko, gereja maupun monumen. Di beberapa spot suasana sangat ramai karena banyak turis amprokan di tempat yang sama pada saat yang bersamaan.

Di sepanjang gang di Venesia terdapat banyak sekali gereja Katolik yang sudah berusia sangat tua, beberapa berarsitektur gaya Gothic. Ketika melewati satu gereja, terdengar paduan suara sedang berlatih lagu-lagu klasik dengan sopran yang melengking-lengking. Ok, gereja tua bernuansa gelap dengan backsound suara melengking-lengking, tinggal tunggu kelebatan-kelebatan yang lewat hehehehe.

Melewati gereja lainnya (yang saya lupa namanya) saya mendapati poster besar di dekat pintu masuknya bahwa nanti malam yang merupakan malam Minggu akan ada konser musik klasik dari sebuah orkestra kamar dari Bologna. Teman saya tergoda untuk menonton pada awalnya, sampai saya nyeletuk “beneran lu mau nonton konser sampai jam 10 malam ? pulang jalan kaki sendirian  gelap-gelap di lorong-lorong begini ?”…dan dia mengurungkan niatnya !

Di tengah perjalanan, saya memperlambat langkah kaki ketika melewati daerah perumahan yang luckily pada sore hari itu penghuni-penghuninya sedang beraktifitas. Ada seorang wanita tua yang sedang menyiram bunga di pekarangan mungilnya. Ada anak-anak kecil yang berdiri di jendela di lantai atas rumahnya menonton para turis yang berlalu lalang di depan rumah mereka. Ada seorang kakek yang sedang ngobrol duduk di teras rumahnya dengan seorang lelaki yang lebih muda. Sementara selang beberapa rumah dari sana, seorang laki-laki sedang mencuci vespa miliknya dan dari dalam rumahnya sayup-sayup terdengar lagu Italy dari suara penyanyi lama Italy : Mina. Melihat suasana seperti itu saya seperti berada di dunia yang lain. Dari Jakarta yang penuh hingar bingar dikejar-kejar kehidupan kapitalis, tiba di sebuah tempat yang tenang, damai, santai, bersahaja dan kekeluargaan. Life was enjoyable there !

Setelah berjalan cukup lama, kami tiba di sebuah area yang ramai, penuh dengan restoran, café dan bar serta toko-toko. Disini juga terdapat jetty tempat gondola maupun boat berlabuh, naik dan turunnya penumpang. Ada beberapa gondola sliweran dibawah jembatan membawa sepasang manusia yang sedang asyik mesra-mesraan, termasuk ciuman pastinya. Tempat tersebut adalah Grand Canal.






Setelah berjalan lebih jauh lagi, dan kaki mulai pegal, akhirnya kami sampai di area paling populer dan tujuan utama turis, yaitu St. Mark Square.





Sebelum berangkat ke Italy saya sudah membaca bawah area ini adalah area dengan titik terendah di kota Venesia, dimana ketika air laut pasang, beberapa bagian dari St. Mark Square akan terendam. Ketika berada di pinggiran laut disini, saya memang merasakan bahwa area ini sangat rendah, karena perbedaan ketinggian air laut dengan tempat tanah dipijak hanya sekitar 1-2 jengkal saja. Apabila ketinggian air laut akan naik karena global warming, diperkirakan area St. Mark Square inilah yang pertama kali akan tenggelam. Sangat disayangkan sekali kalau area yang sangat cantik dan kaya sejarah begini akan tenggelam secara perlahan-lahan suatu hari nanti.


Keesokan paginya kami berangkat dengan bergegas menuju ke stasiun kereta karena perjalanan akan dilanjutkan menuju Milan. Pagi itu matahari sudah naik, tapi udara Venesia masih dingin dan belum banyak orang beraktifitas. Kami berjalan kaki kembali melewati gang-gang dan menyeberang jembatan sambil menyeret koper masing-masing. Oh ya, satu hal, beberapa jembatan yang melintasi kanal-kanal di Venesia ini tidak berlantai datar (lantainya berupa anak tangga), oleh karenanya kalau anda membawa koper besar dan berat, siap-siap struggling mengangkat-angkat koper ketika melewati sebagian jembatan tersebut.

Kami tiba di stasiun kereta Venezia - Santa Lucia yang terletak di pinggiran water city Venesia 1 jam lebih awal dari jadual kereta. Saya lalu melihat papan jadual keberangkatan dan tidak menemukan jadual kereta yang menuju ke Milan. Oh, mungkin jadualnya belum muncul karena masih 1 jam lagi, maka diputuskan untuk pergi mencari sarapan cepat terlebih dahulu. Selesai melahap dua buah croissant dan secangkir kopi, kami berjalan santai kembali menuju papan jadual keberangkatan kereta, tapi tetap tidak ada kereta dengan tujuan Milan. Mulai bingung, kenapa jadual tidak muncul padahal waktu keberangkatan tinggal 30 menit lagi. Kebetulan ada petugas “station services” yang menggunakan sepatu roda melewati kami. Kami segera hentikan dia dan bertanya kenapa tidak ada jadual kereta yang ke Milan ? Dia dengan cepat membawa kami ke petugas loket dan sontak saya baru sadar bahwa stasiun yang tertulis di tiket adalah Venezia Mestre, bukan Venezia Santa Lucia. Seketika darah rasanya turun ke kaki semuanya karena waktu tinggal 30 menit dan kami harus ke stasiun satunya lagi yang entah berapa jauh dari sini.

Petugas loket yang untungnya berbahasa Inggris dengan baik, menunjuk satu peron, menyuruh saya naik kereta yang sudah stand by dan akan berangkat segera di peron itu, lalu turun di stasiun Mestre dan cari peron untuk kereta yang menuju ke Milan. Instruksi yang sangat jelas.

Adegan selanjutnya seperti di film-film action, berlari sekencang-kencangnya sambil mengangkat koper menuju peron yang ditunjuk dan meloncat naik kereta yang sudah siap-siap berangkat. Orang-orang di sekitar kami memandangi dengan wajah heran, ada dua orang asing berdiri dengan napas tersengal-sengal basah kuyup oleh keringat. Padahal kereta itu adalah commuter biasa yang aka nada setiap 15 menit sekali. Pyuuuhhhh…

Ketika tiba di stasiun Mestre, lagi-lagi kami harus bergerak cepat mencari papan penunjuk peron kereta menuju Milan. Cepat dan akurat adalah kata kunci, jangan sampai salah naik kereta ! Setelah tahu nomor peron kereta, lagi-lagi kami menghambur lari sprint menuju kereta tujuan. Masuk saja sembarang gerbong, yang penting terangkut dulu sama kereta itu. Benar saja, baru saja kami duduk di kursi yang telah ditentukan, 1 menit kemudian kereta bergerak pelan untuk melaju kencang menuju Milan.

Pelajaran dari pagi hari itu : perhatikan dengan seksama semua informasi yang ada di dokumen perjalanan ! Jangan main menyepelekan ! 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar