Ide awalnya adalah ingin ke Mesir.
Namun ketika sedang menyusun itinerary, muncul ide untuk sekalian ke Maroko. Maroko
muncul dalam ide perjalanan saya karena simply tanpa perlu visa.
Rute perjalanan saya adalah dari
Jakarta menuju Casablanca via Doha dengan menggunakan Qatar Airways. Dari
Casablanca saya menuju ke Marrakech menggunakan penerbangan domestik Royal Air
Maroc. Selanjutnya saya terbang dari Casablanca menuju ke Kairo dengan
menggunakan pesawat Egypt Air. Petualangan di Cairo akan dijelaskan dalam
artikel terpisah tentang Mesir.
Qatar Airways dipilih karena harga
tiketnya yang murah sekali saat itu. Saya dapat tiket promo dengan rute
Jakarta-Casablanca, Cairo-Jakarta dengan harga hanya USD 750. Selain murah,
Qatar Airways sudah punya reputasi yang baik dalam hal servis sebagai salah
satu dari beberapa “5 star airlines” di dunia. Bandingkan dengan harga tiket
untuk rute yang sama dengan Turkish Airlines USD 1250 dan Lufthansa USD 1800 !
Awalnya saya enggan memilih naik
Qatar Airways atau airlines Timur Tengah lainnya seperti Emirates atau Etihad, karena jadual
transfer di kota-kota HUB mereka hampir dipastikan sekitar jam 2 dinihari waktu
Indonesia Barat atau sekitar jam 10 malam waktu setempat. Bayangkan disaat mata masih rasanya masih
merem seperti dilem kita terpaksa harus bangun, turun dari pesawat dan
luntang-lantung di airport menunggu penerbangan lanjutan. Tapi berhubung harga
tiketnya jauh lebih murah, saya tutup mata saja deh dengan semua kekurangannya
!

Tepat jam 5.10 sore saya sampai di
Terminal 2D dan langsung menghambur lari sprint ke Check-In Counter (sialnya
lupa e-check in pagi harinya). Ada beberapa penumpang lainnya juga
berlari-larian masuk ke Check-In Hall karena terlambat kejebak macet tadi. Untunglah
proses check-in, pengurusan bebas fiskal (bagi pemegang NPWP saat itu) dan
pemeriksaan imigrasi berjalan lancar.
Ini adalah pengalaman pertama saya
terbang dengan Qatar Airways untuk penerbangan jarak jauh. Secara umum cukup
baik servisnya. Pelayanan para awak kabin lumayan baik, meskipun buat saya masih kalah dari airlines Asia sekelas Singapore Airlines, Cathay Pacific maupun ANA. Makanan yang dihidangkan cukup baik.
Setelah terbang selama 8 jam,
sekitar jam 2 dinihari waktu Indonesia Barat (atau jam 10 malam waktu Doha)
pesawat mendarat dengan mulus di Doha International Airport. Kualitas aspal airport
di negara kaya minyak & gas ini memang beda jauh dengan kualitas aspal di
Cengkareng ! Di Doha pesawat berjalan dengan mulus karena aspalnya sangat baik
kualitasnya.
Saya harus menunggu 3 jam di Doha Airport untuk
transfer dan ganti pesawat menuju ke Casablanca. Suasana departure hall airport
Doha sangat ramai malam itu, terutama banyak sekali rombongan para pekerja
kasar yang akan bepergian ke berbagai tempat.
Ketika sedang berjalan mencari
kursi yang nyaman untuk duduk, saya ditegur oleh seorang petugas airport. Laki-laki
Caucasian itu bertanya “are you Indonesian ?“ Sesaat setelah saya jawab yes,
dia meminta tolong untuk membantu menterjemahkan instruksi dia kepada dua orang
wanita TKI asal Indonesia yang tampak sangat kebingungan dan tersesat.
Rupanya penerbangan mereka menuju
ke Jakarta baru keesokan pagi jam 8.30 dan mereka bingung. Saya menterjemahkan
instruksi si petugas kepada kedua wanita tersebut, intinya mereka bisa tidur,
entah di kursi luar maupun di kursi quiet room. Besok pagi, mereka harus
memastikan diri mereka berada di pintu gate pesawat ke Jakarta paling lambat
jam 7. Kedua wanita tersebut mengangguk dan pergi menuju ke quiet room. Semoga
mereka tidak ketinggalan pesawat !
Satu hal yang kurang dari
perjalanan ini adalah terminal Doha Airport yang kurang nyaman. Di jam-jam
tertentu departure hall-nya sangat ramai, apalagi kebanyakan adalah para
pekerja kasar, jadinya urusan
kebersihan menjadi isu utama. Selain itu, di airport ini tidak ada airport
hotel, sehingga kalau transit malam-malam lebih dari 6 jam ya wassalam saja,
kudu tidur di kursi semalaman ! Pemerintah Qatar sedang membangun terminal
airport baru, di kompleks yang sama, yang kabarnya akan jadi airport termodern
dan termegah di dunia.
Jam 01.30 waktu Doha (sekitar jam
05.30 waktu Indonesia Barat) saya boarding ke penerbangan selanjutnya menuju ke
Casablanca via Tripoli. Pesawat kira-kira terisi 75% dari load factor, sebagian
adalah para pekerja asal Asia Selatan dan Afrika.
Setelah dikasih makan dua kali dalam
penerbangan Jakarta – Doha sebelumnya, saat itu setelah take-off dari Doha,
para awak kabin membagikan makan berat kepada semua penumpang. Opsi makan jam
segitu tidak menarik buat saya, tidur lebih menyenangkan dari pada makan melulu
di pesawat.
Tidur saya kurang nyenyak
dipesawat saat itu. Mungkin karena tubuh saya masih mengikuti jam Jakarta
dimana sudah waktunya pagi hari. Mungkin juga karena suara mesin pesawat yang dekat
sekali dengan kursi saya. Sialnya, disaat saya baru mulai bisa tidur nyenyak, malah
dibangunkan pramugari untuk siap-siap landing di Tripoli. Saat itu sekitar
pukul 05.00 pagi waktu Tripoli.
Airport Tripoli ternyata tidak
begitu besar dan masih gelap Subuh itu. Hanya penumpang tujuan Tripoli yang
diperbolehkan turun dari pesawat. Sisanya termasuk saya cuma bisa duduk bengong
di pesawat sambil mengambil minuman yang bolak balik dibawa para awak kabin.
Dari pengeras suara di kabin
pesawat diumumkan bahwa penumpang dengan tujuan Tripoli harus segera turun
disini. Pengumuman dilakukan dalam bahasa Inggris dan Arab. Tapi hanya sedikit penumpang
yang berdiri dan berkemas untuk turun. Tampaknya banyak yang tidak mengerti
instruksi tersebut, khususnya para pekerja beretnis Asia Selatan dan Afrika. Para
awak kabin terpaksa harus bekerja ekstra Subuh itu untuk memastikan penumpang
tujuan Tripoli terusir keluar kabin pesawat. Seorang Pramugara beretnis Asia
Selatan berteriak-teriak dalam bahasa Urdu, yang hampir pasti artinya
“penumpang dengan tujuan Tripoli turun disini !”. Itupun ternyata tidak cukup. Awak
kabin lainnya harus mengecek Boarding Pass para pekerja itu satu persatu untuk
memastikan tujuan penerbangan mereka. Alhasil ternyata semua pekerja etnis Asia
Selatan dan Afrika itu turun di Tripoli ! Penumpang yang tersisa hanya tinggal
sepertiganya saja.
Di airport Tripoli banyak pesawat
jet pribadi parkir. Hmmmm sepertinya itu adalah pesawat pribadi keluarga dan
kroni-kroni Moammar Khadafi.
Ketika pesawat kembali terbang
untuk meneruskan perjalanan ke Casablanca yang cuma tersisa 2 jam lagi, saya sudah
tidak bisa tidur lagi karena para awak kabin sudah sibuk menghidangkan sarapan. Ada dua pilihan menu pada pagi itu, menu sarapan Arabian atau menu Western, dan saya pilih menu yang kedua.
Sekitar jam 08 pagi waktu
Casablanca (atau sekitar jam 15 waktu Jakarta) pesawat mendarat dengan mulus
di Mohammed V Airport – Casablanca, disambut cuaca yang sangat cerah dan udara
yang sejuk sekali. Sekitar 20 jam sudah saya diperjalanan ! Salah satu perjalanan
terpanjang yang pernah saya lakukan.
Airportnya mengingatkan saya sama
bandara Halim Perdana Kusumah, karena sama-sama kuno, meskipun disini beberapa
bagian telah direnovasi. Pengumuman-pengumuman di airport dilakukan dalam tiga
bahasa : Arab, Perancis dan Inggris.
Maroko memang bebas visa ! Kita
bisa melenggang bebas dengan hanya bermodalkan paspor saja. Tapi setelah
imigrasi selesai, neraka sesungguhnya ada di pemeriksaan custom clearance (bea
cukai) karena semua penumpang harus melewati pemeriksaan manual dengan membuka
koper mereka dan diperiksa dengan teliti isinya.
Sampai giliran saya, saya
menghadapi petugas custom seorang wanita muda. Koper saya diperiksa dengan
detil sampai dikorek-korek ke sela-sela kantong di dalamnya. Saya diminta
menjelaskan beberapa benda yang mencurigakan untuk dia. “what is this ?”katanya
ketika melihat memory card kamera saya. Lalu “what is this” ketika melihat filter
UV untuk lensa kamera saya. Mungkin dia pikir kaca filter UV itu sejenis tempat
alas menghirup drugs kali ya ? hahahaha. Bisa dibayangkan luapan antriannya
seperti apa dan berapa lama.
Rencananya saya akan menuju ke
Marrakech keesokan paginya dengan menumpang pesawat milik maskapai Royal Air
Maroc. Awalnya ketika masih di Jakarta, saya mencoba membeli tiket domestik
Casablanca – Marrakech secara online dari website Royal Air Maroc. Tapi
transaksi selalu gagal dan kartu kredit saya ditolak, sepertinya mereka belum
melayani kartu kredit dari Indonesia. Jadi pagi itu setelah urusan custom
selesai, saya harus naik ke lantai dua tempat kantor maskapai penerbangan dan
membeli tiket domestik langsung ke counter ticketing Royal Air Maroc. Untung
masih ada penerbangan yang available.
Dari referensi yang saya baca,
menukar uang asing dengan uang Dirham Maroko kabarnya tidak dapat dilakukan
disembarang tempat dan counter money changer tidak selalu ada dimana-mana, maka
saya langsung menukarkan uang di airport.
Dari airport saya menuju ke kota
Casablanca dengan menggunakan kereta api, yang stasiunnya berada di lantai
dasar dari airport. Keretanya mungkin sekelas dengan kereta di Italy, cukup
baik dan terawat meskipun ada sedikit sampah di dalamnya. Harga tiketnya sangat
murah, sekitar MAD 40 (sekitar 40 ribu rupiah). Bandingkan dengan naik taxi
dengan tarif MAD 350 (sekitar 350 ribu). Perjalanan dengan kereta ini ditempuh dengan waktu sekitar 30
menit.
Kereta berhenti di stasiun Casablanca Voyageurs di pusat kota Casablanca. Dari stasiun ini saya naik petit taxi menuju ke hotel Barcelo Casablanca. Oh ya, Di Casablanca terdapat dua jenis taxi : Petit Taxi, berupa sedan kecil butut berwarna merah bikinan Fiat, hanya diperbolehkan untuk rute-rute di dalam kota, serta Grande Taxi yang rata-rata mobil Mercy tua. Grande taxi diperbolehkan untuk membawa penumpang ke dan dari Bandara, bahkan ke luar kota sekalipun, seperti ke Rabat (ibukota negara Maroko) yang berjarak tempuh hampir 1 jam dari Casablanca.
Tanya dunk, untuk Morocco kan bebas visa, tapi apakah di Doha diperlukan visa transit? Jika iya, bisa diurus dari Indonesia atau on arrival gitu?
BalasHapusAku ingin ke oujda
BalasHapus