Sejak malam sebelumnya kami
telah memesan mobil dari hotel untuk mengantar kami ke airport jam 8 pagi,
tetapi kami diberitahu pihak hotel bahwa bus akan tersedia jam 7.30. Mau tidak
mau kami menyesuaikan diri dengan jadual bus dari hotel, sarapan lebih awal jam
6.30 pagi.
Mobil yang akan membawa kami adalah minibus yang sederhana (baca : jelek),
mungkin lebih jelek daripada minibus yang mengangkut penumpang di pedalaman
Sumatera sana. Minibus ini ternyata milik Nepal Tourism Board, bukan milik
hotel. Di dindingnya terdapat spanduk hijau besar bertuliskan “TOURIST ONLY”
dalam warna putih.
Isi minibus tersebut sudah padat
sekali, tapi kami tetap diminta masuk kedalamnya. Dan ternyata kami harus duduk
di bangku-bangku cadangan, yang terbuat dari bangku kayu, yang diselipkan ditengah/di
gang antara kursi yang ada. This is the real journey.
Bayangkan perjalanan sekitar 25
menit ke airport dengan duduk di bangku kayu, tanpa tempat sandaran punggung
dan bercampur aduk sangat padat dengan turis-turis lainnya. Untung saja tidak
ada penumpang yang menyebarkan aroma yang “menyegarkan” di pagi itu.
Perjalanan menuju ke airport
awalnya lancar, tapi ketika minibus mulai mendekati pusat kota, perjalanan
mulai tersendat karena ternyata massa telah berkumpul di beberapa titik di
pusat kota. Luar biasa ramai, padahal waktu baru menunjukkan jam 7.45 pagi.
Minibus berjalan agak tersendat-sendat karena banyak sekali demonstran yang
duduk-duduk di tepi jalan atau memblokade jalanan. Di beberapa titik, pemimpin-pemimpin
mereka mulai melakukan orasi dengan modal pengeras suara seadanya. Di beberapa
area terlihat beberapa demonstran lelaki membawa kayu, tongkat, batu bahkan
parang. Nah, ini mau demo atau mau membuat kerusuhan ?
Di dalam minibus ada turis yang berasal dari India, Inggris, Perancis dan
tentunya kami, Indonesia. Suasana di dalam minibus hening dan tegang. Sebagian
besar penumpang diam. Ada beberapa orang yang berbisik-bisik dalam bahasa
mereka dengan suara yang sangat pelan. Seorang Ibu setengah baya asal Inggris bernyanyi-nyanyi
kecil, yang sebetulnya lirik lagunya adalah ungkapan stress dan kekhawatirannya
melihat kerumunan massa tersebut. “oh, my.....he’s down on the street..” salah
satu lirik yang dia nyanyikan, nyaris tanpa notasi, ketika melihat banyak sekali
orang2 duduk seenaknya di jalanan.
Saya tidak berani memotret kerumunan massa tersebut, khawatir kalau ada yang
marah dan melempar kaca mobil. Kamera sepenuhnya tersimpan rapi di dalam tas.
Mobil tumpangan kami tidak
disentuh sama sekali oleh para demonstran karena terdapat tulisan “TOURIST
ONLY”, dan di dalam mobil memang tampak beberapa penumpang ras Caucasian.
Kerumunan massa paling banyak berada di sekitar lokasi yang dahulunya adalah
Istana Raja Nepal. Para
demonstran, dengan segala atribut kekerasannya, lengkap dengan bendera merah
Palu-Arit symbol kelompok komunis Maois, berhadap-hadapan langsung dengan
blokade Polisi, yang sebagian adalah Polisi Wanita. Memecahkan ketegangan, saya
becanda kepada teman saya, “beli bendera palu arit itu dimana ya ? kayaknya
bagus juga tuh untuk kenang-kenangan”
Disepanjang jalan di dekat
airport, kami melihat banyak sekali calon penumpang (terutama penduduk lokal)
yang berjalan kaki menyeret koper mereka menuju ke airport. Banyak pula
becak-becak orang maupun becak barang mengangkut calon penumpang menuju ke airport.
Dengan keadaan yang super
lengang, hanya ada manusia, saya tidak bisa membayangkan bagaimana keadaannya
disaat normal, pasti penuh dengan mobil, becak, gerobak, dan lain-lain.
Kami semua di drop di gedung terminal
internasional. Ternyata gedung terminal domestik terpisah dari terminal internasional
dan kami harus berjalan kaki sekitar setengah kilo untuk menuju ke terminal domestik.
Ketika tiba di terminal
domestik, kami kaget luar biasa karena mendapati bangunan yang tua, gelap,
lusuh dan kotor. Dinding bangunan terminalnya sudah kusam dan cat di beberapa
bagian sudah mengelupas. Sebagai pembanding, terminal bus pulo gadung di era
80an saja masih lebih bersih dari pada terminal ini.
Suasana didalamnya penuh hiruk
pikuk oleh turis asing maupun lokal. Banyak sekali turis Caucasian dan Jepang.
Dari bahasa tubuh mereka, kami menangkap sinyal bahwa kondisi mereka sama saja
dengan kami, melarikan diri dari kota Kathmandu, sebelum terjebak ke dalam
kekacauan massal.
Toilet di terminal ini luar
biasa nasty ! Salah satu toilet paling nasty yang pernah saya masuki. Kotor dan
bau pesing luar biasa. Setelah saya perhatikan perilaku orang-orang yang keluar
masuk toilet, saya jadi tahu
kenapa toiletnya sampai sebegini jorok. Orang-orang disana jarang sekali
memflush/menyiram toilet setelah buang air. Mereka main ngeloyor pergi setelah
buang air kecil. Luar Biasa !!!
Untung saya tidak kebelet buang
air besar pagi itu, bisa cilaka dua belas tuh !
Ketika saya melakukan check-in
di counter check-in Guna Airways, saya ditolak karena harus membayar airport
tax terlebih dahulu. Rupanya di pojokan terdapat counter sebuah Bank disana, dimana
seluruh penumpang harus membayar airport tax sebesar 170 Rupee (kira-kira Rp.
22.000,-) baru kemudian boleh melakukan check-in.
Sebelum memasuki ruang tunggu,
kami harus melewati pemeriksaan fisik. Kalau di negara lain pemeriksaan
dilakukan dengan mesin x-ray, disini dilakukan secara manual memeriksa tas
bawaan dan meraba-raba sekujur tubuh. Maka dari itu pintu pemeriksaan terbagi
dua, sesuai dengan jenis kelamin penumpang. Penumpang wanita diperiksa oleh
petugas wanita, demikian pula sebaliknya.
Ruang tunggunya masih sama
keadaannya dengan departure hall di depan tadi, meskipun sedikit agak bersih.
Ditengah ruang tunggu terdapat sebuah wastafel yang sudah agak jebol, dengan
air minum galon yang tersedia
secara gratis. Seorang wanita kemudian mendekati wastafel itu dan mencuci
piring bekas makannya di wastafel tersebut.
Kami agak lost karena pengumuman
penumpang disini ini sangat tidak konsisten. Terkadang ada suara pengumuman
bahwa penumpang penerbangan A dipersilahkan boarding, dalam bahasa Nepal dan
Inggris yang tidak jelas pengucapannya.
Pengumumanpun lebih tepat seperti di
terminal bus, karena petugasnya berteriak-teriak menyebutkan nama dan nomor
penerbangan di speaker yang sudah tidak berfungsi dengan baik. Tapi pengumuman
tersebut tidak selalu ada. Tau-tau kami melihat serombongan orang sudah berdiri
dan antri keluar terminal menuju bus yang akan membawa mereka ke pesawat.
Sumpah kami terbengong-bengong.
Melihat keadaan begitu, maka
kami mencari akal dengan bertanya kepada orang yang boarding passnya berlogo
dan bertujuan sama dengan kami dan duduk didekat mereka, supaya tidak
ketinggalan pesawat.
Kami semua kemudian naik ke dalam minibus yang akan membawa kami ke pesawat.
Namun baru berjalan beberapa belas meter, minibus berhenti. Lama juga
berhentinya, lebih dari 10 menit. Minibus tersebut tanpa AC, tapi untungnya udara
sejuk, sehingga kami tidak kegerahan.
Kami baru tahu kemudian bahwa
bus tidak boleh jalan karena akan ada pesawat yang akan lewat. Ternyata
beberapa menit kemudian sebuah benda raksasa berjalan pelan melintas sangat
dekat dengan minibus ini, sebuah pesawat Airbus A330-200 Qatar Airways yang
akan terbang menuju ke Doha. Saking dekatnya posisi minibus dan pesawat, dengan
sedikit menzoom-in lensa kamera saya, saya bisa melihat jelas Pilot di dalam
cockpit pesawat tersebut. Apakah ini tidak berpotensi menyebabkan kecelakaan
???
Pesawat yang membawa kami menuju
Pokhara adalah pesawat baling-baling berjenis, Beechcraft. Dan ternyata
penerbangan ini memiliki satu orang pramugari yang bertugas di kabin siang itu.
Setelah pintu pesawat ditutup,
pramugari membagikan permen dan penutup telinga (berupa kapas) kepada para
penumpang. Bayangkan betapa berisiknya mesin pesawat itu, sampai-sampai
disediakan kapas untuk menutup telinga.
Lagi-lagi saya
terbengong-bengong karena sama sekali tidak ada safety instruction di dalam
pesawat. Tau-tau pesawat jalan saja ke runway dan terbang begitu saja tanpa ada
pengumuman apa-apa, baik dari Pilot maupun Pramugari. What a flight !
Penerbangan seru, beberapa kali
pesawat bumpy di udara, sementara dibawah sana, sejauh mata memandang adalah
gunung-gunung dengan hutan yang sangat lebat.
Setelah terbang 30 menit,
pesawat mendarat di airport di Pokhara. Airportnya sangat kecil, tapi lebih
rapi dan lebih bersih dari pada airport Kathmandu. Diluar pagar airport, para
penjual dan penjemput penumpang ramai menjemput sanak saudara mereka. Melihat
banyaknya wanita yang masih berbaju tradisional, saya merasakan suasana yang
sangat berbeda. Mungkin seperti suasana di Kabupaten di Indonesia di awal tahun
80an.
Keluar dari airport, kami
kembali mendapati kota mati. Tidak ada kendaraan sama sekali. Yang ada hanya
orang berjalan kaki kesana kemari, tentara yang berjaga-jaga di pojokan jalan
dan becak-becak. Beberapa penumpang yang membawa barang yang banyak menyewa
gerobak barang untuk membawa barang mereka, sementara mereka berjalan kaki bersama
dengan becak tersebut.
Berbekal peta yang kami bawa,
kami berjalan kaki dari airport menuju ke hotel tempat kami menginap. Meskipun kaki
mulai pegal karena berjalan kaki terus, tapi hati masih senang karena suasana
dan pemandangan yang dilihat sangat berbeda.
Kami menginap di Fish Tail Lodge
Hotel, sebuah hotel tua yang sangat tenang dan asri. Hotel ini terletak
diantara danau Fewa didepan dan bukit dengan hutan yang lebat di belakangnya.
Untuk menuju ke hotel, kami harus menyeberangi danau terlebih dahulu. Tamu
hotel sebagian besar adalah tamu berbangsa Caucasian dan Jepang.
Ketika check-in di hotel ini,
kami baru tahu bahwa hotel ini pernah dikunjungi oleh tamu-tamu VIP dari
berbagai negara, seperti Pangeran Charles, Pangeran Akihito, dan lain-lain.
Suasana di hotel ini betul-betul
merelaks-kan pikiran. Sejauh mata memandang, yang tampak hanyalah gunung-gunung
hijau, dengan beberapa puncak Anapurna yang bersalju di latar belakang, danau
yang tenang dan hutan-hutan yang asri di belakang hotel. Di salah satu ruangan
di hotel ini tampak sedang berlangsung kelas Yoga untuk tamu hotel.
