Selasa, 19 November 2013

Nepal [2010] #5 : Adieu Nepal


Keesokan harinya kami sudah bersiap-siap untuk menuju ke airport sepagi mungkin, demi menghindari kekacauan di pusat kota yang dapat mengakibatkan jalan menuju ke airport lumpuh.

Pesawat Thai Airways tumpangan kami menurut jadual akan berangkat ke Bangkok pada jam 13.30 siang. Tapi demi alasan keselematan, kami memutuskan untuk berangkat ke airport sepagi mungkin, agar kami bisa sampai di airport sebelum massa berkumpul. Sehingga kalau ada apa-ada di tengah kota, misalkan meluasnya kerusuhan massal, maka kami sudah aman di airport dan tinggal menuju berangkat saja. Bagaimanapun, airport adalah titik evakuasi yang paling efektif.

Awalnya kami ingin berangkat ke airport jam 6.30, dengan asumsi mungkin massa baru akan berkumpul pada jam 8 pagi. Tapi ternyata bus yang akan membawa kami ke airport paling pagi adalah jam 7.  

Setelah sarapan buru-buru, kami langsung stand by menunggu bus di lobby hotel. Tepat jam 7 pagi buspun sudah stand by. Bukan bus butut seperti keberangkatan kami ke Pokhara beberapa hari yang lalu. Kali ini kami naik bus milik hotel dengan kondisi yang bagus.

Bus tersebut hanya berisi 4 orang penumpang : saya dan teman saya serta dua orang turis berbahasa Perancis.

Ketika bus memasuki area pusat perkotaan, ternyata massa sudah tumpah ruah di jalan. Luar biasa, masih jam 7 lewat massa sudah berkumpul di jalanan! Jam berapa mereka berangkat dari rumah? Kami hanya berdoa dan berharap semoga tidak ada kerusuhan fatal, setidaknya sampai kami tiba di airport.

Semakin mendekati airport, semakin banyak kami berpapasan dengan barisan demonstran yang berjalan rapi menuju ke pusat kota. Rasanya pengin terbang supaya bisa langsung sampai di airport.

Alhamdulillah kami tiba di airport dengan selamat. Setidaknya kami sudah berada di airport, kalaupun ada hal yang buruk terjadi di tengah kota, kami sudah berada di titik paling mudah untuk evakuasi.

Suasana airport pagi itu ramai. Para penumpang berdatangan dengan menumpang mobil turis, mobil palang merah, mobil PBB, becak penumpang, becak barang bahkan berjalan kaki.








Sebelum masuk ke dalam gedung terminal, saya sempat tertegun melihat seekor monyet yang berloncatan kesana kemari diatas atas gedung terminal airport itu. Nepal memang sangat berwarna !







Sesampai di dalam, kami mendapati counter Thai Airways belum dibuka. Jadi terpaksa menunggu dulu.

Saya sempat mengobrol dengan keluarga yang datang dari India. Mereka berasal dari Bangalore dan akan menumpang pesawat Air India ke New Delhi. Mereka sedang dalam kegalauan karena ternyata sudah tiga hari pesawat Air India membatalkan penerbangan pagi harinya ke Kathmandu. Si Ibu mengomel karena tidak ada pemberitahuan sama sekali dari pihak Air India bahwa flight mereka yang seharusnya pagi itu dibatalkan. Mereka terpaksa harus menunggu seharian di airport karena akan diterbangkan dengan penerbangan Air India sore hari menuju ke New Delhi. Hal lain yang membuat mereka uring-uringan adalah karena mereka akan kehilangan connecting flight mereka dari New Delhi ke Bangalore dan terpaksa harus menginap semalam di New Delhi.

Karena terlalu pagi tiba di airport, maka saya menghabiskan waktu dengan berkeliling-keliling airport. Airport Tribhuvan ini sangat sederhana. Satu-satunya Internet Cafe yang ada disini masih diproses secara manual, pelanggan membayar tunai, lalu diantar menuju computer, dan dihubungkan dengan internet explorer secara manual. Mengingatkan saya akan warnet di Indonesia pada awal tahun 90an.

Waktu check-in pun tiba. Ternyata pada saat yang hampir bersamaan, ada penerbangan SilkAir menuju ke Singapore, Korean Air menuju ke Seoul serta Thai Airways menuju ke Bangkok. Alhasil, ruang tunggu terminal internasional menjadi penuh sesak oleh calon penumpang. Saking penuhnya, sebagian duduk-duduk di lantai.

Hujan turun diatas airport Tribhuvan, tapi saya tidak menghiraukannya dan berlari menuju tangga pesawat untuk naik ke pesawat, secepatnya ingin meninggalkan Nepal.

Ketika roda pesawat meninggalkan runway Tribhuvan Airport, kami langsung lega….Alhamdulillah berhasil lepas dari keadaan darurat mogok massal di Nepal.

Setiba di Bangkok, karena harus menunggu penerbangan ke Jakarta keesokan paginya, maka kami menginap di hotel transit di dalam gedung terminal airport Suvarnabhumi. Kami tidak mau lagi mendatangi pusat kota Bangkok demi menghindari demonstrasi kaus merah di Bangkok yang mulai anarkis. Dua hari kemudian kerusuhan pecah di Bangkok, berakibat dibakarnya sebuah stasiun televisi, sebuah mall serta terbunuhnya banyak demonstran.

Tidur di hotel transit di dalam gedung terminal sebetulnya bukanlah ide terbaik karena sangat bising dengan suara deru mesin pesawat yang akan take-off dan landing. Semakin lama semakin banyak pesawat yang take-off, khususnya pesawat dengan tujuan antar benua.

Apakah saya kapok ke Nepal ? Tentu saja tidak, karena saya tidak berhasil melihat Nepal dalam wajah normalnya dan tidak berhasil mendatangi banyak sekali tempat menarik disana. Akan tetapi, pengalaman berhadap-hadapan langsung dengan mogok massal itu merupakan pengalaman tersendiri yang sangat berharga !

Nepal [2010] #4 : Kembali ke Kathmandu


Meskipun terlena dengan keindahan alam di Pokhara, tapi kami juga agak senewen karena tidak mengetahui dengan pasti kondisi politik terkini di Kathmandu. Kami harus pulang keesokan harinya ke Kathmandu dan selanjutnya terbang ke Bangkok lusa. Tapi tidak ada informasi akurat yang bisa diandalkan. Koran yang ada di hotel adalah koran kemarin. Siaran TV lokal semuanya membahas mogok massal, tapi semuanya dalam bahasa Nepal, tidak ada saluran TV berbahasa Inggris. Mencari informasi di saluran TV internasional, yang kami dapatkan adalah liputan tentang kerusuhan berdarah di Yunani, kerusuhan berdarah kau merah di Bangkok, tenggelamnya kapal tanker milik BP di New Mexico serta percobaan bom mobil di New York. Berita mogok massal di Nepal kalah sensasional untuk skala dunia !

