Rabu, 30 Oktober 2013

EUROPE [2008] #8 : Paris Je T'aime


Siang itu kami mendarat di Charles de Gaulle Airport (CDG) di pinggiran kota Paris dengan menumpang pesawat langka Airbus A318 milik maskapai Air France dari Geneva. Pemeriksaan imigrasi dan stempel visa Schengen dilakukan di airport Geneva, sehingga ketika mendarat di airport CDG langsung saja melenggang keluar.

As expected, terminal airport memang sudah terkenal ruwet dan membingungkan. Sejak turun dari pesawat menuju ke tempat pengambilan bagasi, lalu menuju ke stasiun kereta ditempuh dengan jalan kaki yang cukup jauh dan berliku-liku.

Dari airport kami naik kereta menuju ke stasiun kereta Gare du Nord. Jangan bayangkan kereta dari airport menuju stasiun Gare du Nord adalah kereta super modern seperti di Hongkong, Kuala Lumpur atau Shanghai. Kereta di kota Paris adalah kereta tua dengan suara yang sangat berisik.

Kami menginap di sebuah hotel bintang 3 didaerah sekitar Opera. Hotel tersebut sudah dipesan via internet dari Jakarta berdasarkan pertimbangan lokasi yang dekat dengan stasiun Metro (kereta bawah tanah), jadinya nanti akan memudahkan kalau akan pergi kemana-mana. Akan tetapi karena saat itu masih minim pengalaman, jadi lagi-lagi seperti kejadian pencarian hotel di Barcelona, saya luput membaca rekomendasi para traveller tentang hotel tersebut.

Lokasi hotel tersebut memang dekat sekali dengan stasiun Metro, akan tetapi ketika kami berjalan menyusuri jalanan kecil di hotel tersebut, suasana siang itu meriah karena banyak sekali salon-salon murah meriah dan orang-orang kulit hitam, sebagian besar adalah wanita yang sepertinya adalah wanita pekerja seks.
Sebagaimana hotel-hotel umumnya di Eropa, hotel tersebut berkamar sangat kecil tapi sangat bersih dan rapi. Mau solat saja kudu berdiri diatas tempat tidur karena nyaris tidak ada space yang tersedia di lantai.

Sore harinya kami menghabiskan waktu dengan berjalan-jalan dan ngopi-ngopi di daerah Opera. Daerah ini memang sangat vibrant. Mau shopping ? Disini setidaknya ada Galleries Lafayette, Printemps dan Old England. Mau nonton film ? Disini ada beberapa bioskop besar. Mau makan atau sekedar ngopi ? Banyak sekali pilihannya. Mau nonton konser klasik juga disini salah satu pusatnya karena disini terdapat Paris Opera House.





Ketika kembali ke hotel sekitar jam 9 malam, kami menyusuri jalan-jalan yang agak gelap dan sepi menuju kembali ke hotel. Ketika itu kami dicegat oleh seorang pria negro yang mengajak berbicara dalam bahasa Perancis, teman saya langsung menjawab “sorry we can’t speak French”. Tapi orang itu terus membuntuti dan mengeluarkan sebungkus kantong kecil berwarna putih dari jaketnya. 

Ulalaaa….dia ternyata menawarkan drugs ! Saya menggeleng keras menandakan “no”dan kami mempercepat langkah setengah berlari. Beruntung lelaki hitam tersebut tidak mengikuti terus. Pengalaman yang lumayan horror di dalam itu. Another great welcome to Paris !

Hotel tersebut sebetulnya convenience karena disekelilingnya banyak sekali restoran yang sesuai dengan kantong budget travellers, supermarket 24 jam serta public laundry. Akan tetapi suasana horror dari banyaknya orang-orang kulit hitam dengan gelagat tidak baik di area itu membuat kami sangat tidak nyaman disana.

Akhirnya malam itu juga diputuskan untuk cabut dan pindah, cari hotel yang berada di area yang lebih civilized dan tetap, harus dekat dengan stasiun Metro. Beruntung saya punya kenalan lama yang sudah bertahun-tahun bermukim di Paris, dari dia saya dapat beberapa referensi area yang bisa dijadikan incaran untuk mencari hotel baru. 

Jadilah pilihannya adalah pindah ke daerah sekitar Champs Elysees.

Sebelum check-out dari hotel tersebut, saya menyempatkan diri untuk mencuci pakaian di public laundry di dekat hotel tersebut.  Agak kebingungan juga karena semua instruksi disana dalam bahasa Perancis. Tapi ditengah kebingungan tersebut seorang wanita mendekati saya dan memberikan bantuan cara memproses laundry. Dia menggunakan bahasa Perancis tapi saya bisa menangkap maksudnya dari gerak gerik tubuhnya menunjuk kesana kemari. Pendekatan yang helpful dan bersahabat dari wanita tersebut merupakan yang kedua kali saya terima sejak menjejakkan kaki di Paris, karena kemarin siang ketika sedang dalam kereta dari airport, saya yang waktu itu sedang kesulitan mengangkat koper naik ke kereta, dibantu oleh seorang laki-laki yang berdiri di dekat saya.

Meskipun banyak orang bilang bahwa Parisian adalah orang-orang yang snob, arogan dan rasis, tapi yang saya alami justru sebaliknya. Pengalaman rasis parah justru saya alami ketika saya berasa di Italy.

Akhirnya kami boyongan ke hotel Holiday Inn Champs Elysees. Meskipun suasana di sekitar hotel lebih sepi tapi hotel ini jauh lebih nyaman. Aman ? Tunggu dulu….karena ketika kami sedang check-in disana, tiga orang tamu hotel yang berasal dari Montreal Canada sedang panik, karena salah seorang dari mereka baru saja kecopetan di stasiun Metro dekat hotel : Miromesnil. Dompet beserta seluruh isinya raib. Wanita tersebut melihat seorang remaja latino menempel ke badan dia ketika menuruni tangga metro dan beberapa menit kemudian dia tersadar dompetnya amblas. Jadi saat itu mereka sedang sibuk berkoordinasi dengan pihak security hotel dan kepolisian. Dia juga tampak sibuk telfon sana-sini untuk memblokir kartu kredit dan kartu ATMnya. Sebuah sinyal awal agar kami tetap waspada selama di Paris. Keesokan siangnya ketika saya berjumpa dengan wanita tersebut di lobby hotel, saya menegur dan menanyakan perkembangan kasus dia, ternyata dompetnya sudah ditemukan dibuang di tong sampah terdekat dengan isi yang masih utuh, kecuali uang tunainya.

Banyak sekali hal-hal yang bisa dilakukan di Paris, mulai dari mengunjungi museum dan gedung-gedung bersejarah, menyaksikan pertunjukan seni & teater, shopping, makan, bahkan meski hanya duduk-duduk santai dengan secangkir kopi di keramaian kota sambil menyaksikan Parisian berlalu lalang, semuanya memberikan pengalaman yang tidak terlupakan. The city and the people are so chic !

Dari hotel kami bisa berjalan kaki santai menuju ke wilayah terkenal Champs Elysees. Selain daerah Opera yang terkenal sangat vibrant di kota Paris, Champs Elysees juga merupakan area yang sangat meriah, ada banyak sekali butik merk premium dunia, toko, restoran dan café bertebaran disini. Disaat musim panas, area ini akan dipenuhi oleh turis-turis dari Timur Tengah, yang sebagian dari mereka belanja gila-gilaan disini.




Kami mampir ke toko CD Virgin Store yang lumayan besar di jalan ini. Disini pastinya bisa didapatkan CD music penyanyi-penyanyi Perancis yang agak sulit didapat di Indonesia, semisal Patrick Fiori, Patrick Bruel, Amel Bent, dan lain-lain. Di salah satu bagian rak berjejer wajah Jawa manis Anggun sebagai cover CD album-albumnya.

Disini juga terdapat toko besar Nike yang melayani pemesanan sepatu yang sesuai ukuran kaki. Juga terdapat butik besar Louis Vuitton yang ketika kami melewatinya, saya mendengar serombongan keluarga berbahasa Jawa Timuran akan masuk kesana.

Kami menghabiskan 4 hari di Paris dengan mengelilingi hampir semua obyek turis disana. Mulai dari Museum Louvre yang gedenya minta ampun dan koleksinya memang membuat kita melongo. Gereja Notre Dame yang merupakan symbol perpaduan kehidupan relijius dan seni. Kehidupan seniman di distrik cantik Montmartre yang terletak di perbukitan. Dan pastinya icon kota Paris, Menara Eiffel. Tapi kami tidak sempat naik keatas karena antrian menaiki menara yang sudah mengular entah berapa puluh meter panjangnya.





Ketika sedang jalan kaki kembali ke hotel di malam terakhir di Paris, kami melewati sebuah restoran Thailand, yang mengeluarkan aroma khas makanan Thailand yang sangat khas. Cukup sudah perjalanan 11 hari di Eropa makan makanan yang relative murah meriah demi mengirit biaya. Saya lalu menghitung sisa uang tunai Euro yang saya miliki, demikian juga teman saya. Ternyata sisa uang masih banyak ! Jadilah kami masuk ke restoran itu untuk melepas selera makan sepuas-puasnya. Makanan termahal yang kami makan selama perjalanan di Eropa tahun itu! Masing-masing kena sekitar enam ratus ribu rupiah…kelaparan yang merobek kantong !

EUROPE [2008] #7 : Salah Pilih Hotel di Barcelona


Dari Airport kami naik bus menuju ke Plaza de Catalunya, yang merupakan alun-alunnya kota Barcelona. Tarif busnya sekitar EU 2 kalau nggak salah. Perjalanan ditempuh dalam waktu sekitar 30 menit. Karena seorang teman baru saja mengalami kecopetan fatal dua tahun sebelumnya ketika tiba di Barcelona, satu tas hilang berisi uang & paspor, maka kami selalu fully alert terhadap barang-barang yang dibawa selama di perjalanan.

Dari halte bus, kami berjalan kaki menuju hotel yang juga terletak di Plaza de Catalunya.  Saya lupa nama hotelnya, maklum sudah lebih dari 5 tahun yang lalu. Saya coba browsing dari internet dengan lokasi yang ada, tapi saya tidak menemukan hotel disana, apa jangan-jangan hotel tersebut sudah tutup ?

Hotel tersebut dipesan dari internet sejak dari Jakarta. Lokasi yang selempar batu ke Plaza de Catalunya menjadi pertimbangan utama. Selain itu juga karena murah dan berdasarkan foto-foto di internet, kamar dan suasanya hotel terlihat nyaman. Akan tetapi begitu kami sampai di hotel tersebut, kenyataannya 180 derajat berbalik dari apa yang dilihat di internet. Hotel tersebut menyempil diantara beberapa bangunan tinggi di sekitar Plaza de Catalunya. Ketika kami masuk ke lobby, suasananya sangat tidak nyaman karena lobby yang sangat kecil dan pengap. Saat itu berseliweran orang-orang dari Afrika yang tinggal disana.  Karena nggak nyaman, akhirnya saya minta melihat kamarnya dulu, sebelum memutuskan untuk tinggal disana. Ternyata kamarnya sangat pengap, tidak ada jendela sama sekali ! Saya tidak akan sanggup menginap 4 hari 3 malam di hotel seperti itu. Maka akhirnya kami batalkan reservasi, untung bukan prepaid.

Jadilah kami turis yang kelimpungan di pinggiran Plaza de Catalunya di sore hari itu !

Kami sempat keluar masuk tiga hotel untuk mencek apakah ada kamar atau tidak, hasilnya nihil. Mulai berasa geblek karena matahari sudah akan hilang di barat. Akhirnya kami mendapatkan internet café, jadi beli secangkir kopi sambil browsing internet gratis. Thanks to the technology ! 

Akhirnya kami mendapatkan kamar di hotel yang terlihat jauh lebih baik, meskipun agak lebih mahal dan lokasinya agak berjalan sedikit ke utara. Tidak hanya melihat website hotel tersebut saja, tapi sebelum memastikan pesanan kami melihat-lihat review orang-orang yang pernah tinggal disana dari www.tripadvisor.com. Jadilah senja itu kami jalan kaki dan check in ke hotel Gran Via.

Pelajaran yang didapat dari kejadian ini adalah jangan mudah percaya dengan tampilan yang ditayangkan di internet, karena hotel pertama tadi terbukti bagus di internet, tapi kenyataannya busuk sekali.

Setelah mandi dan segar, tujuan pertama adalah makan malam….dan pastinya menu lokal, tapas, menjadi incaran untuk menu malam itu.

Setelah makan, saya memutuskan untuk berjalan-jalan santai menyusuri Plaza de Catalunya menuju ke La Rambras. Satu hal yang mengejutkan adalah di salah satu sisi Plaza de Catalunya terdapat beberapa penjual kaki lima dari Afrika. Mereka menjual barang-barang kulit bermerk premium, tentunya palsu, seperti tas, ikat pinggang, dompet, dan lain-lain. Barang dagangan di letakkan diatas sejenis terpal, yang tinggal diangkut kalau ada razia. Benar saja, di salah satu malam disana, ketika saya sedang lewat disana, para pedagang kaki lima illegal tersebut berteriak-teriak dan buru-buru merapikan dagangan mereka dan lari tunggang langgang…rupanya ada petugas razia yang datang.

Karena lokasinya yang persis di tepi laut dan menghadap ke Afrika Utara, maka masalah imigran gelap dan Afrika dan Timur Tengah menjadi masalah untuk kota ini. Selama disana, saya banyak berjumpa orang Afrika dan Timur Tengah yang sedang nongkrong-nongkrong di berbagai tempat, entah mereka masuk legal atau tidak.

Penduduk asli dan mayoritas di Barcelona adalah bangsa Catalan. Mereka berbeda dengan bangsa Spanyol, bahasa mereka adalah bahasa Catalan, budaya mereka adalah  budaya Catalan. Ukuran tubuh merekapun lebih mungil-mungil untuk ukuran orang Eropa, kira-kira setinggi dan sebesar kita-kita. Sejak lama sudah ada upaya untuk memerdekakan diri dari Spanyol, tapi tidak berhasil. Salah satu upaya persuasif dari Raja Spanyol untuk meredam gejolak di wilayah ini adalah dengan meningkatkan perekonomian Barcelona dan mempromosikan mereka sebagai tuan rumah Olimpiade 1992.



Kalau hobby shopping, kota Barcelona adalah salah satu surganya karena disini banyak sekali tersebar merk lokal Spanyol seperti ZARA, Massimo Dutti, Mango, Camper, dan lain-lain.

Meskipun sama-sama menggunakan mata uang Euro, tapi harga barang-barang dan makanan disini lebih murah dari pada di Paris, Swiss dan Jerman. Maka kalau mau belanja barang dengan merk yang sama, disini bisa jadi harganya 2/3 harga di Paris.


Tidak seperti di Roma, Venesia, Swiss ataupun Paris dimana kita akan tiap sebentar ketemu rombongan turis dari Indonesia, di Barcelona selama 4 hari saya nyaris tidak berjumpa orang Indonesia sama sekali. Sepertinya Barcelona memang tidak masuk ke dalam paket tour-tour utama ke Eropa dari travel agent lokal di Indonesia.

Barcelona adalah kota yang menarik, kota yang cantik dan kota seni. Banyak sekali bangunan bagus, entah perkantoran, hotel, monumen maupun musem. Salah satu seniman terkenal dari Barcelona adalah Gaudi.










Obyek wisata di Barcelona juga banyak yang menarik, akan tetapi lokasinya tersebar di berbagai wilayah kota, maka jalan terbaik untuk mengeksplor semuanya adalah dengan naik bus wisata, sejenis hop-on & hop-off yang akan berkeliling ke semua obyek turisme utama di Barcelona.

Beberapa obyek turisme yang sangat menarik untuk dikunjungi adalah : 
  • Gereja Sagrada Familia, proyek ambisius Gaudi yang masih belum selesai sampai sekarang.

  • La Rambla : ini merupakan jalanan rindang hanya untuk pejalan kaki yang menghubungkan Plaza de Catalunya dan daerah pantai. Di jalan ini terdapat café, restoran, toko dan street performers. Di sore dan malam hari, khususnya weekend, area ini sangat ramai dan disinilah pula salah satu titik dimana copet banyak beraksi.


  • El Pablo Espanyol (Spanish Village) adalah taman mininya Spanyol, banyak turis dan anak sekolah datang untuk mempelajari kehidupan seni dan rakyat Spanyol di dalam taman ini.


  • Gothic Quarter yang merupakan kota tua sejak jaman Romawi, pastinya banyak gedung-gedung peninggalan sejarah dan gereja-gereja yang rata-rata berarsitektur gaya Gothic. 

  • Casa Batlló, bangunan unik hasil karya seniman besar Barcelona : Gaudi
  • Stadion milik club sepakbola terkenal : Barcelona.

Selain itu ada beberapa bangunan-bangunan lainnya, rata-rata dengan ciri khas Gothic yang juga menjadi obyek wisata di Barcelona.

Kalau obyek yang kurang menarik menurut saya adalah Stadion tempat diselenggarkannya Olimpiade 1992. Tempat ini sepi, agak jauh dari kota dan hanya menonton gedung kosong yang pernah jadi saksi bisu Olimpiada 1992.




EUROPE [2008] #6 : Jalan Panjang Zurich - Barcelona


Perjalanan berlanjut dengan mengembara ibukota negeri Catalan di Spanyol Selatan, Barcelona.

Awalnya Barcelona tidak masuk ke dalam rencana perjalanan awal, malahan kepinginnya pergi ke Jerman. Tapi ketika browsing berbagai informasi, daya pikat Barcelona yang menarik membuatnya naik peringkat menggeser Jerman, yang sebagian karakternya sudah terwakili oleh kota Zurich, bagian Swiss yang berbahasa Jerman. Jadilah Jerman dicoret diganti Barcelona, sebuah keputusan yang tepat.

Nama Barcelona melejit dalam memori saya ketika menjadi tuan rumah penyelenggaraan Olympiade Musim Panas 1992, ketika Indonesia untuk pertama kalinya dapat medali emas dari pasangan yang kemudian jadi suami istri : Alan Budikusuma & Susy Susanti.

Dari Jakarta, saya sudah cari opsi perjalanan dari Zurich ke Barcelona, dan karena jaraknya yang lumayan jauh dan terbatasnya waktu, naik pesawat adalah opsi terbaik. Layaknya penerbangan di Eropa pada umumnya, harga tiket disana rata-rata merobek kantong, kecuali dapat harga promo atau naik pesawat Low Cost Carrier. 

Cari-cari tiket Easy Jet dan Ryan Air ternyata tidak tersedia untuk rute ini.
Ternyata opsi terbaik adalah dengan menggunakan maskapai Low Cost Carrier dari Spanyol : Spanair, karena selain praktis juga murah. Rute perjalanan yang akan ditempuh adalah Zurich – Madrid dengan penerbangan codeshare dengan Swiss International disambung rute Madrid – Barcelona dengan menggunakan pesawat Spanair. Airline ini (Spanair) sudah jadi almarhum sejak beberapa tahun lalu karena kesulitan keuangan.

Dari hotel saya menggunakan kereta menuju ke airport Zurich-Kloten dengan memakan waktu hanya sekitar 20 menit saja.

Airport Zurich-Kloten bukan airport modern layaknya airport di HKIA, KLIA, dll, malah terkesan airport tahun 80an. Akan tetapi airport ini terawat dengan baik. Layaknya semua hal di Swiss, semua hal di airport ini tertata rapi dan bersih.



Tepat pada waktunya, pesawat berbadan kecil Airbus A320 Swiss International berangkat menuju ke Madrid, dengan kapasitas penumpang penuh. Dua orang lelaki dibelakang kami ngobrol tanpa jeda dalam bahasa Jerman dan volume keras sejak mulai duduk sampai dua pertiga perjalanan…

Sepotong sandwich dingin lagi-lagi menjadi menu dalam perjalanan itu dan diakhir menu, para pramugari membawa nampan berisi coklat berbentuk seperti bola soccer yang dibagikan kepada para penumpang. Ya saat itu adalah satu bulan menjelang Euro Cup 2008 dan Swiss akan menjadi tuan rumah, makanya euphoria Euro Cup mulai terasa dimana-mana, mulai dari billboard, poster, siaran TV sampai dessert coklat berbentuk bola ini.

Tepat pada waktunya pesawat landing di Barajas Airport – Madrid.

Karena saat itu Swiss belum termasuk Schengen, maka semua penumpang harus melalui pemeriksaan imigrasi terlebih dahulu. Semua penumpang melewati pemeriksaan imigrasi dengan lancar, kecuali saya, ya saya sendiri ! Entah kenapa begitu melihat paspor saya, petugasnya seperti memikirkan sesuatu, kemudian berkonsultasi dengan petugas di counter sebelahnya dalam bahasa Spanyol. Dia lalu membolak balik halaman di paspor saya. Karena penasaran, akhirnya saya tanya ada apa ? Dia cuma menjawab singkat “wait”. Sepertinya petugas imigrasi ini tidak berbahasa Inggris dengan baik. Dia lalu menyuruh saya menunggu sebentar dan dia pergi masuk ke ruang kantor imigrasi. Sampai sekarang saya masih tidak mengerti apa yang terjadi saat itu, karena semua persyaratan sudah saya penuhi, termasuk visa tentunya. Apa karena nama saya yang berbau Islami ? Hadeeeehhh….Tidak berapa lama dia kembali ke counternya dan saya diijinkan masuk.

Saya lalu naik bus untuk pindah ke Terminal Domestik. Perjalanan akan dilanjutkan dengan menumpang pesawat Boeing 717 Spanair menuju Barcelona.

Ulala….pesawat ternyata delay sampai lebih 2 jam, jadilah cengok lagi di airport.

Thank God akhirnya kami sampai juga di El-Prat Airport di sore hari, berarti menghabiskan nyaris seharian siang di perjalanan. Saat menunggu bagasi tiba, di belt sebelah adalah para penumpang pesawat Vuelling dari Ibiza. Wowww…beberapa penumpang tampak betul-betul party goers. Ada juga nenek-nenek dan kakek-kakek….apakah mereka party goers juga ?

Dari Airport kami naik bus menuju ke Plaza de Catalunya, yang merupakan alun-alunnya kota Barcelona. Tarif busnya sekitar EU 2 kalau nggak salah. Perjalanan ditempuh dalam waktu sekitar 30 menit. Karena seorang teman baru saja mengalami kecopetan fatal dua tahun sebelumnya ketika tiba di Barcelona, satu tas hilang berisi uang & paspor, maka kami selalu fully alert terhadap barang-barang yang dibawa selama di perjalanan. 

Senin, 28 Oktober 2013

EUROPE [2008] #5 : Salah Kostum di Luzern


Setelah menginap di Zurich dan langsung mati gaya dengan kota tersebut, keesokan harinya perjalanan dilanjutkan dengan day trip ke Luzern.

Perjalanan singkat 40 menit dengan menumpang kereta. Berbeda dengan kereta di Italy, kereta di Swiss jauh lebih bersih dan terawat.


Ketika berangkat dari Zurich di pagi hari, cuaca cerah dan agak hangat sehingga saya memutuskan hanya memakai jaket tipis, lebih tepatnya windbreaker. Tapi dalam perjalanan saya melihat cuaca agak sedikit berubah, dan benar saja, begitu melangkah keluar dari stasiun kereta Luzern, suhu ternyata sudah drop, mungkin dibawah 10 derajat Celcius. Alamak ! 


Liburan bukan lagi sebuah kenikmatan, tapi menjadi petaka ketika berjalan kaki menyusuri danau Luzern ditengah kota sambil menggigil ngilu diterpa angin kencang yang dingin. Boro-boro bisa menikmati keindahan pemandangan kota Luzern, pikiran saya langsung blank dihajar bekunya angin dari pegunungan di sekeliling. Teman travelling saya masih sedikit beruntung karena jaket yang dia gunakan lebih tebal, plus ketebalan lemak tubuhnya lebih tinggi dari saya.

Dari pada blank tidak bisa berpikir karena kedinginan, saya memutuskan bahwa tujuan pertama disini adalah toko pakaian ! Disana, saya terpaksa menggesek kartu kredit untuk membeli sepasang pakaian dalam thermal dengan harga yang lebih mahal dari pada di berbagai tempat di dunia. Namanya juga terpaksa !

Dua orang pelayan toko pakaian adalah wanita Asia, dan dari logatnya saya langsung menebak mereka adalah wanita Thai. Sambil bertransaksi saya bertanya-tanya sudah berapa lama disini ? Sudah jadi warga negara Swiss ? Mereka sudah 5 tahun tinggal dan bekerja disini. Ketika menjawab tentang pertanyaan kewarganegaraan, mereka mencibir dan menjawab susah untuk menjadi warna negara disini.

Setelah suhu tubuh menjadi stabil, otak saya baru bisa diajak berpikir mau kemana kaki akan melangkah selanjutnya.

Luzern, kota danau yang dikeliling gunung-gunung bersalju, sangat cocok untuk tempat berlibur, melepas penat otak dari hingar bingar kejaran dateline pekerjaan. 

Kehidupan dunia terasa melambat di kota ini, karena tidak ada macet, jalanan yang lancar dan pejalan kaki berjalan santai kesana kemari.



Setelah menghangatkan badan dengan secangkir café latte panas, kami mengeksplor kota kecil cantik ini dengan berjalan kaki, dimulai dari old square dengan jajaran bangunan-bangunan tua yang sebagian besar berfungsi sebagai toko, restoran/café/bar atau hotel.





Obyek menarik lainnya adalah Chapel Bridge. Jembatan ini dibangun konon pada abad 14 untuk menghubungkan kota dengan Kapel St. Peter. Di langit-langit dan kayu-kayu jembatan terdapat banyak lukisan-lukisan.

Diujung jembatan terdapat Water Tower.


Di sore hari sebelum kembali ke Zurich, kami menikmati pemandangan sore hari di tepi danau Luzern. Banyak penduduk kota dan turis yang juga duduk-duduk santai di pinggir danau.


Di area taman, masih di pinggir danau, tampak beberapa orang asyik bermain gundu hehehe



Sungguh kota mungil yang apik dan artistik. Tempat yang menyenangkan untuk berlibur, tapi akan jadi tempat yang mahal sekali untuk hidup dan tinggal disini.









Jumat, 25 Oktober 2013

EUROPE [2008] #4 : Zurich, Mahalnya Pipis Disini


"Three hours journey with magnificent scenery"

Kapok dengan pengalaman kocar kacir di perjalanan dengan kereta Venesia – Milan sebelumnya, maka pagi itu kami mempersiapkan diri dengan sebaik-baiknya supaya tidak terjadi kekacauan serupa atau malah kekacauan lainnya. Nama stasiun benar-benar diperhatikan dengan seksama, tiba lebih awal di stasiun dan memastikan nomor peron kereta.



Its gonna be a long journey, perjalanan darat selama 3 jam lebih dengan kereta dari Milan menuju ke Zurich.

Meninggalkan pusat kota Milan, kereta mulai melaju kencang dan di satu spot dari kejauhan saya melihat tail pesawat, aha ! airport Malpensa nun disana. Karena keenakan diayun-diayun goyangan kereta plus udara sejuk dari AC di kabin, maka jadilah saya terlelap (semoga tidak ngorok saat itu). Sebetulnya saya sudah diwanti-wanti teman bahwa dalam perjalanan rute ini haram hukumnya tidur, karena pemandangan alam yang terbentang sangat menakjubkan di sepanjang jalannya.
Benar saja, ketika saya terbangun, kereta melambat karena memasuki sebuah kota kecil yang diapit gunung-gunung dan danau. Kota cantik itu bernama Lugano, kota paling selatan di Swiss yang penduduknya berbahasa Italy.







Kota ini terlihat tenang dan damai. Dari kejauhan tampak rumah-rumah (atau villa ?) yang dibangun dipinggir danau…jadi pengin kesini lagi untuk menginap satu atau dua malam, pasti menyenangkan sekali.

Kereta berhenti di stasiun Lugano, seorang polisi dengan seragam berbendera Swiss naik ke kabin dan berjalan sambil memperhatikan para penumpang kereta. Sepertinya dia sedang melakukan random check perbatasan Swiss – Italy. Waktu itu, Swiss masih belum termasuk Schengen, jadi saya berangkat dengan mengurus visa Swiss. 

Beruntung saya ke Swiss disaat visa Schengen belum berlaku, jadi saya punya kenang-kenangan visa Swiss di paspor saya.

Karena saya adalah turis, saya bersiap-siap dengan paspor ditangan saat petugas tersebut berjalan pelan-pelan di dalam kabin, ternyata tidak seorangpun di dalam kabin yang diperiksa oleh petugas.

Lepas dari Lugano, pemandangan yang muncul setelahnya sungguh-sungguh spektakular. Mulai dari padang rumput hijau dengan beberapa sapi merumput, pedesaan dengan rumah-rumah kayu layaknya di lukisan, lembah, jurang dan gunung-gunung berselimut es.













Dalam perjalanan, seorang petugas kereta berkeliling menawarkan makanan dan minuman (tidak gratis tentunya). Ada banyak pilihan, tapi lagi-lagi pilihan jatuh kepada sandwich !

Setelah puas dengan pemandangan spektakular selama dua jam-an, kereta memasuki pinggiran kota Zurich. Masih juga dengan pemandangan indah lainnya, berupa rumah-rumah apik di bukit-bukit dan pinggiran danau.



Sekitar pukul 1 siang kereta sampai di stasiun utama kota Zurich, yaitu Bahnhofstrasse. Baru saja beberapa langkah keluar dari kereta saya mendapati kebenaran yang diceritakan selama ini bahwa Swiss adalah negara yang tertata rapi dan bersih. Hal itu tampak dari stasiun kereta ini, semuanya apik dan indah dipandang mata, mulai dari loket tiket, toko-toko, loker bahkan sampai wc umum.

Pipis di Zurich mungkin bisa jadi adalah pipis paling mahal di dunia, karena disini kita harus merogoh koin setengah Euro sampai 1 Euro untuk sekali masuk wc.

Siang itu karena kebelet, saya terpaksa mampir dulu ke wc umum di stasiun untuk melepas hajat kecil. Sedang asyik-asyiknya melepaskan pipis, saya tersentak kaget ketika disebelah saya muncul seorang wanita setengah baya, yang ternyata adalah petugas kebersihan wc. Wanita tersebut memandang saya dengan pandangan aneh karena saya terkejut dia datang. Mungkin dalam hati dia berpikir “biasa aja kaleeee”.

Siang itu wc umum tersebut lumayan ramai, dan si wanita petugas kebersihan cuek saja membersihkan toilet padahal banyak berdiri laki-laki sedang membuang hajat. Apakah dalam konteks gender sebaliknya diperbolehkan ? maksudnya petugas kebersihan laki-laki membersihkan wc wanita. Bakalan seru sepertinya !

Saya menuju ke Hotel Opera Zurich dengan menumpang taxi, yang ternyata jaraknya dari stasiun bisa ditempuh  dengan berjalan kaki. What a fool !

Bapak supir taxinya berpenampilan sangar, keturunan Afrika, tinggi besar bertato, botak dan berkaca mata hitam. Tapi kemudian surprisingly dia sangat ramah dan banyak tersenyum. Tampilan benar-benar berbanding terbalik dengan isinya !

Siang hari itu cuaca sangat tidak enak. Masih pertengahan Mei, tapi matahari bersinar sangat keras dan silau, suhu di kota Zurich juga tidak terlalu dingin. Selain itu, udara sangat kering. Saat baru tiba saya merasakan kulit tangan, kaki dan punggung perih-perih seperti luka-luka. Saya membayangkan bahwa Seolah-olah lapisan kulit ari saya sedang retak-retak karena keringnya udara siang itu. Kalau sudah begitu, body lotion dengan tingkat kelembaban yang paling tinggi baru akan bisa menolong.

Setelah beristirahat, sore harinya kami menuju ke Bahnhofstrasse dengan berjalan kaki melewati daerah perumahan yang sangat asri, perkantoran dan menyisir danau Zurich.





Bahnhofstrasse adalah daerah utama di Zurich yang merupakan salah satu pusat bisnis kota Zurich. Jalan ini tidak terlalu panjang, ramai oleh pejalan kaki dan tram yang tiap sebentar lalu lalang. Diujung jalan ini terletak stasiun kereta utama kota Zurich yang bernama sama dengan area ini, tempat kami tiba dari Milan siang tadi.

Di Bahnhofstrasse ini terdapat perkantoran, bank-bank kelas dunia dengan layanan cabang private banking-nya serta pertokoan. Area ini juga dikenal sebagai salah satu shopping square termahal di dunia. Berbagai merek premium dunia tersebar disini dengan harga yang kalau dirupiahkan berdigit 7 bahkan sampai 10.

Yang menarik dari Bahnhofstrasse ini adalah sebuah toko coklat Teuscher. Mereka menjual coklat homemade mereka atas resep dari pendiri toko : Dolf Teuscher. Coklat disini dijamin bebas bahan kimia, bebas zat mencandu dan bebas bahan pengawet. Coklat yang dijual beraneka rasa, warna, bentuk dan harga.

Air liur saya terbit ketika mencium bau aroma kari India yang keluar dari sebuah café jalanan dadakan di pinggir taman disana. Karena sudah enek berhari-hari dihajar sandwich, pasta dan makanan-makanan tasteless lainnya, saya rindu nasi dan makanan berbumbu rempah. Dan inilah jawaban kerinduan itu ! Saya membeli nasi briyani dengan vegetarian curry. Saat itu rasanya kari tersebut adalah kari paling nikmat sedunia (saking kepiginnya sama makanan berbumbu).

Sempat mampir ke sebuah toko CD dan menemukan banyak sekali koleksi CD bergenre klasik dan jazz yang tergolong langka dari musisi-musisi Eropa. Saya sudah gatal ingin membeli sekitar delapan  CD, tapi ketika menyadari harga satuannya yang kalau dirupiahkan bisa seharga Rp. 250 ribu, akhirnya kedelapan CD itu saya sortir lagi dan hanya membeli dua yang betul-betul top on the list.

Baru keluar dari toko CD, suara serine ambulan sempat terdengar keras, rupanya polisi dan petugas paramedis sedang mengevakuasi seorang gelandangan tua yang sedang mabuk dan mulai ngawur-ngawur tindak tanduknya.

Jam masih menunjukkan pukul 6 kurang, dan matahari spring masih bersinar terang di luar, tapi toko-toko mulai tutup. Nah, kalau terbiasa dengan hingar bingar kehidupan Asia, dimana mall buka sampai jam 10 malam, momen seperti ini akan bikin suntuk karena kehidupan kota berakhir jam 6 sore. Setelah itu jalan ini menjadi senyap, kecuali tram yang tetap lalu lalang sampai jam 10 malam. Kehidupan malam di Zurich hanyalah bar, club atau hiburan dewasa !



Karena nggak tahu mau ngapain, akhirnya kami menanti sunset jam 7.30 dengan duduk-duduk di tepian danau Zurich bersamaan dengan banyak penduduk Zurich maupun turis-turis lainnya. Sesekali terdengar suara pesawat menderu take-off dari airport Zurich-Kloten dan melintas tinggi diatas kota.



Malam itu benar-benar mati gaya ! Karena malam itu bukan malam weekend, jadi kehidupan malam disana nyaris tidak ada, kecuali minum-minum di bar yang pastinya juga sepi.