Suasana kota Pokhara memang
sedikit lebih laidback, dengan nuansa pedesaan tradisional yang lebih kental.
Penduduknya pun lebih ramah dan hangat dibandingkan penduduk Kathmandu.
Meskipun suasana hotel yang
sangat menentramkan hati, tapi kami tetap saja suntuk berlama-lama di hotel. Akan
tetapi pilihannya adalah berjalan kaki, karena semua kendaraan tidak ada yang
jalan. Beruntung kami mendapatkan seorang tour guide, pria lokal dari Pokhara,
yang berwajah Mongoloid, yang bersedia mengantar kami keliling-keliling
beberapa obyek wisata di Pokhara dengan berjalan kaki.
Tujuan utama kami adalah Bindhyabasini
Temple, yang ternyata jaraknya jauh sekali dari hotel.
Dua kilometer pertama berhasil
ditempuh dengan jalan kaki tegap, kilometer selanjutnya mulai dijalani dengan
terseok-seok, mungkin karena akumulasi dari kepenatan jalan kaki sehari
sebelumnya di Kathmandu. Beberapa kali kami meminta time-out dengan
duduk-duduk, minum, ngobrol dan mengamati penduduk di sekitar. Sementara si
tour guide tampak tetap segar bugar tanpa kelelahan. Pastinya rute ini tidak
ada apa-apanya buat dia, karena biasanya dia menjadi tour guide rute trekking
di kaki gunung Anapurna.
Rasa penat sedikit terobati
karena situasi yang kami lihat merupakan hal yang baru pertama kali dilihat
seumur hidup. Pria dan wanita dewasa memakai pakaian tradisional di banyak
tempat, jalanan kosong yang dipakai untuk main cricket oleh anak-anak, para
ibu-ibu berjalan bersama-sama dengan pakaian warna warni menyala, orang
bersembahyang di kuil kecil di pojokan jalan, dan lain-lain.
Rasa penat itu sirna seketika
ketika kami memasuki wilayah yang merupakan kota kuno Pokhara. Disini bangunan-bangunan
tua berwarna merah bata masih berdiri kokoh. Sebagian tampak seperti balai
desa, beberapa lagi tampak seperti rumah besar keluarga. Beberapa bangunan
memiliki kayu ukiran yang kalau dilihat dari kondisinya pasti sudah sangat tua.
Dibeberapa bagian kota kuno tampak kuil-kuil kecil tempat sembahyang individu.
Entah kenapa, saya merasa ada kemiripan dengan Bali !
Suasana di kota kuno ini sangat
menarik. Para wanita penjual sayuran sliweran disana sini menjajakan jualannya.
Mereka berpakaian tradisional dengan dominasi warna merah serta keranjang besar
tempat jualan yang diikatkan di kepala.
Di satu pojokan tampak penjual
semangka dengan gerobaknya berdiri menunggu pembeli dan di seberangnya ada
laki-laki kurang waras yang berjalan-jalan ngoceh tidak jelas.
Nepal memiliki ratusan etnis
yang hidup damai berdampingan. Keberagaman etnis itu tampak dari wajah mereka,
ada yang tampak seperti bangsa India, ada yang tampak seperti ras mongoloid,
ada yang seperti Melayu. Keberagaman itu juga tampak dari aneka macam pakaian
tradisional yang mereka pakai. Mayoritas penduduk Nepal beragama Hindu.