Satu-satunya sumber informasi adalah petugas front office hotel.
Kami sedikit grogi ketika mendapatkan informasi bahwa sudah mulai ada pertumpahan darah di Kathmandu. Sudah mulai ada korban yang luka-luka, mulai terjadi bentrok antara polisi dengan demonstran dan sudah ada satu orang penduduk yang tewas karena dipukuli massa.

Keesokan harinya kami dijadualkan kembali ke Kathmandu dengan menumpang pesawat dari airline yang sama, Guna Airways jam 12 siang. Jam 10 pagi kami sudah bersiap untuk kembali berjalan kaki gembira menuju ke airport yang berjarak sekitar 1km dari hotel. Akan tetapi kami ditawari naik taxi gelap, yang akan dikemudikan oleh seorang laki-laki nekad. Setelah deal harga, kamipun naik ke sebuah mobil sedan tua yang dikemudikan dengan sangat kencang oleh si supir. Rupanya dia sengaja ngebut supaya tidak dilempar batu atau ditangkap oleh antek-antek demonstran.

Sesampai kami di airport, counter check-in Guna Airways belum dibuka, dan baru akan dibuka satu jam sebelum waktu keberangkatan.

Pagi itu kami mendapat sedikit masalah ketika pihak airline memberitahukan bahwa nama kami tidak terdapat dalam daftar penumpang di penerbangan itu. Ulala ! Inilah akibatnya bookingan masih manual begini ! Dia menunjukkan daftar nama penumpang berupa sebuah kertas polos bertuliskan tangan. Dan benar saja, nama kami tidak ada disana.

Awalnya kami masih memiliki harapan karena jumlah penumpang yang sudah confirm baru 14 orang, sementara kapasitas pesawat beechcraft tersebut berjumlah 16 orang. Akan tetapi kemudian ada empat orang calon penumpang lainnya selain kami yang juga bernasib sama dengan kami. Singkat cerita, over booked !

Setengah senewen, saya telfon travel agent kami di Kathmandu yang memesankan tiket kami. Saya jelaskan persoalannya dan meminta dia membereskan masalah. Pokoknya kami tidak mau tahu, kami harus berangkat saat itu juga karena keesokan harinya kami sudah harus terbang pergi dari Nepal.

Setelah menunggu selama 20 menit, akhirnya nama kami masuk dalam daftar penumpang. Entah apa yang dilakukan si travel agent, Mr. Rajendra, di Kathmandu sana sehingga kami bisa menyisihkan pesaing-pesaing lainnya itu.
Thank God kami berhasil terbang dengan pesawat yang diinginkan.


Sesampainya kami di airport Tribhuvan Kathmandu, kami tercengang-cengang melihat tempat pengambilan bagasi penumpang pesawat domestik. Barang bagasi penumpang dibawa oleh mobil bak terbuka ke sebuah tempat di dekat parkiran yang tertulis “baggage claim”dan ditumpuk begitu saja disana. Penumpang lalu berebutan mengambil koper mereka yang ditumpuk-tumpuk disana.

Kami lalu berangkat kembali menuju ke hotel Soaltee Crown Plaza, dengan menggunakan minibus milik hotel. Kali ini mobil yang dipakai adalah mobil bagus.

Perjalanan menuju ke hotel melewati jalan-jalan utama di tengah kota, yang dipenuhi oleh massa demonstran. Saat-saat itu adalah saat paling horor yang kami alami. Ada ratusan orang tumpah ruah di jalan, sebagian besar memakai kaus merah, simbol komunis disana. Lagi-lagi tampak lelaki membawa kayu, pentungan, batu bahkan golok.




Keadaan disana sebetulnya mulai memburuk. Menyusul aksi mogok massal yang sudah memasuki hari kelima, masyarakat Nepal pecah menjadi dua kubu : satu pihak pro Maois, mendukung mogok massal dan terus menggoyang pemerintahan sampai mereka turun, di pihak lain ada pihak netral, yang tidak ingin mogok massal berkepanjangan karena faktor ekonomi.


Alasan yang dikemukakan kelompok kedua sangat masuk akal, karena sebagai negara miskin, penduduk Nepal harus kembali menjalankan roda perekonomian mereka, kalau tidak mau semakin terpuruk karena menurunnya pendapatan mereka. Lima hari mogok massal, berarti sudah lima hari pula sebagian penduduk kehilangan pendapatannya.



Kedua kubu ini kabarnya sudah sempat baku hantam dan lempar-lemparan batu di beberapa titik konsentrasi massa di Kathmandu.

Kami sampai di hotel dengan selamat dan memutuskan untuk tinggal saja di hotel sambil menunggu saat terbang meninggalkan Nepal besok siang.

Nepal [2010] #3 : Melarikan Diri ke Pokhara


Sejak malam sebelumnya kami telah memesan mobil dari hotel untuk mengantar kami ke airport jam 8 pagi, tetapi kami diberitahu pihak hotel bahwa bus akan tersedia jam 7.30. Mau tidak mau kami menyesuaikan diri dengan jadual bus dari hotel, sarapan lebih awal jam 6.30 pagi.

Mobil yang akan membawa kami adalah minibus yang sederhana (baca : jelek), mungkin lebih jelek daripada minibus yang mengangkut penumpang di pedalaman Sumatera sana. Minibus ini ternyata milik Nepal Tourism Board, bukan milik hotel. Di dindingnya terdapat spanduk hijau besar bertuliskan “TOURIST ONLY” dalam warna putih.

Isi minibus tersebut sudah padat sekali, tapi kami tetap diminta masuk kedalamnya. Dan ternyata kami harus duduk di bangku-bangku cadangan, yang terbuat dari bangku kayu, yang diselipkan ditengah/di gang antara kursi yang ada. This is the real journey.
Bayangkan perjalanan sekitar 25 menit ke airport dengan duduk di bangku kayu, tanpa tempat sandaran punggung dan bercampur aduk sangat padat dengan turis-turis lainnya. Untung saja tidak ada penumpang yang menyebarkan aroma yang “menyegarkan” di pagi itu.

Perjalanan menuju ke airport awalnya lancar, tapi ketika minibus mulai mendekati pusat kota, perjalanan mulai tersendat karena ternyata massa telah berkumpul di beberapa titik di pusat kota. Luar biasa ramai, padahal waktu baru menunjukkan jam 7.45 pagi. Minibus berjalan agak tersendat-sendat karena banyak sekali demonstran yang duduk-duduk di tepi jalan atau memblokade jalanan. Di beberapa titik, pemimpin-pemimpin mereka mulai melakukan orasi dengan modal pengeras suara seadanya. Di beberapa area terlihat beberapa demonstran lelaki membawa kayu, tongkat, batu bahkan parang. Nah, ini mau demo atau mau membuat kerusuhan ?

Di dalam minibus ada turis yang berasal dari India, Inggris, Perancis dan tentunya kami, Indonesia. Suasana di dalam minibus hening dan tegang. Sebagian besar penumpang diam. Ada beberapa orang yang berbisik-bisik dalam bahasa mereka dengan suara yang sangat pelan. Seorang Ibu setengah baya asal Inggris bernyanyi-nyanyi kecil, yang sebetulnya lirik lagunya adalah ungkapan stress dan kekhawatirannya melihat kerumunan massa tersebut. “oh, my.....he’s down on the street..” salah satu lirik yang dia nyanyikan, nyaris tanpa notasi, ketika melihat banyak sekali orang2 duduk seenaknya di jalanan.

Saya tidak berani memotret kerumunan massa tersebut, khawatir kalau ada yang marah dan melempar kaca mobil. Kamera sepenuhnya tersimpan rapi di dalam tas.
Mobil tumpangan kami tidak disentuh sama sekali oleh para demonstran karena terdapat tulisan “TOURIST ONLY”, dan di dalam mobil memang tampak beberapa penumpang ras Caucasian.

Kerumunan massa paling banyak berada di sekitar lokasi yang dahulunya adalah Istana Raja Nepal.  Para demonstran, dengan segala atribut kekerasannya, lengkap dengan bendera merah Palu-Arit symbol kelompok komunis Maois, berhadap-hadapan langsung dengan blokade Polisi, yang sebagian adalah Polisi Wanita. Memecahkan ketegangan, saya becanda kepada teman saya, “beli bendera palu arit itu dimana ya ? kayaknya bagus juga tuh untuk kenang-kenangan”

Disepanjang jalan di dekat airport, kami melihat banyak sekali calon penumpang (terutama penduduk lokal) yang berjalan kaki menyeret koper mereka menuju ke airport. Banyak pula becak-becak orang maupun becak barang mengangkut calon penumpang menuju ke airport.

Dengan keadaan yang super lengang, hanya ada manusia, saya tidak bisa membayangkan bagaimana keadaannya disaat normal, pasti penuh dengan mobil, becak, gerobak, dan lain-lain.

Kami semua di drop di gedung terminal internasional. Ternyata gedung terminal domestik terpisah dari terminal internasional dan kami harus berjalan kaki sekitar setengah kilo untuk menuju ke terminal domestik.

Ketika tiba di terminal domestik, kami kaget luar biasa karena mendapati bangunan yang tua, gelap, lusuh dan kotor. Dinding bangunan terminalnya sudah kusam dan cat di beberapa bagian sudah mengelupas. Sebagai pembanding, terminal bus pulo gadung di era 80an saja masih lebih bersih dari pada terminal ini.

Suasana didalamnya penuh hiruk pikuk oleh turis asing maupun lokal. Banyak sekali turis Caucasian dan Jepang. Dari bahasa tubuh mereka, kami menangkap sinyal bahwa kondisi mereka sama saja dengan kami, melarikan diri dari kota Kathmandu, sebelum terjebak ke dalam kekacauan massal.

Toilet di terminal ini luar biasa nasty ! Salah satu toilet paling nasty yang pernah saya masuki. Kotor dan bau pesing luar biasa. Setelah saya perhatikan perilaku orang-orang yang keluar masuk toilet,  saya jadi tahu kenapa toiletnya sampai sebegini jorok. Orang-orang disana jarang sekali memflush/menyiram toilet setelah buang air. Mereka main ngeloyor pergi setelah buang air kecil. Luar Biasa !!!

Untung saya tidak kebelet buang air besar pagi itu, bisa cilaka dua belas tuh !
Ketika saya melakukan check-in di counter check-in Guna Airways, saya ditolak karena harus membayar airport tax terlebih dahulu. Rupanya di pojokan terdapat counter sebuah Bank disana, dimana seluruh penumpang harus membayar airport tax sebesar 170 Rupee (kira-kira Rp. 22.000,-) baru kemudian boleh melakukan check-in.

Sebelum memasuki ruang tunggu, kami harus melewati pemeriksaan fisik. Kalau di negara lain pemeriksaan dilakukan dengan mesin x-ray, disini dilakukan secara manual memeriksa tas bawaan dan meraba-raba sekujur tubuh. Maka dari itu pintu pemeriksaan terbagi dua, sesuai dengan jenis kelamin penumpang. Penumpang wanita diperiksa oleh petugas wanita, demikian pula sebaliknya.

Ruang tunggunya masih sama keadaannya dengan departure hall di depan tadi, meskipun sedikit agak bersih. Ditengah ruang tunggu terdapat sebuah wastafel yang sudah agak jebol, dengan air minum galon yang tersedia  secara gratis. Seorang wanita kemudian mendekati wastafel itu dan mencuci piring bekas makannya di wastafel tersebut.

Kami agak lost karena pengumuman penumpang disini ini sangat tidak konsisten. Terkadang ada suara pengumuman bahwa penumpang penerbangan A dipersilahkan boarding, dalam bahasa Nepal dan Inggris yang tidak jelas pengucapannya. 

Pengumumanpun lebih tepat seperti di terminal bus, karena petugasnya berteriak-teriak menyebutkan nama dan nomor penerbangan di speaker yang sudah tidak berfungsi dengan baik. Tapi pengumuman tersebut tidak selalu ada. Tau-tau kami melihat serombongan orang sudah berdiri dan antri keluar terminal menuju bus yang akan membawa mereka ke pesawat. Sumpah kami terbengong-bengong.

Melihat keadaan begitu, maka kami mencari akal dengan bertanya kepada orang yang boarding passnya berlogo dan bertujuan sama dengan kami dan duduk didekat mereka, supaya tidak ketinggalan pesawat.

Kami semua kemudian naik ke dalam minibus yang akan membawa kami ke pesawat. Namun baru berjalan beberapa belas meter, minibus berhenti. Lama juga berhentinya, lebih dari 10 menit. Minibus tersebut tanpa AC, tapi untungnya udara sejuk, sehingga kami tidak kegerahan.

Kami baru tahu kemudian bahwa bus tidak boleh jalan karena akan ada pesawat yang akan lewat. Ternyata beberapa menit kemudian sebuah benda raksasa berjalan pelan melintas sangat dekat dengan minibus ini, sebuah pesawat Airbus A330-200 Qatar Airways yang akan terbang menuju ke Doha. Saking dekatnya posisi minibus dan pesawat, dengan sedikit menzoom-in lensa kamera saya, saya bisa melihat jelas Pilot di dalam cockpit pesawat tersebut. Apakah ini tidak berpotensi menyebabkan kecelakaan ???

Pesawat yang membawa kami menuju Pokhara adalah pesawat baling-baling berjenis, Beechcraft. Dan ternyata penerbangan ini memiliki satu orang pramugari yang bertugas di kabin siang itu.

Setelah pintu pesawat ditutup, pramugari membagikan permen dan penutup telinga (berupa kapas) kepada para penumpang. Bayangkan betapa berisiknya mesin pesawat itu, sampai-sampai disediakan kapas untuk menutup telinga.

Lagi-lagi saya terbengong-bengong karena sama sekali tidak ada safety instruction di dalam pesawat. Tau-tau pesawat jalan saja ke runway dan terbang begitu saja tanpa ada pengumuman apa-apa, baik dari Pilot maupun Pramugari. What a flight !

Penerbangan seru, beberapa kali pesawat bumpy di udara, sementara dibawah sana, sejauh mata memandang adalah gunung-gunung dengan hutan yang sangat lebat.

Setelah terbang 30 menit, pesawat mendarat di airport di Pokhara. Airportnya sangat kecil, tapi lebih rapi dan lebih bersih dari pada airport Kathmandu. Diluar pagar airport, para penjual dan penjemput penumpang ramai menjemput sanak saudara mereka. Melihat banyaknya wanita yang masih berbaju tradisional, saya merasakan suasana yang sangat berbeda. Mungkin seperti suasana di Kabupaten di Indonesia di awal tahun 80an.

Keluar dari airport, kami kembali mendapati kota mati. Tidak ada kendaraan sama sekali. Yang ada hanya orang berjalan kaki kesana kemari, tentara yang berjaga-jaga di pojokan jalan dan becak-becak. Beberapa penumpang yang membawa barang yang banyak menyewa gerobak barang untuk membawa barang mereka, sementara mereka berjalan kaki bersama dengan becak tersebut.

Berbekal peta yang kami bawa, kami berjalan kaki dari airport menuju ke hotel tempat kami menginap. Meskipun kaki mulai pegal karena berjalan kaki terus, tapi hati masih senang karena suasana dan pemandangan yang dilihat sangat berbeda.

Kami menginap di Fish Tail Lodge Hotel, sebuah hotel tua yang sangat tenang dan asri. Hotel ini terletak diantara danau Fewa didepan dan bukit dengan hutan yang lebat di belakangnya. Untuk menuju ke hotel, kami harus menyeberangi danau terlebih dahulu. Tamu hotel sebagian besar adalah tamu berbangsa Caucasian dan Jepang.
Ketika check-in di hotel ini, kami baru tahu bahwa hotel ini pernah dikunjungi oleh tamu-tamu VIP dari berbagai negara, seperti Pangeran Charles, Pangeran Akihito, dan lain-lain.

Suasana di hotel ini betul-betul merelaks-kan pikiran. Sejauh mata memandang, yang tampak hanyalah gunung-gunung hijau, dengan beberapa puncak Anapurna yang bersalju di latar belakang, danau yang tenang dan hutan-hutan yang asri di belakang hotel. Di salah satu ruangan di hotel ini tampak sedang berlangsung kelas Yoga untuk tamu hotel.

Suasana kota Pokhara memang sedikit lebih laidback, dengan nuansa pedesaan tradisional yang lebih kental. Penduduknya pun lebih ramah dan hangat dibandingkan penduduk Kathmandu.

Meskipun suasana hotel yang sangat menentramkan hati, tapi kami tetap saja suntuk berlama-lama di hotel. Akan tetapi pilihannya adalah berjalan kaki, karena semua kendaraan tidak ada yang jalan. Beruntung kami mendapatkan seorang tour guide, pria lokal dari Pokhara, yang berwajah Mongoloid, yang bersedia mengantar kami keliling-keliling beberapa obyek wisata di Pokhara dengan berjalan kaki.

Tujuan utama kami adalah Bindhyabasini Temple, yang ternyata jaraknya jauh sekali dari hotel.

Dua kilometer pertama berhasil ditempuh dengan jalan kaki tegap, kilometer selanjutnya mulai dijalani dengan terseok-seok, mungkin karena akumulasi dari kepenatan jalan kaki sehari sebelumnya di Kathmandu. Beberapa kali kami meminta time-out dengan duduk-duduk, minum, ngobrol dan mengamati penduduk di sekitar. Sementara si tour guide tampak tetap segar bugar tanpa kelelahan. Pastinya rute ini tidak ada apa-apanya buat dia, karena biasanya dia menjadi tour guide rute trekking di kaki gunung Anapurna.

Rasa penat sedikit terobati karena situasi yang kami lihat merupakan hal yang baru pertama kali dilihat seumur hidup. Pria dan wanita dewasa memakai pakaian tradisional di banyak tempat, jalanan kosong yang dipakai untuk main cricket oleh anak-anak, para ibu-ibu berjalan bersama-sama dengan pakaian warna warni menyala, orang bersembahyang di kuil kecil di pojokan jalan, dan lain-lain.

Rasa penat itu sirna seketika ketika kami memasuki wilayah yang merupakan kota kuno Pokhara. Disini bangunan-bangunan tua berwarna merah bata masih berdiri kokoh. Sebagian tampak seperti balai desa, beberapa lagi tampak seperti rumah besar keluarga. Beberapa bangunan memiliki kayu ukiran yang kalau dilihat dari kondisinya pasti sudah sangat tua. Dibeberapa bagian kota kuno tampak kuil-kuil kecil tempat sembahyang individu. Entah kenapa, saya merasa ada kemiripan dengan Bali !

Suasana di kota kuno ini sangat menarik. Para wanita penjual sayuran sliweran disana sini menjajakan jualannya. Mereka berpakaian tradisional dengan dominasi warna merah serta keranjang besar tempat jualan yang diikatkan di kepala.






Di satu pojokan tampak penjual semangka dengan gerobaknya berdiri menunggu pembeli dan di seberangnya ada laki-laki kurang waras yang berjalan-jalan ngoceh tidak jelas.

Nepal memiliki ratusan etnis yang hidup damai berdampingan. Keberagaman etnis itu tampak dari wajah mereka, ada yang tampak seperti bangsa India, ada yang tampak seperti ras mongoloid, ada yang seperti Melayu. Keberagaman itu juga tampak dari aneka macam pakaian tradisional yang mereka pakai. Mayoritas penduduk Nepal beragama Hindu.

Kami tiba di daerah bernama Bagar, yang merupakan pusat pasar dan pertokoan di Pokhara. Sepi kosong melompong, semua tutup. Padahal kata si tour guide, biasanya disini sangat ramai dan kadangkala macet. Disini kami sempat berpapasan dengan barisan para demonstran yang berjalan beriringan menuju ke pusat kota. Mereka bernyanyi-nyanyi sambil meneriakkan yel-yel tertentu. Beberapa orang membawa serta kayu, pentungan, bahkan golok. Kami menepi dan hanya menonton barisan tersebut dari teras sebuah warung. Dandanan kami serta kamera yang saya bawa menunjukkan identitas kami sebagai turis, dan itu menyelamatkan kami dari gangguan mereka. Demi alasan keselamatan, maka saya tidak berani sama sekali memotret mereka.

Kami akhirnya sampai di kuil Bindhyabasini, yang ternyata terletak diatas sebuah bukit, dan pastinya harus mendaki menaiki puluhan anak tangga. Suasana di kuil sangat sepi, hanya beberapa orang saja yang datang berdoa disana. Si tour guide kemudian menjelaskan segala hal terkait kuil tersebut.

Dari kuil ini pemandangan terbuka luas…kota Pokhara ada dibawah sana, dan pegunungan Anapurna berdiri kokoh melindungi kota kecil ini.

Dalam perjalanan kembali menuju ke hotel, kami kembali excited dengan suasana lain yang kami temui di sepanjang jalan.

Kami bertemu dengan satu kompi tentara Nepal yang sedang berjaga-jaga kalau-kalau ada kerusuhan akibat dari demonstrasi. Tapi melihat ada turis melintas (kami), mereka melambaikan tangan sambil tersenyum. Saya sempat mengobrol dengan beberapa orang diantara mereka, bertanya sejak kapan mereka bertugas, apakah mereka bagian dari pasukan Gurkha yang terkenal itu, dan lainnya. Luar biasa, mereka bisa berbahasa Inggris dengan baik.

Ketika sedang berhenti untuk membeli minuman di tempat lainnya, kami mendapati lelaki tua yang sedang membuat anyaman. Dengan bahasa tubuh (karena dia tidak bisa berbahasa Inggris) kami ajak berfoto dan dia tidak menolaknya.

Di tempat lainnya, segerombol anak kecil berteriak-teriak melihat kami “foto…foto..”teriak mereka dengan lantangnya. Jadilah mereka dengan sukarela menjadi model foto di sore hari itu.









Selebihnya, kami menghabiskan waktu menyaksikan pemandangan yang spektakuler. Puncak gunung es di pegunungan Anapurna berwarna kuning keemasan diterpa matahari sore yang akan hilang. Sementara pemandangan sunset di danau Fewa, di dekat hotel juga tak kalah indahnya.




Untuk mengisi kekosongan waktu disana, saya memesan “mountain flight” untuk pagi hari keesokan harinya, dengan jadual take off pukul 08.00. Ini adalah wisata udara, dimana turis bisa menyewa pesawat kecil dan terbang hanya berdua dengan pilot saja, menyusuri gunung-gunung cantik di pegunungan Anapurna, melewati celah-celah terjal diantara gunung-gunung es tersebut. Perjalanan memakan waktu sekitar 45 menit sampai 1 jam. Konon, penerbangan ini sangat memacu adrenalin karena lumayan beresiko tinggi.

Aturan main yang berlaku, apabila penerbangan dibatalkan oleh calon penumpang maka calon penumpang harus membayar penuh biaya penerbangan. Akan tetapi apabila penerbangan dibatalkan oleh pihak penerbangan atau karena cuaca buruk, maka biaya akan dikembalikan sepenuhnya tanpa potongan apapun.

Pemesanan sudah beres dan saya sudah excited menunggu moment menegangkan tersebut keesokan paginya. Sampai ketika pukul 5 keesokan paginya saya terbangun karena hujan turun dengan derasnya di Pokhara. Hujan itu awet sampai hari mulai terang. Buyarlah impian saya untuk terbang tandem berdua dengan pilot menyusuri pegunungan Anapurna ! Cuaca hari itu memang kurang bagus di Pokhara, selain hujan juga berkabut. Beruntung suhu tidak terlalu dingin hari itu.

Nepal [2010] #2 : Ketika Kathmandu "shutdown"


Dari petugas hotel kami mendapatkan konfirmasi bahwa kami tidak bisa bepergian kemana-mana karena hampir semua jalanan utama diblokir oleh para demonstran. Kalaupun kami ngotot pergi mengunjungi lokasi-lokasi turis, seperti misalkan ke Thamel, Durbar Square atau ke tempat kuil-kuil lainnya, kami harus berjalan kaki karena mobil tidak dimungkinkan untuk menuju ke area turisme tersebut.

Stuck in the hotel is not a good option. Buat apa kami terbang jauh-jauh ke Nepal kalau akhirnya akan berakhir tidur-tidur saja di kamar hotel.

Salah satu tujuan kami ke Nepal adalah pergi ke kota Pokhara. Rencana awal, perjalanan ke Pokhara akan dilakukan setelah kami selesai menjelajahi Kathmandu. Tapi dengan keadaan tidak menentu di Kathmandu, kami memutuskan untuk berangkat keesokan harinya. Meskipun mogok massal berlaku di seluruh negara, akan tetapi kondisi di Pokhara diharapkan lebih baik dari pada di Kathmandu, setidaknya eskalasi potensi kekerasan lebih kecil disana.

Petugas travel agent setempat mencarikan kami tiket, yang masih dilakukan secara manual dengan menelpon ke bagian ticketing airlines yang dituju. Nama di tiket, rute dan tanggal penerbangan di tiketpun ditulis pakai tangan. Proses pembayaran dengan kartu kreditpun masih dilakukan manual, dengan menggesekkan kartu di mesin manual untuk memunculkan nomor dan nama pemegang kartu kredit. Karena kondisi yang tidak menentu itu saya menjadi nyinyir menekankan berkali-kali kepada petugas 
Travel Agent bahwa status tiket sudah harus OK, bukan lagi waiting list.

Sore itu kami tidak ingin mati gaya hanya bengong di hotel saja. Tapi untuk bepergianpun tidak mungkin, selain karena tidak diperbolehkannya kendaraan melintas, obyek turisme di Kathmandu ini terpencar-pencar ke dalam beberapa wilayah, yang semuanya tersebar di berbagai penjuru kota. Lembah Kathmandu tempat kota Kathmandu berada adalah area yang sangat luas.

Buka peta Kathmandu dan mencari obyek turis yang paling dekat dengan hotel. Kami menemukan sebuah candi Buddha yang berlokasi paling dekat dengan hotel.
Maka kamipun berjalan kaki menuju ke lokasi tersebut. Walaupun kecantikan alam Nepal luar biasa, tapi jangan bayangkan bahwa kota Kahtmandu juga cantik. Kota ini sangat jorok dan semrawut, bau sampah atau bau got sesekali menyengat di hidung. 

Konon, kalau tidak sedang mogok masal, jalanan disini akan semrawut, macet dan berdebu. Jalan akan ramai dengan hiruk pikuk suara klakson mobil serta bunyi musik dari tape mobil atau di toko-toko sepanjang jalan.




Baru kami berjalan, kami mendapati seorang bocah ganteng berumur sekitar 6 tahun. Dandanannya rapi, sepertinya baru selesai mandi. Ia asyik bermain bola sendirian dipinggiran onggokan sampah yang luasnya kira-kira 6 meter persegi. Padahal aroma yang keluar dari sampah itu aduhai sangat !

Tidak jauh dari lokasi anak lelaki tadi bermain bola, kami mendapati seorang lelaki sedang tidur lelap di pinggir jalan, sementara sepedanya tergeletak disebelahnya. Sementara didekatnya ada seekor anjing luar yang mengendus-endus di dekatnya. Bisa jadi dia sedang mabuk.

Berpedoman kepada peta ditangan, kami berjalan kaki menyusuri jalan-jalan untuk menuju ke lokasi Kuil terdekat. Beberapa bagian jalanan cukup ramai. Banyak orang duduk-duduk mengobrol dengan tetangga mereka, jalanan yang kosong digunakan oleh anak-anak untuk bermain sepak bola. Beberapa toko yang kami lalui nekad buka, meskipun tampak takut-takut, hanya satu pintu yang terbuka.

Di salah satu bagian kota kami berpapasan dengan serombongan tentara yang berjalan rapi. Sepertinya mereka tidak sedang bertugas menjaga keamanan dari demonstran karena tampilan mereka cukup rapi sore itu.

Di beberapa bagian jalan yang kami lalui, kami mendapati beberapa orang melemparkan senyuman kepada kami. Sebagian lain menatap kami dengan pandangan dan aneh, mungkin mereka berpikir ini turis ngapain ya kesini, wong negara ini sedang mogok massal ?

Di sepanjang jalan kami menemukan berbagai macam bentuk wajah penduduk Nepal. Ada yang berwajah sangat mirip dengan orang India, ada yang berwajah sangat mirip dengan orang Tibet atau Cina dan ada pula yang berwajah layaknya kita, bangsa Melayu.

Satu hal yang menarik dari Nepal adalah penduduknya yang rata-rata ramah-ramah dan hampir semuanya bisa berbahasa Inggris dengan fasih.

Sempat kesasar-sasar beberapa kali karena salah direction, akhirnya kami sudah berada di jalur yang tepat untuk menuju ke sebuah kuil yang tampak dari kejauhan berdiri kokoh diatas sebuah bukit. Akan tetapi kami berjalan sangat santai, karena tidak ingin kehilangan moment yang mungkin hanya sekali itu kami dapatkan :
  • Para bhiksu berjalan kaki berkelompok
  • Tentara-tentara bersiaga di setiap persimpangan
  • Penduduk kota yang tidak terlibat demonstrasi asyik duduk-duduk di sore hari sambil ngobrol dengan tetangga mereka
  • Tentara yang sedang tidak bertugas bermain sepak bola di sebuah lapangan yang sangat luas sekali
  • Pedagang-pedagang sayuran yang masih sangat tradisional pulang menuju ke rumah masing-masing
  • Dan lain-lain

Saking asyiknya mengamati pemandangan tersebut dan asyik memotret semua kejadian unik disana, kami lupa bahwa matahari sudah condong ke barat. Sudah jam 5 lewat, tidak mungkin lagi meneruskan perjalanan menuju ke kuil tersebut, karena pasti sudah akan gelap saat tiba disana. Resiko pulang kesasar sangat tinggi sekali mengingat lokasi yang tidak kami kuasai dan tidak adanya kendaraan sama sekali. Akhirnya kami berbalik arah, berjalan kaki kembali menuju hotel.

Nepal [2010] #1 : Perjalanan Nekad ke Kaki Himalaya



Awalnya kami memiliki tiga opsi tujuan perjalanan : Tibet, Bhutan atau Nepal.
Tibet langsung di drop karena travel buddy saya penderita asma yang sering bermasalah di udara dingin, apalagi di Tibet yang kadar oksigennya tipis karena ketinggian alamnya. Bhutan juga di drop karena urusan visanya ternyata ribet luar biasa, butuh persiapan pengurusan visa dan itinerary yang sangat matang jauh hari sebelumnya, serta biaya yang harus dikeluarkan lumayan besar. Maka pilihan jatuh ke Nepal, sebuah negara eksotis di kaki Himalaya.

Penerbangan ke Kathmandu, ibu kota Nepal dilayani oleh Silk Air, Malaysia Airlines dan Thai Airways. Pilihan lainnya adalah dengan airlines dari Timur Tengah, seperti Emirates, Etihad dan Qatar, yang langsung saja di drop karena berputar-putar dulu ke tanah Arab sana.

Karena alasan efisiensi dan harga yang paling murah, maka kami memutuskan terbang naik Thai Airways. Dengan memilih naik Thai Airways maka kami harus menginap semalam di Bangkok karena penerbangan Jakarta – Bangkok jam 12 siang dan penerbangan lanjutan Bangkok – Kathmandu jam 10 pagi keesokan harinya.

Sebuah keputusan yang tergolong nekad, karena saat itu Bangkok sedang dalam keadaan siaga 1, karena terjadi demonstrasi besar-besaran di seluruh kota, dimana kelompok kaus merah menduduki kota, memblokir titik-titik vital di kota Bangkok. Untungnya mereka tidak menduduki dan memblokir airport Suvarnabhumi seperti yang dilakukan kelompok kaus kuning tahun sebelumnya. Asumsi kami saat itu adalah kami hanya transit, menginap di hotel sekitar airport dan tidak akan keluar dari area Suvarnabhumi. Nekad ! karena sebetulnya Pemerintah NKRI sudah mengeluarkan “travel warning” kepada warna negara Indonesia yang akan bepergian ke Bangkok. We just simply ignored it.

Persiapan sudah dilakukan, sampai dua hari sebelum keberangkatan, travel buddy saya mendapatkan informasi dari mantan rekan kerjanya yang saat itu bekerja di salah satu lembaga PBB dan ditempatkan di Kathmandu, bahwa situasi politik disana memanas. Kelompok Komunis Maois, yang memiliki massa pendukung terbanyak, akan melakukan demonstrasi besar-besaran di seluruh negeri, dengan beberapa tuntutan kepada pemerintah Nepal yang berkuasa, salah salah tuntutannya adalah agar Perdana Menteri yang menjabat saat itu mengundurkan diri. Apabila demonstrasi ini tidak mendapat respon dengan baik dari pemerintah, maka mereka mengancam akan melakukan strike (mogok massal) di seluruh negeri.

Saat itu kami sempat goyah dan berpikir untuk membatalkan perjalanan. Kami lalu melakukan monitor keadaan di Nepal melalui berbagai situs berita dunia, yang sialnya tidak banyak berita tentang demonstrasi tersebut. Namun kemudian kami mendapatkan informasi bahwa beberapa pihak mulai ikut turun tangan menjadi penengah pertikaian ini agar tidak terjadi strike atau keadaan yang lebih buruk. Karena sudah terlanjur ambil cuti, maka show must go on !

Perjalanan Jakarta – Bangkok lancar tanpa kendala berarti. Setelah tiba di arrival hall airport Suvarnabhumi, tujuan pertama kami adalah menuju counter pemesanan hotel di airport tersebut karena kami memang belum memesan hotel sejak dari Jakarta. Apes, karena hotel Sheraton yang terletak di dekat airport sedang penuh. Sepertinya para traveller sengaja menyingkir dari pusat kota Bangkok dan memilih menginap di hotel yang dekat dengan airport.

Tidak ada pilihan lain kecuali mendatangi pusat kota Bangkok, dan menginap di hotel Amari Boulevard di Sukhumvit. Nekad bagaikan wartawan perang mendatangi lapangan perang yang sedang memanas.

Jalan tol dari airport Suvarnabhumi menuju ke pusat kota Bangkok sepi sekali, hanya beberapa  kendaraan yang melintas. Sampai di Sukhumvitpun keadaan sama saja, hanya sedikit kendaraan yang lalu lalang, itupun taksi. Penjual makanan yang biasanya di sore hari sudah mulai memasang tenda-tenda mereka di soi-soi di Sukhumvit, sore itu terlihat lengang, hanya satu dua pedagang yang bersiap membuka lapaknya.

Hotel tempat kami menginap juga sepi sekali. Oh ya, dikarenakan kondisi politik yang tidak stabil tersebut, turisme anjlok, hotel-hotel banting harga, maka jadilah kami menginap di hotel tersebut dengan tarif hanya sekitar 500 ribu Rupiah semalam (biasanya sekitar 800 ribu Rupiah).

Jam 7 malam kami masih nekad pergi mencari makan di restoran favorit Ban Khun Mae di daerah Siam. Ketika kami menaiki eskalator untuk menuju ke stasiun BTS Nana, kami baru menyadari bahwa suasana sangat sepi sekali. Hanya beberapa taksi yang melintas, tidak banyak orang yang tampak di jalanan. Padahal biasanya area ini adalah area yang hingar bingar. Bangkok menjadi kota hantu malam itu. Kamipun mulai saling senyum kecut.

Saya tidak tahu apa yang terjadi dengan orang-orang yang berkantor di daerah pusat-pusat kota, apakah mereka diliburkan atau diminta bekerja dari rumah. Tapi sore dan malam itu kami tidak melihat satupun pekerja di jalanan.

Sesampai di stasiun BTS Siam, kami mendapati keadaan yang lebih menyeramkan. Siam gelap gulita. Semua shopping mal yang biasanya penuh hingar bingar : Paragon, Siam Square, dan lain-lain tutup. Tidak ada cahaya lampu sama sekali di daerah tersebut, kecuali lampu penerang mall bagian luar. Demikian juga dengan toko-toko yang bertebaran di area Siam tersebut. Di beberapa titik tampak tentara berjaga-jaga dengan senjata lengkap mereka. Hanya beberapa orang “nekad” yang tampak berjalan kaki, termasuk kami. Suasana Bangkok malam itu benar-benar menyeramkan.

Ketika turun dari tangga stasiun BTS tersebut, kami mendapati bahwa jalan raya dibawah stasiun BTS Siam itu telah dijadikan sebagai salah satu tempat markas para demonstran kaus merah. Mereka membangun tenda, memasang barikade-barikade yang terbuat dari ban-ban besar, atribut lengkap dengan spanduk besar disana sini. Nah, di markas demonstran inilah kami baru melihat adanya crowd yang berkumpul meskipun jumlahnya tidak banyak. Malam itu sebagian dari mereka sedang makan nasi bungkus, yang kalau dilihat dari warna bungkusnya sepertinya adalah nasi jatah pembagian.

Untungnya restoran yang kami tuju beroperasi pada hari itu, jadi perjalanan tidak sia-sia. Restoran yang setiap kali kesana nyaris harus selalu antri, pada malam itu hanya ada sedikit orang yang sedang makan.

Selesai makan kami putuskan untuk langsung kembali saja ke hotel demi menghindari hal-hal yang tidak diinginkan.

Kami kembali ke hotel dengan menggunakan taksi. Ketika taksi baru jalan dan melewati beberapa blok di kompleks pertokoan Siam, taksi tertahan sesaat karena ternyata persis di depan kami ada massa sedang berkumpul. Di perempatan jalan itu, berkumpul pasukan demonstan kaus merah mendengarkan orasi yang sedang dilakukan salah satu petinggi mereka. Suaranya terdengar keras sekali karena menggunakan pengeras suara. Area tempat mereka berkumpul penuh dengan atribut-atribut berwarna merah, foto-foto Thaksin. Area tersebut di blokir dengan menggunakan pagar kayu berkawat duri. Beberapa petugas keamanan dari pihak mereka mengatur lalu lintas sambil sesekali mengintip siapa yang berada di dalam kendaraan yang lewat.

Saya sempat akan mengarahkan moncong lensa kamera saya ke atraksi langka tersebut, tapi Seketika itu juga dilarang oleh teman saya. “Lu mau cari gara-gara disini ?” ucapnya singkat.

Pengalaman di Bangkok malam itu adalah pengalaman super langka, mungkin hampir sejenis dengan pengalaman saat menyaksikan horornya Jakarta di tahun 1998. Bedanya ini di negeri orang.

Jam 7 keesokan paginya kami meluncur ke airport Suvarnabhumi dengan menggunakan taksi pesanan dari hotel. Ketika tiba di jalan tol, teman saya baru menyadari bahwa saya memakai kemeja berwarna merah, dan dia ngomel “udah tahu ini sedang ramai sama demonstran kelompok merah, kenapa juga lu pakai baju merah ???”. Saya benar-benar tidak kepikiran sejauh itu ketika memilih kemeja merah dipagi itu. Kami hanya berharap semoga perjalanan lancar, taksi tidak dicegat siapapun di jalan.

Perjalanan di pagi itu sangat menyenangkan. Disaat pesawat menurunkan ketinggiannya, saya fokus ke pemandangan di luar jendela, berharap apakah saya akan bisa melihat pegunungan Himalaya di luar sana. Ternyata harapan saya berujung kekecewaan.

Pesawat semakin menurunkan ketinggiannya mendekati runway airport di kota Kathmandu, kota yang terletak di lembah Kathmandu dan dikelilingi oleh gunung-gunung tinggi.


Ketika pesawat semakin rendah dan melintasi bagian kota Kathmandu, saya terpana melihat jalanan besar dibawah sana kosong melompong tanpa ada kendaraan sama sekali. Yang ada hanya puluhan atau bahkan ratusan orang sedang berjalan kaki di tengah jalan tersebut. Saya langsung melihat ke teman saya dan berkata singkat “kayaknya jadi nih strike, nggak ada kendaraan dibawah sana”. Teman saya melongok mengintip jendela pesawat dan tertawa-tawa. Ketawa stress !



Strike welcoming us !

Pesawat mendarat dengan mulus. Sejauh mata memandang, yang tampak hanyalah bangunan-bangunan dengan tingkat kepadatan yang luar biasa.

Tidak ada garbarata disini, semua penumpang harus turun dari tangga dan melintasi badan pesawat untuk menuju ke Arrival Hall.

Ketika sedang mengisi visa application form di pesawat, saya baru menyadari bahwa saya tidak membawa pas foto sama sekali. Sementara di persyaratan disebutkan bahwa salah satu dokumen yang diperlukan adalah pas foto. Saya pasrah saja, berharap semoga di counter imigrasi menyediakan tempat pas foto. Ternyata benar, sebelum counter imigrasi terdapat tukang foto professional yang menawarkan jasa pembuatan pas foto kilat. Ada beberapa penumpang yang antri di foto booth tersebut, termasuk saya.

Petugas imirasi di airport Kathmandu terlihat sangat tidak efisien. Terlihat tiga orang duduk berjejer di meja yang bersebelahan. Petugas di meja pertama bertugas menerima visa application. Petugas meja kedua bertugas menerima pembayaran uang visa sebesar USD 25, dengan visa multiple visit yang berlaku selama 15 hari. Petugas di meja ujung bertugas menyerahkan kembali paspor yang telah diberi stiker visa Nepal.  Disekitar mereka juga tampak beberapa petugas lainnya sedang mengobrol antar mereka.

Petugas imigrasi disini tidak galak seperti petugas imigrasi di banyak negara, mereka banyak ngobrol-ngobrol satu sama lainnya, bahkan dengan turis yang datang.

Urusan selanjutnya adalah menukar uang US Dollar dengan uang Rupee Nepal (NPR). Nilai tukar mata uang Rupee terhadap Dollar saat itu sekitar NPR 95 untuk setiap 1 Dollarnya. Dan jangan kaget ketika uang Rupee yang diterima semuanya adalah uang lusuh dan bau !

Keluar dari Arrival Hall kami agak khawatir bagaimana caranya untuk mendapatkan kendaraan menuju ke hotel. Kota ini bukan Tokyo, dimana ada stasiun kereta dibawah airport, tinggal bayar, duduk dan langsung sampai ditengah kota. Kota ini juga bukan Melbourne, dimana tinggal keluar dan pilih taksi yang tersedia.

Keluar dari Arrival Hall, kami mendapati keramaian para penjemput serta para makelar taksi. Kami mendekati seorang makelar taksi dan menyebutkan tujuan kami, hotel Crown Plaza. Mereka menyetujui dan menyebutkan harga yang lumayan tinggi, 3000 Rupee. Kami setuju saja karena saat itu memang tidak ada pilihan. Dari mereka, kami mendapatkan konfirmasi bahwa memang sedang terjadi mogok masal nasional. Seluruh negeri “shut-down”. Yang boleh buka hanyalah rumah sakit dan hotel. Mobil-mobil yang boleh lalu lalang hanyalah kendaraan ambulans, palang merah, mobil pembawa turis, mobil PBB dan mobil tentara. Perasaan saat itu campur aduk, antara excited, keder dan khawatir.

Kami bersama-sama berjalan menuju ke parkir mobil. Kami berdua mendadak takjub dengan situasi di area parkiran airport Trbhuvan. Ada gerobak barang parkir disana, ada becak penumpang, truk tua, selain mobil biasa. Tidak pernah terbayangkan suasana kemeriahan seperti ini didapatkan dari sebuah airport internasional di sebuah ibukota negara. Sebelum berangkat kami sudah mengetahui bahwa Nepal adalah negara termiskin di Asia, sehingga kami sudah punya standar yang disesuaikan, tapi tetap saja suasana kemeriahan di parkiran itu mengejutkan.

Mobil yang membawa kami adalah sebuah mobil Suzuki Carry tua. Hanya kursi depan dan kursi di bagian belakang yang tersedia, sementara kursi di baris tengah dicopot, dijadikan tempat barang-barang penumpang. Ok, koperpun ditumpuk di depan kaki kami.

Keluar dari airport, kami melihat banyak sekali penumpang yang keluar dari airport dengan berjalan kaki menyeret koper mereka, menggunakan becak atau bahkan naik gerobak barang. Di jalan raya ramai sekali orang berjalan kaki, hanya satu dua mobil yang melintas, beberapa adalah mobil palang merah.

Jalanan kosong, supir mobil suzuki ini ngebut dan ngepot kesana kemari, membuat suasana jadi seru, berasa naik roller coaster. Karena di beberapa titik di pusat kota terdapat konsentrasi massa pendemo, maka mobil berbelok-belok melewati jalan-jalan tikus, bahkan melintasi pagar pembatas perkampungan yang kami yakin itu tidak untuk jalan mobil. Ketika melewati sebuah perkampungan, aroma busuk tumpukan sampah yng menggunung diujung jalan menyengat sekali, membuat kami harus menutup hidung dan menahan napas sesaat.

Mobil melambat karena terjebak kedalam kumpulan massa di sebuah perempatan di daerah pertokoan. Ternyata ada pemimpin demonstrasi yang tengah berorasi siang itu. Mobil kami dihentikan demonstran. Si supir dengan sigap mengatakan kepada para demonstran bahwa kami adalah turis. Mereka melongok ke dalam mobil melihat kepada kami. Untungnya atribut kami dengan koper di dalam mobil meyakinkan bahwa kami adalah turis. Maka mobilpun dilepas.

Beberapa kali mobil bertemu dengan kerumunan massa, dan distop untuk dicek akan kemana. Beruntung turis mendapat perlakuan istimewa, sehingga kami tidak diutak-atik sama sekali. Mungkin kalau bukan turis, penumpang sudah diseret keluar dari mobil.

Akhirnya kami sampai di hotel tempat kami menginap : Crown Plaza - Soaltee. Sebuah hotel yang bagus dan nyaman, yang terletak di wilayah yang cukup rapi dan tertata apik untuk ukuran Kathmandu.

Antisipasi tidak adanya ATM yang tekoneksi dengan link Visa/Maestro, maka kami membawa lumayan banyak uang tunai saat itu. Dan selama di Nepal kami benar-benar nyaris terputus dengan dunia luar karena saat itu sambungan telepon seluler tidak berfungsi sama sekali. Terdampar di negara asing yang sedang dalam keadaan tegang, tidak ada kedutaan besar Indonesia disana dan tanpa adanya sambungan telepon seluler sungguh merupakan sebuah kenekadan yang mungkin hanya terjadi sekali seumur hidup saya.