"Three hours journey with magnificent scenery"
Kapok dengan pengalaman kocar kacir di perjalanan
dengan kereta Venesia – Milan sebelumnya, maka pagi itu kami mempersiapkan diri
dengan sebaik-baiknya supaya tidak terjadi kekacauan serupa atau malah
kekacauan lainnya. Nama stasiun benar-benar diperhatikan dengan seksama, tiba
lebih awal di stasiun dan memastikan nomor peron kereta.
Its gonna be a long journey, perjalanan
darat selama 3 jam lebih dengan kereta dari Milan menuju ke Zurich.
Meninggalkan pusat kota Milan, kereta mulai
melaju kencang dan di satu spot dari kejauhan saya melihat tail pesawat, aha ! airport
Malpensa nun disana. Karena keenakan diayun-diayun goyangan kereta plus udara
sejuk dari AC di kabin, maka jadilah saya terlelap (semoga tidak ngorok saat
itu). Sebetulnya saya sudah diwanti-wanti teman bahwa dalam perjalanan rute ini
haram hukumnya tidur, karena pemandangan alam yang terbentang sangat
menakjubkan di sepanjang jalannya.
Benar saja, ketika saya terbangun, kereta
melambat karena memasuki sebuah kota kecil yang diapit gunung-gunung dan danau.
Kota cantik itu bernama Lugano, kota paling selatan di Swiss yang penduduknya
berbahasa Italy.
Kota ini terlihat tenang dan damai. Dari
kejauhan tampak rumah-rumah (atau villa ?) yang dibangun dipinggir danau…jadi
pengin kesini lagi untuk menginap satu atau dua malam, pasti menyenangkan
sekali.
Kereta berhenti di stasiun Lugano, seorang
polisi dengan seragam berbendera Swiss naik ke kabin dan berjalan sambil
memperhatikan para penumpang kereta. Sepertinya dia sedang melakukan random
check perbatasan Swiss – Italy. Waktu itu, Swiss masih belum termasuk Schengen,
jadi saya berangkat dengan mengurus visa Swiss.
Beruntung saya ke Swiss disaat
visa Schengen belum berlaku, jadi saya punya kenang-kenangan visa Swiss di
paspor saya.
Karena saya adalah turis, saya bersiap-siap
dengan paspor ditangan saat petugas tersebut berjalan pelan-pelan di dalam
kabin, ternyata tidak seorangpun di dalam kabin yang diperiksa oleh petugas.
Lepas dari Lugano, pemandangan yang muncul
setelahnya sungguh-sungguh spektakular. Mulai dari padang rumput hijau dengan
beberapa sapi merumput, pedesaan dengan rumah-rumah kayu layaknya di lukisan,
lembah, jurang dan gunung-gunung berselimut es.
Dalam perjalanan, seorang petugas kereta
berkeliling menawarkan makanan dan minuman (tidak gratis tentunya). Ada banyak pilihan,
tapi lagi-lagi pilihan jatuh kepada sandwich !
Setelah puas dengan pemandangan spektakular
selama dua jam-an, kereta memasuki pinggiran kota Zurich. Masih juga dengan
pemandangan indah lainnya, berupa rumah-rumah apik di bukit-bukit dan pinggiran
danau.
Sekitar pukul 1 siang kereta sampai di
stasiun utama kota Zurich, yaitu Bahnhofstrasse.
Baru saja beberapa langkah keluar dari kereta saya mendapati kebenaran yang
diceritakan selama ini bahwa Swiss adalah negara yang tertata rapi dan bersih.
Hal itu tampak dari stasiun kereta ini, semuanya apik dan indah dipandang mata,
mulai dari loket tiket, toko-toko, loker bahkan sampai wc umum.
Pipis di Zurich mungkin bisa
jadi adalah pipis paling mahal di dunia, karena disini kita harus merogoh koin
setengah Euro sampai 1 Euro untuk sekali masuk wc.
Siang itu karena kebelet, saya
terpaksa mampir dulu ke wc umum di stasiun untuk melepas hajat kecil. Sedang
asyik-asyiknya melepaskan pipis, saya tersentak kaget ketika disebelah saya muncul
seorang wanita setengah baya, yang ternyata adalah petugas kebersihan wc.
Wanita tersebut memandang saya dengan pandangan aneh karena saya terkejut dia
datang. Mungkin dalam hati dia berpikir “biasa aja kaleeee”.
Siang itu wc umum tersebut
lumayan ramai, dan si wanita petugas kebersihan cuek saja membersihkan toilet
padahal banyak berdiri laki-laki sedang membuang hajat. Apakah dalam konteks
gender sebaliknya diperbolehkan ? maksudnya petugas kebersihan laki-laki
membersihkan wc wanita. Bakalan seru sepertinya !