Kami tiba di daerah bernama
Bagar, yang merupakan pusat pasar dan pertokoan di Pokhara. Sepi kosong
melompong, semua tutup. Padahal kata si tour guide, biasanya disini sangat
ramai dan kadangkala macet. Disini kami sempat berpapasan dengan barisan para
demonstran yang berjalan beriringan menuju ke pusat kota. Mereka
bernyanyi-nyanyi sambil meneriakkan yel-yel tertentu. Beberapa orang membawa
serta kayu, pentungan, bahkan golok. Kami menepi dan hanya menonton barisan
tersebut dari teras sebuah warung. Dandanan kami serta kamera yang saya bawa
menunjukkan identitas kami sebagai turis, dan itu menyelamatkan kami dari
gangguan mereka. Demi alasan keselamatan, maka saya tidak berani sama sekali
memotret mereka.
Kami akhirnya sampai di kuil
Bindhyabasini, yang ternyata terletak diatas sebuah bukit, dan pastinya harus
mendaki menaiki puluhan anak tangga. Suasana di kuil sangat sepi, hanya
beberapa orang saja yang datang berdoa disana. Si tour guide kemudian
menjelaskan segala hal terkait kuil tersebut.
Dari kuil ini pemandangan
terbuka luas…kota Pokhara ada dibawah sana, dan pegunungan Anapurna berdiri
kokoh melindungi kota kecil ini.
Dalam perjalanan kembali menuju
ke hotel, kami kembali excited dengan suasana lain yang kami temui di sepanjang
jalan.
Kami bertemu dengan satu kompi
tentara Nepal yang sedang berjaga-jaga kalau-kalau ada kerusuhan akibat dari
demonstrasi. Tapi melihat ada turis melintas (kami), mereka melambaikan tangan
sambil tersenyum. Saya sempat mengobrol dengan beberapa orang diantara mereka,
bertanya sejak kapan mereka bertugas, apakah mereka bagian dari pasukan Gurkha
yang terkenal itu, dan lainnya. Luar biasa, mereka bisa berbahasa Inggris
dengan baik.
Ketika sedang berhenti untuk
membeli minuman di tempat lainnya, kami mendapati lelaki tua yang sedang
membuat anyaman. Dengan bahasa tubuh (karena dia tidak bisa berbahasa Inggris)
kami ajak berfoto dan dia tidak menolaknya.
Di tempat lainnya, segerombol
anak kecil berteriak-teriak melihat kami “foto…foto..”teriak mereka dengan
lantangnya. Jadilah mereka dengan sukarela menjadi model foto di sore hari itu.
Selebihnya, kami menghabiskan
waktu menyaksikan pemandangan yang spektakuler. Puncak gunung es di pegunungan
Anapurna berwarna kuning keemasan diterpa matahari sore yang akan hilang.
Sementara pemandangan sunset di danau Fewa, di dekat hotel juga tak kalah
indahnya.
Untuk mengisi kekosongan waktu
disana, saya memesan “mountain flight” untuk pagi hari keesokan harinya, dengan
jadual take off pukul 08.00. Ini adalah wisata udara, dimana turis bisa menyewa
pesawat kecil dan terbang hanya berdua dengan pilot saja, menyusuri
gunung-gunung cantik di pegunungan Anapurna, melewati celah-celah terjal
diantara gunung-gunung es tersebut. Perjalanan memakan waktu sekitar 45 menit sampai
1 jam. Konon, penerbangan ini sangat memacu adrenalin karena lumayan beresiko
tinggi.
Aturan main yang berlaku,
apabila penerbangan dibatalkan oleh calon penumpang maka calon penumpang harus
membayar penuh biaya penerbangan. Akan tetapi apabila penerbangan dibatalkan
oleh pihak penerbangan atau karena cuaca buruk, maka biaya akan dikembalikan
sepenuhnya tanpa potongan apapun.
Pemesanan sudah beres dan saya
sudah excited menunggu moment menegangkan tersebut keesokan paginya. Sampai ketika
pukul 5 keesokan paginya saya terbangun karena hujan turun dengan derasnya di
Pokhara. Hujan itu awet sampai hari mulai terang. Buyarlah impian saya untuk
terbang tandem berdua dengan pilot menyusuri pegunungan Anapurna ! Cuaca hari
itu memang kurang bagus di Pokhara, selain hujan juga berkabut. Beruntung suhu
tidak terlalu dingin hari itu.