Sejak dari langkah awal ketibaan,
kebingunganpun muncul, soalnya banyak sekali gang-gang menuju kesana kemari. Semakin
membingungkan karena somehow gang-gang itu tidak singkron dengan peta yang ada
di tangan saya. Awalnya kami bertanya kepada seorang polisi, dimana letak hotel
Sofitel. Polisi itu menjawab dengan bahasa Inggris minim tapi bergaya songong menunjuk
ke satu arah. Kami lalu mengikuti arah yang ia tunjuk tersebut. Alhasil kami
berputar-putar di labirin-labirin Venesia tanpa tahu arah. Daripada kesasar terlalu jauh
akhirnya saya putuskan bertanya kepada seorang petugas warnet, yang
surprisingly kebingungan tidak tahu dimana letaknya hotel itu.
Sambil menarik koper masing-masing, kami
menyusuri lagi gang-gang labirin Venesia untuk menemukan orang yang tepat untuk
bertanya. Seorang pria pemilik toko yang ramah akhirnya menjadi dewa
penyelamat. Dia memberi tahu dengan detil arah menuju ke hotel tersebut, dimana
saya harus kembali di titik semula di tempat saya bertanya kepada polisi
songong itu, melewati sebuah taman, melewati jembatan kecil dan masuk menyusuri
gang dari sana.
Saya berjalan sambil mengingat dengan baik
instruksi di pria pemilik toko tadi. Beruntung pula pria tadi memberi garis
merah di peta yang saya bawa untuk menuntun arah jalan kesana. Setelah
berbelok-belok melewati beberapa kanal besar dan kecil, sampai juga akhirnya di
Hotel Sofitel, yang ternyata dekat saja dari lokasi kedatangan awal !
Hotel Sofitel dipilih karena saat itu
sedang ada internet promo sehingga harga yang diberikan jadi murah (untuk
ukuran hotel di Venesia). Perlu diingat dengan baik-baik bahwa tarif hotel dan
makanan di Venesia ini sangat mahal. Ini memang kota turis dimana semua bisa
jadi uang dan semua ada harganya.
Setelah check-in, seorang room boy berusia
sekitar 40 tahun mengambil koper kami dengan kasar tanpa basa-basi. Dia lalu
menunjukkan lokasi kamar dengan ekspresi muka yang sengak. Setelah membukakan
pintu kamar dan meletakkan koper di pojokan, laki-laki itu langsung saja
ngeloyor pergi tanpa bicara apa-apa, masih dengan muka tidak bersahabatnya.
Woww, sebuah hotel bintang lima dengan staf ber-attitude minus lima !
Kota tua Venesia memang unik dan menarik,
setiap jengkalnya adalah sejarah, entah itu monumen, gereja, museum maupun
rumah-rumah penduduk. Meskipun bangunan tua dan lusuh ada disemua sisinya,
namun bangunan-bangunan tersebut terawat dengan baik. Gang-gang kecil yang
bercabang-cabang di banyak tempat betul-betul seperti labirin yang mudah
menyesatkan. Seringkali dijalanan saya mendapati sekelompok orang yang
kebingungan mencari-cari jalan menuju ke suatu tempat. Kesasar sepertinya
adalah hal lazim disini. Meskipun pihak turisme Venesia sudah melakukan
tindakan efektif dengan memberikan tanda panah/penunjuk ke sentra-sentra
turisme yang terdapat disana, tapi tetap saja kesasar adalah menu umum para
turis disana.
Beberapa bangunan semisal gereja, monument
dan rumah masih berfungsi sama seperti berabad-abad yang lalu. Akan tetapi
sebagian telah berubah fungsi….ada rumah yang sudah berubah fungsi menjadi café, bar, restaurant, gallery
atau toko. Ada bangunan yang dulunya merupakan perkantoran, kini berubah fungsi
menjadi museum, seperti bekas kantor pos Venesia.
Saya tidak akan membahas obyek wisata di
Venesia satu persatu, karena obyek wisata itu bisa dibaca di situs-situs atau
buku turisme Venesia.
Berjalan-jalan di siang hari di musim semi
yang sejuk di Venesia adalah suatu hal yang sangat menyenangkan, meskipun
menurut teman saya, kota ini adalah kota empang (somehow betul juga). Belajar dari pengalaman kesasar seperti
tikus di dalam labirin saat tiba tadi siang, maka ketika kami berjalan kaki
keliling-keliling Venesia, benar-benar harus disiplin mengikuti tanda panah
penunjuk arah serta spot-spot penting untuk ditandai dan diingat (misalkan
patung atau gereja) untuk memudahkan kami mencari jalan pulang kembali ke
hotel. Pilihannya antara disiplin mengikuti jalur panah penunjuk dan menghapal
spot-spot tertentu atau kesasar berputar-putar digang-gang Venesia.
Berjalan di gang-gang dan lorong-lorong
dengan dinding-dinding tua yang dingin dan menjadi saksi sejarah berabad-abad
yang lalu sungguh merupakan pengalaman yang fantastis. Tidak jarang saya
mendapati lorong tua yang agak gelap dan kebetulan sepi tanpa adanya manusia di
sepanjang lorong itu…cocok sekali untuk tempat shooting film horor. Tapi cuek
sajalah, setan bule tidak seseram setan Indonesia kok !
Setiap berjumpa spot menarik saya selalu
berhenti, entah itu gallery, toko, gereja maupun monumen. Di beberapa spot suasana
sangat ramai karena banyak turis amprokan di tempat yang sama pada saat yang
bersamaan.
Di sepanjang gang di Venesia terdapat
banyak sekali gereja Katolik yang sudah berusia sangat tua, beberapa berarsitektur
gaya Gothic. Ketika melewati satu gereja, terdengar paduan suara sedang
berlatih lagu-lagu klasik dengan sopran yang melengking-lengking. Ok, gereja
tua bernuansa gelap dengan backsound suara melengking-lengking, tinggal tunggu
kelebatan-kelebatan yang lewat hehehehe.
Melewati gereja lainnya (yang saya lupa
namanya) saya mendapati poster besar di dekat pintu masuknya bahwa nanti malam
yang merupakan malam Minggu akan ada konser musik klasik dari sebuah orkestra
kamar dari Bologna. Teman saya tergoda untuk menonton pada awalnya, sampai saya
nyeletuk “beneran lu mau nonton konser sampai jam 10 malam ? pulang jalan kaki sendirian gelap-gelap di lorong-lorong begini
?”…dan dia mengurungkan niatnya !
Di tengah perjalanan, saya memperlambat
langkah kaki ketika melewati daerah perumahan yang luckily pada sore hari itu
penghuni-penghuninya sedang beraktifitas. Ada seorang wanita tua yang sedang
menyiram bunga di pekarangan mungilnya. Ada anak-anak kecil yang berdiri di
jendela di lantai atas rumahnya menonton para turis yang berlalu lalang di
depan rumah mereka. Ada seorang kakek yang sedang ngobrol duduk di teras
rumahnya dengan seorang lelaki yang lebih muda. Sementara selang beberapa rumah
dari sana, seorang laki-laki sedang mencuci vespa miliknya dan dari dalam
rumahnya sayup-sayup terdengar lagu Italy dari suara penyanyi lama Italy : Mina.
Melihat suasana seperti itu saya seperti berada di dunia yang lain. Dari
Jakarta yang penuh hingar bingar dikejar-kejar kehidupan kapitalis, tiba di
sebuah tempat yang tenang, damai, santai, bersahaja dan kekeluargaan. Life was
enjoyable there !
Setelah berjalan cukup lama, kami tiba di
sebuah area yang ramai, penuh dengan restoran, café dan bar serta toko-toko.
Disini juga terdapat jetty tempat gondola maupun boat berlabuh, naik dan
turunnya penumpang. Ada beberapa gondola sliweran dibawah jembatan membawa sepasang manusia
yang sedang asyik mesra-mesraan, termasuk ciuman pastinya. Tempat tersebut adalah Grand
Canal.
Setelah berjalan lebih jauh lagi, dan kaki
mulai pegal, akhirnya kami sampai di area paling populer dan tujuan utama
turis, yaitu St. Mark Square.
Sebelum berangkat ke Italy saya sudah
membaca bawah area ini adalah area dengan titik terendah di kota Venesia,
dimana ketika air laut pasang, beberapa bagian dari St. Mark Square akan
terendam. Ketika berada di pinggiran laut disini, saya memang merasakan bahwa
area ini sangat rendah, karena perbedaan ketinggian air laut dengan tempat
tanah dipijak hanya sekitar 1-2 jengkal saja. Apabila ketinggian air laut akan
naik karena global warming, diperkirakan area St. Mark Square inilah yang
pertama kali akan tenggelam. Sangat disayangkan sekali kalau area yang sangat
cantik dan kaya sejarah begini akan tenggelam secara perlahan-lahan suatu hari
nanti.
Keesokan paginya kami berangkat dengan
bergegas menuju ke stasiun kereta karena perjalanan akan dilanjutkan menuju
Milan. Pagi itu matahari sudah naik, tapi udara Venesia masih dingin dan belum
banyak orang beraktifitas. Kami berjalan kaki kembali melewati gang-gang dan menyeberang
jembatan sambil menyeret koper masing-masing. Oh ya, satu hal, beberapa
jembatan yang melintasi kanal-kanal di Venesia ini tidak berlantai datar
(lantainya berupa anak tangga), oleh karenanya kalau anda membawa koper besar
dan berat, siap-siap struggling mengangkat-angkat koper ketika melewati
sebagian jembatan tersebut.
Kami tiba di stasiun
kereta Venezia - Santa Lucia yang terletak di pinggiran water city Venesia 1
jam lebih awal dari jadual kereta. Saya lalu melihat papan jadual keberangkatan
dan tidak menemukan jadual kereta yang menuju ke Milan. Oh, mungkin jadualnya
belum muncul karena masih 1 jam lagi, maka diputuskan untuk pergi mencari
sarapan cepat terlebih dahulu. Selesai melahap dua buah croissant dan secangkir
kopi, kami berjalan santai kembali menuju papan jadual keberangkatan kereta,
tapi tetap tidak ada kereta dengan tujuan Milan. Mulai bingung, kenapa jadual
tidak muncul padahal waktu keberangkatan tinggal 30 menit lagi. Kebetulan ada
petugas “station services” yang menggunakan sepatu roda melewati kami. Kami segera
hentikan dia dan bertanya kenapa tidak ada jadual kereta yang ke Milan ? Dia
dengan cepat membawa kami ke petugas loket dan sontak saya baru sadar bahwa
stasiun yang tertulis di tiket adalah Venezia Mestre, bukan Venezia Santa Lucia.
Seketika darah rasanya turun ke kaki semuanya karena waktu tinggal 30 menit dan
kami harus ke stasiun satunya lagi yang entah berapa jauh dari sini.
Petugas loket yang untungnya berbahasa
Inggris dengan baik, menunjuk satu peron, menyuruh saya naik kereta yang sudah
stand by dan akan berangkat segera di peron itu, lalu turun di stasiun Mestre
dan cari peron untuk kereta yang menuju ke Milan. Instruksi yang sangat jelas.
Adegan selanjutnya seperti di film-film
action, berlari sekencang-kencangnya sambil mengangkat koper menuju peron yang
ditunjuk dan meloncat naik kereta yang sudah siap-siap berangkat. Orang-orang
di sekitar kami memandangi dengan wajah heran, ada dua orang asing berdiri
dengan napas tersengal-sengal basah kuyup oleh keringat. Padahal kereta itu
adalah commuter biasa yang aka nada setiap 15 menit sekali. Pyuuuhhhh…
Ketika tiba di stasiun Mestre, lagi-lagi kami
harus bergerak cepat mencari papan penunjuk peron kereta menuju Milan. Cepat
dan akurat adalah kata kunci, jangan sampai salah naik kereta ! Setelah tahu
nomor peron kereta, lagi-lagi kami menghambur lari sprint menuju kereta tujuan.
Masuk saja sembarang gerbong, yang penting terangkut dulu sama kereta itu.
Benar saja, baru saja kami duduk di kursi yang telah ditentukan, 1 menit
kemudian kereta bergerak pelan untuk melaju kencang menuju Milan.
Pelajaran dari pagi hari itu : perhatikan
dengan seksama semua informasi yang ada di dokumen perjalanan ! Jangan main
menyepelekan !
Tidak ada komentar:
Posting Komentar