Saya menuju ke Hotel Opera
Zurich dengan menumpang taxi, yang ternyata jaraknya dari stasiun bisa
ditempuh dengan berjalan kaki.
What a fool !
Bapak supir taxinya
berpenampilan sangar, keturunan Afrika, tinggi besar bertato, botak dan berkaca
mata hitam. Tapi kemudian surprisingly dia sangat ramah dan banyak tersenyum.
Tampilan benar-benar berbanding terbalik dengan isinya !
Siang hari itu cuaca sangat
tidak enak. Masih pertengahan Mei, tapi matahari bersinar sangat keras dan
silau, suhu di kota Zurich juga tidak terlalu dingin. Selain itu, udara sangat
kering. Saat baru tiba saya merasakan kulit tangan, kaki dan punggung
perih-perih seperti luka-luka. Saya membayangkan bahwa Seolah-olah lapisan
kulit ari saya sedang retak-retak karena keringnya udara siang itu. Kalau sudah
begitu, body lotion dengan tingkat kelembaban yang paling tinggi baru akan bisa
menolong.
Setelah beristirahat, sore
harinya kami menuju ke Bahnhofstrasse dengan berjalan kaki melewati daerah
perumahan yang sangat asri, perkantoran dan menyisir danau Zurich.
Bahnhofstrasse adalah daerah
utama di Zurich yang merupakan salah satu pusat bisnis kota Zurich. Jalan ini
tidak terlalu panjang, ramai oleh pejalan kaki dan tram yang tiap sebentar lalu
lalang. Diujung jalan ini terletak stasiun kereta utama kota Zurich yang
bernama sama dengan area ini, tempat kami tiba dari Milan siang tadi.
Di Bahnhofstrasse ini terdapat
perkantoran, bank-bank kelas dunia dengan layanan cabang private banking-nya
serta pertokoan. Area ini juga dikenal sebagai salah satu shopping square
termahal di dunia. Berbagai merek premium dunia tersebar disini dengan harga
yang kalau dirupiahkan berdigit 7 bahkan sampai 10.
Yang menarik dari Bahnhofstrasse
ini adalah sebuah toko coklat Teuscher. Mereka menjual coklat homemade mereka
atas resep dari pendiri toko : Dolf Teuscher. Coklat disini dijamin bebas bahan
kimia, bebas zat mencandu dan bebas bahan pengawet. Coklat yang dijual beraneka
rasa, warna, bentuk dan harga.
Air liur saya terbit ketika mencium
bau aroma kari India yang keluar dari sebuah café jalanan dadakan di pinggir
taman disana. Karena sudah enek berhari-hari dihajar sandwich, pasta dan
makanan-makanan tasteless lainnya, saya rindu nasi dan makanan berbumbu rempah.
Dan inilah jawaban kerinduan itu ! Saya membeli nasi briyani dengan vegetarian
curry. Saat itu rasanya kari tersebut adalah kari paling nikmat sedunia (saking
kepiginnya sama makanan berbumbu).
Sempat mampir ke sebuah toko CD dan
menemukan banyak sekali koleksi CD bergenre klasik dan jazz yang tergolong
langka dari musisi-musisi Eropa. Saya sudah gatal ingin membeli sekitar
delapan CD, tapi ketika menyadari
harga satuannya yang kalau dirupiahkan bisa seharga Rp. 250 ribu, akhirnya
kedelapan CD itu saya sortir lagi dan hanya membeli dua yang betul-betul top on
the list.
Baru keluar dari toko CD, suara serine
ambulan sempat terdengar keras, rupanya polisi dan petugas paramedis sedang
mengevakuasi seorang gelandangan tua yang sedang mabuk dan mulai ngawur-ngawur
tindak tanduknya.
Jam masih menunjukkan pukul 6 kurang, dan
matahari spring masih bersinar terang di luar, tapi toko-toko mulai tutup. Nah,
kalau terbiasa dengan hingar bingar kehidupan Asia, dimana mall buka sampai jam
10 malam, momen seperti ini akan bikin suntuk karena kehidupan kota berakhir
jam 6 sore. Setelah itu jalan ini menjadi senyap, kecuali tram yang tetap lalu
lalang sampai jam 10 malam. Kehidupan malam di Zurich hanyalah bar, club atau
hiburan dewasa !
Karena nggak tahu mau ngapain, akhirnya
kami menanti sunset jam 7.30 dengan duduk-duduk di tepian danau Zurich
bersamaan dengan banyak penduduk Zurich maupun turis-turis lainnya. Sesekali
terdengar suara pesawat menderu take-off dari airport Zurich-Kloten dan
melintas tinggi diatas kota.
Malam itu benar-benar mati gaya ! Karena
malam itu bukan malam weekend, jadi kehidupan malam disana nyaris tidak ada,
kecuali minum-minum di bar yang pastinya juga sepi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar