Selasa, 22 Oktober 2013

Ketika Sebuah Nyawa Melayang di Oxford Street [2008]

“I always love London, except this time”

London selalu memberikan banyak pengalaman menarik dalam hidup saya, tapi bukan pengalaman seperti yang saya alami pada musim panas tahun 2008, disaat saya sedang menghabiskan hari-hari terakhir liburan saya disana.

Suatu siang, ketika waktu menunjukkan pukul 2 waktu setempat, saya baru saja keluar dari sebuah restoran Asia di Oxford Street dan berjalan pelan menyusuri pertokoan di jalan yang sama. I need cafeine badly, oleh karenanya saya memutuskan untuk jalan menuju café Starbucks yang terletak sekitar beberapa puluh meter dari restoran tersebut.

Baru saja berjalan pelan beberapa meter, saya dikejutkan oleh suasana gaduh disertai suara teriakan histeris seorang wanita. Ada lelaki muda kulit hitam berlari kencang melewati saya dan terus berlari tunggang langgang menjauh, sebagian laki-laki lain berteriak-teriak dengan kerasnya. Orang yang lain juga ikut  berteriak-teriak sambil menunjuk ke arah orang yang lari kencang tadi. Kejadian tersebut terjadi hanya sekelebat mata dan dalam hitungan detik saja. Saat itu saya blank, berdiri kaku tanpa tahu apa yang sedang terjadi. Tapi dada saya bergemuruh kencang sekali karena saya yakin ”ada sesuatu yang tidak beres”.

Sedetik kemudian ketika otak saya berhasil merangkum puzzle atraksi keras yang terjadi sangat cepat tadi, saya mulai berasumsi bahwa lelaki yang berlari tunggang langgang tadi kemungkinan  adalah “pencopet” dan suara wanita yang melengking histeris diawal tadi adalah korbannya. Sementara orang-orang yang berteriak belakangan adalah saksi yang ada di sekitar korban.

Dalam linglung dan deg-degan saya mendapati keadaan disekitar saya justru semakin gaduh.

Mata saya terpaku menyaksikan seorang gadis remaja Asia Timur (perkiraan adalah bangsa Korea) yang duduk gemetar di trotoar jalan dengan air mata tangis yang deras. Disebelahnya duduk Ibunya yang memeluk si gadis erat-erat agar tubuhnya tidak gemetar.

Saya sempat berpikir, apakah gadis ini yang menjadi korban ? Tapi jawabannya ternyata tidak,karena tidak jauh dari tempat si gadis tadi duduk, saya mendapati ada kerumunan orang-orang yang membuat lingkaran mengerumuni sesuatu. Sebagian dari mereka duduk di lantai, ada yang berlarian kesana kemari, ada yang menelfon dari telfon genggamnya dengan suara kencang bernada cemas.  Satu dua polisi mulai terlihat di kerumunan. Intuisi saya berkata bahwa ini tidak sekedar pencopetan, ini sesuatu yang lebih buruk.

Rasa ingin tahu saya mendorong langkah saya untuk mendekati kerumunan dan memperhatikan  dengan seksama ada apa ditengah kerumunan orang tersebut. Ternyata disana tergeletak seorang lelaki besar berkulit hitam bersimbah darah. Benar ternyata yang terjadi adalah hal yang lebih buruk dari pada pencopetan, karena ini adalah pembunuhan !

Terus terang mental saya tidak cukup kuat untuk menyaksikan kejadian mengerikan itu, dan saya memutuskan untuk melangkah menjauh meninggalkan kerumunan.

Hanya selang beberapa langkah saya berjalan, suara serine ambulans terdengar meraung-raung tiba TKP. Lelaki yang menjadi korban segera diangkat dan dibawa pergi ke rumah sakit. Petugas paramedis bekerja dengan sangat sigap dan cekatan dalam melakukan evakuasi. Persis seperti di film-film yang sering kita tonton.

Diantara kerumunan, beberapa orang tampak sedang diinterogasi oleh polisi. Sementara polisi yang lain menyisir lokasi TKP dan mencatat beberapa hal. Gadis remaja Asia Timur yang menangis-nangis tadi juga sedang ditanya-tanya oleh polisi. Kalau merunut kejadian yang saya alami tadi, bisa jadi si gadis adalah saksi utama yang melihat langsung kejadian mengerikan tersebut. Dan suara teriakan histeris perempuan itu adalah suara dia.

Saya tidak tahu motif apa dibalik pembunuhan itu dan tidak berusaha mencari tahu dengan bertanya kepada orang-orang disekitar.

Oxford Street yang memang tidak begitu lebar mendadak menjadi macet total karena jalanan diblokade polisi untuk evakuasi korban dan lalu lalang kendaraan polisi.

Meskipun saya tidak melihat secara langsung moment pembunuhan, akan tetapi kejadian tersebut  membuat saya syok. Pertama kali dalam hidup, saya berada sedemikian dekat dengan titik tempat terjadinya suatu pembunuhan. Saya terus berjalan menjauh dari TKP dengan pikiran dan perasaan yang kacau.

Untuk menenangkan diri, saya kemudian masuk ke toko buku Borders yang berada di dekat TKP. Di toko ini saya naik ke lantai 3, tempat dimana café Starbucks berada. Sambil menyeruput secangkir Hot Caramel Macchiato, saya mengamati keadaan dibawah sana dari jendela café. Dibawah terlihat keadaan masih ramai, tapi polisi sudah memasang pita kuning tanda pemblokiran TKP dan mengamankan area tempat kerumunan orang tadi. Oxford Street masih sepi karena mobil dilarang berlalu lalang sampai polisi selesai melakukan pengolahan TKP.

Hanya sekitar 15 menit saja saya berada di Starbucks, karena terdengar pengumuman dari pengeras suara bahwa pertokoan (toko buku Borders serta café Starbucks) harus segera dikosongkan dan ditutup sementara untuk kepentingan penyelidikan polisi. Semua pengunjung diminta untuk meninggalkan pertokoan dengan melewati pemeriksaan polisi di pintu keluar.

Di pintu keluar polisi memeriksa secara random pengunjung toko buku dan café yang keluar. Sepertinya polisi sedang menyisir kalau-kalau pelaku menyelinap masuk ke pertokoan.

Di luar pertokoan, suasana sangat ramai karena ternyata semua pertokoan didekat TKP ditutup paksa oleh pihak kepolisian untuk kepentingan penyelidikan.

Saya berjalan menjauhi lokasi kejadian sambil sesekali mengabadikan keadaan di TKP dengan kamera saya. Saya memutuskan untuk kembali ke hotel saja karena mood saya sudah rusak oleh kejadian tersebut. Rencana untuk pergi mengunjungi rumah teman lama di pinggiran kota London di malam hari itu, saya batalkan. Saya memilih untuk istirahat saja di hotel.









Keesokan paginya saya sudah berada di Heathrow Airport untuk pulang kembali ke Jakarta dengan menumpang penerbangan Singapore Airlines siang harinya. Ketika sedang membaca koran di waiting lounge saya terpaku pada sebuah berita tentang tewasnya seorang pria karena tikaman pisau di Oxford Street kemarin siang. Lelaki yang kemarin saya lihat bergelimang darah akhirnya menghembuskan nafasnya di rumah sakit.

Berdasarkan berita di koran, kronologis kejadian adalah adanya cekcok antara seorang remaja kulit hitam dengan petugas keamanan sebuah toko di Oxford Street (yang juga berkulit hitam) karena si remaja tersebut membuat kegaduhan didalam toko. Si remaja diusir keluar toko oleh petugas keamanan. Ia marah dan kemudian kemudian menusukkan pisau lipatnya tepat ke dada si petugas. Secepat kilat emosi meledak, menepikan rasa dan logika dan seketika itu pula setan membisikkan dorongannya yang berujung pada hilangnya sebuah nyawa sia-sia…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar